Bab.6 Murka

1610 Words
“Ren …” Mata Satria menatap Rena nyaris tak berkedip. Otaknya yang telah teracuni minuman sialan itu butuh waktu lebih lama untuk menyadari, kali ini dia justru telah terjebak oleh permainannya sendiri. Dia lupa, Nadine adalah ular yang luar biasa liciknya. "Aku tidak bohong kan?! Makanya jangan besar kepala dulu, ujung-ujungnya malah malu!" cibirnya dengan mata penuh mencemooh ke Rena. Sadar keadaan pasti akan semakin kisruh, Wira meminta pegawainya yang lain untuk menutup bar dan meminta beberapa tamu di sana untuk keluar lebih dulu. Satria diam tak berkutik melihat Rena melangkah mendekat. Jangankan menghampiri dan menjelaskan duduk masalah sebenarnya, berdiri saja dia sudah sempoyongan. Dengan wajah kaku dan mata berkaca-kaca Rena menatap Satria marah, sangat marah. Sakit bukan main karena untuk kesekian kalinya merasa dikhianati lagi oleh pria itu. “Boo …” panggilnya lirih. Sedetik kemudian Rena menyambar gelas minuman Satria dan menyiramkan ke mukanya. Wira terperangah, tidak menyangka kalau Rena yang sedang murka ternyata juga bisa segalak itu. Sedang Nadine tertawa terbahak melihat Satria tidak bergeming dengan wajah basah kuyup. Puas karena semua berjalan sesuai rencananya. “Tunggu dulu Ren! Jangan salah paham, masalahnya bukan …” “Diam Bang! Biar aku selesaikan dulu urusanku dengan mereka berdua!” sela Rena memotong ucapan Wira yang berusaha menengahi. Wira tidak punya pilihan selain menyingkir setelah Satria menggeleng memintanya untuk tidak ikut campur. Meski tidak berkhianat, tapi dia tahu salah sudah berbohong pada Rena telah mengajak Nadine bertemu diam-diam di sana. “Apa kali ini kamu juga akan melempar semua kesalahan ke Nadine, dan bilang tidak berniat menanggapi kelakuan gatalnya?” cibir Rena dengan tatapan nanarnya. “Tidak, aku tahu salah sudah bohong ke kamu. Tapi Ren, masalahnya bukan seperti yang kamu pikirkan itu.” sahut Satria menggeleng. “Bodoh kalau kamu masih percaya omongan pria seperti Satria!” sela Nadine. Rena menoleh, apa yang kemudian dia lakukan benar-benar di luar dugaan mereka. Rena mendekat, lalu menampar Nadine dengan begitu kerasnya. Xena yang baru datang tampak melongo di depan pintu melihat keributan di sana. Sepertinya semua melesat dari rencana mereka semula. “Mulut sampahmu bahkan lebih tidak bisa dipercaya." ucap Rena. “Tapi buktinya kamu datang juga kesini setelah menerima teleponku kan?!" ejeknya. "Harusnya kamu berterima kasih padaku, karena aku sudah memberitahu pria yang mau melamarmu ini malah mengajakku berkencan di belakangmu.” lontarnya begitu enteng membolak-balikkan fakta. “Teruslah mengoceh dan bicara ngawur di depan Rena, Nad! Aku pasti akan robek mulutmu!” seru Satria emosi. “Kok mulut sih Sat, biasanya kan kamu paling suka merobek bajuku?!” balasnya. “Dasar murahan!” Lagi, Nadine membayar mulut kotornya dengan tamparan keras dari Rena. Xena bersiul senang, bukannya menengahi dia malah duduk di samping Wira sambil menyulut rokoknya. “Berkaca lah sebelum mencemoohku! Darimana datangnya anak harammu itu, kalau bukan dari menggoda dan tidur dengan suami orang!” teriaknya melotot tidak terima. Bukan hanya Rena yang gemetar menahan marah, Satria pun juga demikian. Sebelum sempat dia beranjak ke arah Nadine, Rena sudah menjambak rambut wanita itu hingga mendongak dengan wajah meringis kesakitan. Apalah dayanya yang tidak mampu melawan, karena seluruh sarafnya terasa lumpuh. “Sudah aku peringatkan sebelumnya, jangan sekali-kali menghina anakku! Kamu yang katanya lahir dari keluarga baik-baik, bahkan berkelakuan rendah seperti dari binatang!” Tanpa ampun lagi Rena kembali menampar mulut Nadine yang terus saja menghina anaknya. Tidak hanya sekali, tapi hingga berkali-kali sampai wanita itu menjerit dan menangis kesakitan. Tak ada yang berusaha menghentikan amukan Rena. Mereka justru diam menonton, seperti sengaja memberinya kesempatan untuk membalas sakit hatinya pada Nadine yang memang sudah kelewatan. “Ampun! Sakit sialan!” Rena menyeringai menatap puas ujung bibir Nadine yang bonyok lebam, lalu menghempas jambakannya hingga wanita itu hampir saja jatuh terjungkal dari kursinya. “Sabarku juga ada batasnya. Aku diam bukan berarti tidak bisa membalas, tapi karena tidak ingin sama rendahnya dengan kamu yang tidak punya etika. Sayangnya mulut dan kelakuanmu justru makin keranjingan.” ucap Rena. “Keranjingan?! Bukankah yang aku katakan semua adalah fakta? Kamu pelakor murahan, dan anakmu yang lahir tanpa bapak itu adalah anak haram. Bagian mana yang mengada-ada hingga membuatmu tersinggung?!” balasnya menantang dengan nafas terengah menahan marah. “Rena!” Wira berteriak keras, belum sempat dia mendekat dan mencegah, botol anggur di atas meja itu sudah Rena hantamkan di kepala Nadine. Kali ini tubuh mantan kucing peliharaan Satria itu benar-benar tersungkur jatuh. Wira buru-buru mendekat menolong Nadine yang meringkuk di lantai dengan wajah paniknya. “Aku bilang sabar dulu Ren! Kamu hanya salah paham. Masalahnya tidak seperti yang kamu bayangkan. Dia pasti mengarang cerita hingga kamu datang dan semarah itu,” ujar Wira kembali berusaha menengahi perseteruan mereka. Rena berbalik menatap Satria yang masih betah diam membungkam. Bukan, tapi karena kesadarannya sudah hampir melayang terbang karena minuman yang diteguknya tadi. “Sekarang katakan padaku Sat, apa aku salah paham?” tanyanya. “Tidak, tapi juga tidak semuanya benar. Aku salah karena sudah tidak jujur kalau mau bertemu Nadine di sini, tapi sama sekali tidak berniat aneh-aneh Ren. Aku hanya ingin membalas apa yang dia lakukan padamu dengan memberinya sedikit pelajaran,” jawabnya. “Pelajaran di tempat tidur seperti apa yang biasanya kalian lakukan dulu, begitu kah?! b******k kamu, Sat!” teriak Rena dengan air mata mengalir deras. “Bukan, bukan seperti Boo.” Satria hampir putus asa tidak tahu harus bagaimana lagi menjelaskan ke Rena yang tampak begitu kesakitan. Xena yang sedari tadi hanya diam menonton drama mereka tampak mendengus jengah. “Sorry Ren, aku bukannya ingin membela Satria. Tapi, memang iya malam ini kami janjian di sini untuk memberi pelajaran ke Nadine. Kalau kamu tidak percaya bisa tanya sendiri ke pak bos dan juga Freya.” ucap Xena akhirnya terpaksa angkat bicara. “Jadi karena itu dia menghubungimu tadi sore?” tanya Rena sambil menuding ke Nadine yang sudah kembali duduk dengan kepala diletakkan di atas meja. “Iya,” jawab Satria mengangguk. “Dasar sialan!” teriak Rena sambil menangis tergugu membanting botol anggur di tangannya hingga hancur berantakan di lantai. Tidak ada yang berani bergeming, Satria bahkan terdiam kaku tertampar rasa bersalahnya. Sebegitu sakit dan terlukanya dia, hingga Rena yang selama ini mereka kenal pendiam, bahkan lebih penurut dan lemot dari Freya tiba-tiba meledak memuntahkan kemarahannya. Tak hanya itu, kelakuan bar-barnya mengagetkan mereka semua, terutama Satria. Sifatnya benar-benar mirip dengan Aksa, kakaknya yang pendiam tapi sekalinya marah menakutkan. “Karena bagimu aku terlalu bodoh dan menurut, jadi selalu saja kamu bohongi. Aku bahkan tidak bisa membedakan kapan kamu jujur dan kapan kamu berdusta, Sat.” “Iya, mulut buaya memang tidak bisa dipercaya, jadi lebih baik tinggalkan saja!” gumam Nadine yang tiba-tiba mengangkat kepala dan tertawa senang melihat keduanya kisruh. Obat itu sepertinya telah membuat mulutnya hilang kendali dan tidak kapok meski sudah babak belur dihajar Rena. “Kamu menginginkannya kan? Kalau begitu ambil saja! Aku sudah tidak butuh lagi pria yang tidak pernah bisa tegas dan juga sulit untuk jujur!” “Jangan keterlaluan kamu, Ren!” bentak Satria. Rena tertawa getir, lalu mengusap kasar air matanya. Mungkin apa yang dikatakan Satria dan Xena tentang rencana mereka pada Nadine malam ini benar adanya. Namun, dia tidak bisa menerima Satria yang kukuh berbohong saat dirinya memergoki panggilan telepon dari Nadine tadi sore. “Karena aku sadar diri tidak sempurna dengan masa lalu yang kelam, jadi selalu diam dan mengalah menghadapi kamu yang sudah melakukan segalanya untukku dan Naya. Tapi Sat, aku pun juga bisa sakit hati. Dulu Kiran dan sekarang Nadine, apa masih kurang aku mengalah dan diam selama ini?” ucap Rena dengan suara paraunya. “Maaf, tapi aku tidak mungkin mengubah masa laluku Ren.” sahut Satria tak kalah sakit melihat Rena yang seperti ini. “Kamu masih belum paham juga? Aku bukan sedang menghakimi masa lalumu, cuma ingin kamu jujur dan tegas Sat! Sesulit itukah? Masalahnya tidak akan seperti ini kalau tadi kamu jujur soal telpon dari wanita sialan ini!” Wira dan Xena yang terpaksa menyimak pertengkaran mereka sampai ikutan puyeng. Kalau sudah begini siapa yang mau disalahkan. Sedang Satria duduk dengan wajah dan mata memerah. Mereka bahkan berani bertaruh sebentar lagi dia pasti akan tumbang hilang kesadaran. Itulah kenapa otaknya tidak lagi begitu nyambung diajak bicara Rena, hingga membuat calon istrinya yang sedang mengamuk itu makin meradang. “Ya sudah, memang aku yang salah.” jawabnya asal dengan mata sudah hampir tidak kuat melek. “Tuh kan Sat, aku bilang juga apa?! Pelakor kayak begini bisanya bikin susah dan jadi beban. Tidak mengaca kalau barang rongsok seperti dia tidak pantas buat kamu!” celoteh Nadine yang bertopang dagu dan mata setengah terpejam. “Kalian berdua memang b******k sialan!” teriak Rena menendang keras perut Nadine hingga terjungkal ke belakang sekalian dengan kursinya. Xena tertawa terkekeh melihat Nadine yang terkapar mengenaskan di lantai. Sedang Satria justru mulai meletakkan kepalanya di atas meja dan tertidur pulas. “Cari mati kamu, Sat!” gumam Xena menggeleng, “Tunggu Ren! Mau kemana kamu?” teriak Wira melihat Rena pergi sambil menangis tergugu. “Kamu urus Satria, Wir! Nadine biar anak buahku yang bereskan. Aku antar Rena pulang dulu!” Xena berlari keluar mengejar Rena. Entah ada apa dengan malam ini, tadi dia melihat Elina menghajar suami dan gundik simpanannya. Sekarang tak diduga-duga dia juga menyaksikan Rena versi bar-bar membuat kucing Satria babak belur. Kalau saja sejak awal mereka bisa seberani dan setegas ini, pasti wanita-w*************a itu juga tidak akan sekurang ajar ini. “Bangun Sat! Awas saja kalau besok ditinggal Rena dan Naya, kamu sampai depresi lagi! Bego sih!” gerutunya sambil memapah Satria yang teler dengan dibantu salah seorang bartendernya. “Pokoknya aku tidak tanggung jawab kalau nanti kamu kena gebuk papamu atau Freya, karena ketahuan minum sampai tumbang begini!” lanjutnya menggerutu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD