[16] Jebakan kedua

1986 Words
Tio menatap sajiannya dengan penuh perhitungan. Semuanya memang ia sukai, tapi entah kenapa ada yang kurang baginya. Ia bersedekap sembari mengusap ujung dagunya. Di depannya, duduk dengan helaan napas panjang serta geraman kesal dari dua perempuan berbeda usia. “Sabar dulu makannya. Daddy harus pastikan enggak ada yang kurang.” “Semuanya sudah saya pesan, Pak.” Leony berusaha sekali menjaga intonasi suaranya. Sudah ia lakukan apa pun untuk berpegangan pada sabar yang dipunya. Pertama, menarik napas dan mengembuskannya pelan. Menghitung domba meski bukan untuk membuatnya mengantuk tapi mengalihkan pikiran. Bernyanyi apa pun yang ia temui di kepalanya. Dan yang paling utama, berdoa. Biar Tuhan jaga warasnya. Sayangnya, penguji macam Raptor itu memang enggak pernah gagal membuatnya jengkel. “Masa, sih?” Tio menatap lekat pada Leony. “Yakin kamu?” “Daddy!” sentak Naina dengan kesalnya. “Aku sudah lapar. Lagian semua menu sudah dipesan sama Kak Ony. Masih kurang juga?” “Kurang garlic sauce dan potongan cabai, Nai.” Tio menyeringai. Ia pun segera memanggil pelayan untuk menggenapi apa yang ia minta. “Nah, kalau ada itu pasti enak.” Leony tepuk jidat, Naina menggeram sebal. Padahal apa pun yang Tio inginkan, yang mana sudah sesuai dengan selera sang bos, juga porsi sayur yang lebih banyak dari biasanya, sudah Leony pesankan. Juga sudah datang seperti apa yang Leony pinta. Lantas karena kekurangan dua condiment tadi, lama sekali ditunda acara makan mereka. Bukan apa, Naina sudah kelaparan. Dia juga, sih. Andai tadi dirinya tak diburu-buru untuk segera tiba di rumah Naina, ia masih sempat menghabiskan lontong sayurnya. Karena telepon yang terus menerus berdering, Leony terpaksa tancap gas. Di mana saat ia sampai, Naina dan Raptor sudah berdiri dengan tangan berlipat di d**a. Dirinya juga belum lupa semua ucapan Tio padanya pagi tadi. Kalau Naina, sih, ia tak jadi soal. Anak itu langsung menggamit tangan Leony dan berbisik, “Bos Kak Ony ngeselin banget dari pagi. Masa aku disuruh cepat mandinya. Aku jadi enggak keramas. Enggak bau, kan, rambut aku?” Leony menghela pelan, diciumnya puncak kepala anak itu dan tersenyum lebar. “Enggak. Nai selalu wangi, ah. Vitamin rambut yang kemarin dibeli, rutin dipakai, kan? Nanti Kak Ony bantu kuncir di mobil, ya.” Tanpa ragu, Naina mengangguk. Senyumnya jadi lebar sekali. Dress navy yang ia kenakan cukup pas bersanding dengan sneakers putih. “Ayo, Kak.” Ia pun menarik Leony untuk segera masuk ke dalam mobil. “Kamu di belakang, Nai. Sendiri.” Tio bersuara. Matanya masih menatap tak suka pada kedatangan Leony yang menurutnya terlambat. Padahal semalam sudah ia katakan jam delapan harus sudah sampai di rumahnya. Kenapa malah baru berangkat tepat di jam itu? Memangnya perjalanan dari rumah Leony ke rumahnya enggak pakai waktu? Belum lagi katanya dia pakai ojek segala. Astaga! Seharusnya Leony itu enggak perlu pulang, kan? Siapa suruh berjanji menemani Leony ke pemakaman? Di hari minggu pula. Tio jadi bertanggung jawab ikut menemani dan mengantar, kan. Inginnya minggu ini ia istirahat. Kenapa jadi supir begini, sih. Padahal ia bisa saja menyuruh Parjo mengantarkan mereka ke makam, tapi tak ia lakukan. Ia juga merasa bersalah karena sudah lama tak berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir mendiang kakak serta istrinya itu. Tapi sebagai bos yang baik dan tahu diri, di mana hari Minggu adalah waktu libur Parjo, ia bebaskan pria itu dari permintaan mengantarkan Naina. Ia gantikan sekalian menyamakan tujuannya dengan Naina. Enggak ada yang salah seharusnya, kan? Tapi kenapa ia kesal karena Leony terlambat? “Aku enggak mau sendirian, ih! Aku mau dikuncir dulu rambutnya sama Kak Ony.” Naina melotot tak terima. pintu mobilnya tak jadi dibuka. “Nanti saja bisa, kan, Nai?” Tio berdecak. Dibukakan pintu mobil itu dan meminta keponakannya untuk masuk. “Kak Ony bisa kuncirkan dari depan. Iya, kan, Ony?” Leony hanya bisa pasrah melihat kelakuan dua orang di depannya ini. Satunya menatap dengan tatapan mengajak berperang. Satunya menganggap permintaan Naina hanya rengekan manja. “Saya kuncirkan rambut Naina dulu, Pak,” putus Leony akhirnya. Yang mana segera disambut dengan pekikan girang, tapi lirikan tajam dari sang bos. “Saya bukan supir, Ony.” “Saya tahu. Bapak bos saya yang paling baik sedunia. Sayangnya kebaikan Bapak dilihat dari ujung sedotan saja.” “Ony!” Leony membuka pintu belakang. “Ayo, Nai, masuk. Nanti kalau Pak Tio enggak mau antar, Kak Ony panggil Pak Parjo saja. Minta antar beliau.” “Yang bos itu saya, Ony. Bukan kamu.” Leony diam saja. “Awas kamu, ya.” Tio berdecak sebal tapi langkahnya segera menghampiri pintu pengemudi. Sedikit membanting sedan yang biasa dipakai Naina di luar rumah. “Kalau Bapak enggak ikhlas nyetirnya, setelah menguncir rambut Naina, biar saya saja yang mengemudi.” Tio melirik dari kaca spion tengah, di mana Naina membuat wajah konyol tanda kalau dirinya memenangkan pertarungan. Sementara wanita yang ada di sampingnya itu, sudah sibuk menyisir penuh kelembutan. Wajah itu ada senyum meski tipis sekali. Walau terhalang kacamata tebal, poni yang rasanya Tio ingin singkirkan, tapi Tio bisa rasakan kalau ada banyak ketulusan di sana. Enggak. Tio enggak benar-benar marah. Kesal pun hanya dimiliki sedikit. Apa pun yang ia katakan sejak tadi, hanya untuk membuat Leony kesal. Sayangnya, kekesalan pada Leony hanya sebatas kata-kata tadi. Apa katanya? Kebaikannya hanya bisa dilihat melalui ujung sedotan? Kenapa Leony bisa dapat kata-kata seperti itu? Dari mana asalnya coba? Inginnya tertawa tapi nanti kesan dirinya enggak berwibawa, pasti tercetak di keningnya Leony. Enggak, ya. Seorang Satryo Cakra Wibowo punya kharisma tersendiri. Selain tampan, dirinya juga punya value yang cukup besar dan kegiatannya bukan hanya sebatas bernegosiasi semata. Namanya masuk dalam pebisnis muda yang sukses serta acap kali diundang untuk menjadi bintang tamu di seminar yang bisa dikatakan, cukup membuat namanya makin bersinar. Jangan sampai ia dianggap enggak konsisten saat menampilkan wajah kesal, meski sebenarnya lewat lirikan matanya yang entah sudah berapa kali dilakukan ini, ia bisa melihat kebahagiaan kecil di sana. Naina kalau dekat dengan Leony selalu bisa tertawa lepas. Kadang manjanya enggak ketolongan. Malah bisa dibilang, menyebalkan juga menjengkelkan. Sayangnya, Tio enggak bisa marah sama Naina. Biarpun sering tingkahnya Naina ini bikin pening. Ini saja, ia sangat bersyukur Naina jarang sekali berulah. Sekolahnya juga lancar, mengikuti pelajaran juga enggak banyak aduan macam-macam. Enggak terlibat pertengkaran dengan teman sekolahnya. Atau malah kabur karena gurunya enggak menyenangkan menurut anak itu. Ada saja tingkah Naina apalagi ketambahan kala berkenalan dengan wanita berambut merah itu. Duh ... rasanya Tio mau tukar kepala saja. Pusingnya luar biasa sekali. Di saat seperti ini, harusnya Tio berterima kasih dengan Leony, kan? Karena setidaknya, Naina bisa tenang dan sedikit penurut di dekat asistennya itu. Ehm ... apa setelah berkunjung nanti, Tio berikan sedikit rasa terima kasihnya, ya? Ia pun memilih mengendarai mobil ini dengan santainya. Ia juga tak punya banyak kegiatan minggu ini, kok. Olah raga paginya sudah ia lakukan meski hanya berkeliling kompleks. “Saya bisa gantikan menyetir kalau Bapak mau. Saya sudah selesai mengurus Naina,” kata Leony yang membuat Tio menoleh. "Enggak perlu." Kembali si pria fokus pada setirnya. “Katanya takut dibilang jadi supir.” Leony membenahi letak kacamatanya. “Tepikan saja, Pak, mobilnya biar gantian sama saya.” “Berisik kamu,” dengkus Tio. Itu baru satu hal yang membuat Leony tak habis pikir, kenapa ada makhluk seperti Tio? Lantas yang kedua, terjadi di pemakaman. Ada saja hal yang ia komentari terutama perkara makam orang tua Naina. Katanya, “Saya enggak mau sampai makam kedua kakak saya ini enggak terawat, ya. Lihat area di sekitarnya masih banyak daun yang berserak. Kami memang jarang berkunjung tapi bukan berarti biaya perawatan makam ini jarang dikirim, kan? Oke, lah! Protes Tio ada benarnya. Tapi dilihat dari kondisinya, Leony rasa bukan karena tak dirawat dan sengaja berserak seperti ini. Namun belum sempat terjamah saja dengan petugasnya. Apalagi bisa dibilang kunjungan mereka pun masih tergolong pagi. Kenapa juga Tio malah meributkan hal sepele ini, sih? Harusnya tiba di makam itu, ada doa yang dihantarkan untuk kedua nama yang sudah tercetak di nisan ini. Bukan malah membuat kesal di hati Leony bertambah. Karena protes yang Tio lakukan barusan, berimbas padanya. Ia diminta segera melakukan pengecekan keuangan mengenai biaya yang sudah dibayarkan untuk perawatan kedua makam ini. Raptor luar biasa memang membuat orang lain jengkel! Untungnya, entahlah dari mana ke-inisiatif-an seorang Leony ini timbul. Untuk hal-hal yang berkaitan dengan pribadi Tio, ia kumpulkan pada email khusus dan arsip tersendiri. Bisa ia jawab dengan cepat dan apa yang sang bos minta pun, dengan segera ia penuhi. Sedikit juga memberi pengertian pada Tio agar tak terlalu menekan orang lain di saat kunjungan Naina kali ini. Seharusnya bisa lebih khidmat, kan? “Dua makam itu sangat berarti untuk saya, Ony,” kata Tio dengan lirikan tajam. Mereka berdua di mana Naina yang memimpin jalan menuju mobilnya, bersiap pulang. “Saya enggak mau kalau makam mereka enggak dirawat dengan baik. Percuma saya bayar mahal tapi yang saya dapatkan apa?” “Iya, Pak,” Leony menghela panjang entah sudah berapa kali. “Tapi bisa dilihat situasinya, kan?” Tio berdecak. “Saya lama enggak berkunjung bukan berarti dianggap enggak ada yang datang.” “Saya paham, Pak. Pihak manajemen juga sudah menyampaikan permohonan maaf, kan?” Leony masih mencoba bersabar. “Saya kesal jadinya.” Tio melipat tangannya di d**a. “Yang seharusnya kesal itu Naina, pak. Mungkin ada yang ingin anak itu sampaikan. Yang enggak ingin Bapak dengar tapi malah dirusak.” “Oiya?” Tio memiringkan wajahnya. “Saya enggak paham kalau itu.” “Karena bapak marah-marah terus sejak tadi.” Tio terdiam. Kemudian langkahnya lebar menyusul Naina yang sudah lebih dulu sampai di mobil. Melihat hal itu membuat Leony sedikit mengambil jarak. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Leony yakin kalau kali ini Tio menurunkan egonya. Jauh. Buktinya Naina sudah kembali tersenyum lebar dan memeluk Tio. Sebenarnya mereka berdua tak ubahnya orang yang dipaksa berpikir dan bersikap dewasa karena keadaan. Sama seperti dirinya yang harus berpikir keras, bagaimana menjadi seorang kakak yang baik dan bisa menopang segala yang tertinggal. Sedikit lagi, Leony bisa terbebas. Haikal ngotot enggak ingin kuliah. Mau kuliah tapi setelah dapat kerja, mengikuti jejak Hari. Sementara si Tengah berusaha sekuat mungkin membiayai dirinya sendiri meski terkadang, Leony masih bantu. Yang paling menyulitkan Leony selain ibunya, hutang sang ayah yang banyak sekali. Terhitung dalam catatannya, ia sudah banyak menyelesaikan tanggungan itu. Menyisakan satu perkara saja; rumah mereka. Akan tetapi, di atas semua kegilaan yang mengikis habis sabarnya Leony hari ini, yang paling parah di restoran tempat di mana alat pemanggang dan steam bot sudah terpasang apik. Lengkap dengan menu yang Tio sukai. Sayangnya ada saja yang membuat mereka tertunda makannya. “Kenapa kamu diam saja, Ony?” Tio yang sejak tadi memperhatikan Leony yang terdiam, hanya mengaduk mangkuk supnya. apa ada yang salah dengan semua pesanan ini? Setahu Tio, Leony menyukai udang dan bakso ikan. Sengaja ia pesan dua porsi agar Leony mendapatkan bagian yang cukup untuk membuat gadis itu kenyang. Naina juga sudah ia perhatikan makanannya. Tapi kenapa Leony malah terdiam enggak berselera? “Ah!” Leony mengerjap pelan. Matanya menatap Tio dengan lekat lantas tersenyum tipis. “Enggak, Pak. Akan saya ingat apa yang kurang tadi.” “Enggak perlu begitu, Ony,” Tio menyeringai. “Kamu makan saja. Yang banyak. Kalau kurang tambah.” Naina mengangguk setuju. “Ini enak, Kak Ony.” Mulutnya ia suap nasi yang sudah dilumuri kuah dengan lahapnya. “Ambilkan aku sayurnya, Kak. Tadi Kak Ony bilang, harus banyak makan sayur, kan?” Leony tersenyum makin lebar. “Oke.” “Saya ambilkan slice dagingnya, Ony. Jangan sampai gosong. Saya enggak suka.” “Iya, Pak.” “Kak, telurnya mau. Yang matang, ya. Sudah belum?” “Sabar, ya, Nai.” Leony menarik napasnya pelan. “Bawang bombainya dibakar saja, Ony. Kamu pasti suka.” Diembuskan udara yang tadi ia kumpulkan di d**a dengan perlahan. “Iya, nanti saya bakarkan untuk Bapak.” “Mana lagi dagingnya? Udangnya bakar saja, ya, Ony? Kamu suka, kan?” Tuhan! Sabarkan hati Leony!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD