Leony kalau sudah di depan layar kerjanya, enggak ada yang bisa menjeda jemarinya menari dengan lihainya di atas keyboard. Di kanannya terdapat agenda berisi rangkuman. Kadang kedua telinganya disumbat earphone untuk mendengarkan apa yang Tio katakan bersama klien yang berbeda dari waktu ke waktu. Meski catatannya penuh tapi ia butuh mendengarkan ulang apa yang Tio katakan. Agak buang waktu, sih, tapi Leony paling tahu seandainya Tio berulah, ia punya bukti.
Senin merupakan hari yang memang sibuk. Bukan hanya Leony, sih, tapi hampir seluruh bagian di Faldom memang terlihat kesibukan di beberapa koridor. Apalagi Tio sudah memerintahkan untuk mempercepat laporan karena sebentar lagi rapat besar dengan komisaris utama. Banyak yang harus Tio persiapkan dan jelas, yang paling sibuk di dekat Tio adalah Leony.
Untungnya, ia terbiasa dibuat sibuk oleh Tio. Meski jelang rapat, sikap dan tingkah menyebalkan juga otoriter yang Tio punya tak bisa turun barang sejenak. Belajar dari pengalaman, segala macam ucapan Tio hanya sepintar lalu. Meski kadang nyangkut di hati dan bikin sakit, tapi rasanya kalau Leony bahas dengan entengnya pria itu berkata, “Memang maksud saya seperti itu, Ony? Enggak. Kamu salah kira. Yang saya maksud, kamu itu butuh istirahat cukup, tidur yang berkualitas, dan asupan makanan yang oke. Biar apa? Kamu konsentrasi penuh. Enggak berbuat kesalahan yang rasanya ini sepele, lho, Ony. Mata saya saja langsung nemu salahnya. Lah kamu? Bukan perkara kamu sudah pakai kacamata. Kamu saja yang terlalu lucu menanggapi ucapan saya.”
Sejak dari sibuk, Leony belajar bahasa tersirat yang Tio katakan termasuk membesarkan tabung hatinya agar memperluas bidang sabar di sana.
“Bagaimana Optima?” tanya Tio yang mendadak duduk di depan meja Leony. Tangannya sibuk menggeser layar tabletnya. Iris matanya hanya sekilas saja menatap Leony yang memang sibuk bekerja. Dan benar saja, si asisten kepercayaannya menggeser kursinya menuju salah satu laci. Mungkin mengambil laporan mengenai Optima.
“Dari data yang sudah saya kumpulkan. Juga berdasar data yang Bapak minta beberapa waktu lalu, memang ada indikasi penggelapan dana.” Leony memelajari berkas yang diminta Tio cukup intens. Entah kenapa ia merasa sang bos kali ini lebih terfokus pada Optima. Biasanya menggebu sekali terkait dengan rapat bersama komisaris. Untuk itu lah Leony lebih menitik pada berkas ini karena pertanyaan Tio kadang membingungkan.
Tio menghentikan jemarinya menari di atas gadget canggihnya. “Bagaimana maksudnya?”
Leony pun membuka laporan yang ia kumpulkan. Berbekal dari lembur gilanya di rumah Tio, meski banyak gangguan tapi berhasil ia lewati dengan baik. Juga berkas yang ia dapatkan dari bagian keuangan. Ia tunjuk satu demi satu serta jabarkan hasil penelusurannya. Jawaban yang semula tak bisa ia temukan dalam data, sudah bisa ia kemukakan dan terangkan pada Tio.
Beberapa kali pria itu memeriksa sekali lagi apa yang Leony jabarkan.
“Kenapa Kak Abyan enggak memperkarakan hal ini, ya?” tanya Tio dengan nada bingung. Matanya tertuju pada satu transaksi cukup besar di mana tak ada satu pun proyek yang terjadi selama pengucuran dana itu terjadi. “Kamu yakin sudah mengecek bulan Maret ini, Ony?”
“Sudah, Pak.” Leony bukan geram karena pertanyaan barusan. Ia tahu, sang bos menanyakan untuk sekadar memastikan sekali lagi apa yang ia temukan di data ini.
“Optima bagaimana kabarnya?”
“Masih belum ada yang merespon. Bu Nadia juga enggak bisa saya temui.”
Tio mengusap ujung dagunya pelan. Menatap sang asisten bukan untuk menilai penampilannya. Bukan juga menelisik kejujuran yang diucapkan. Tapi tengah mempertimbangkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Padahal beberapa bulan lalu, pihak Optima membantu mereka untuk membuka berkas lama. Kenapa sekarang justru terlihat menghindar?
“Saya cek ke alamat mereka, kantor Optima juga sudah pindah. Enggak ada yang tahu pindahnya ke mana.”
“Nadia sendiri?”
Leony menghela pelan. “Terakhir saya tahu, belian bekerja sebagai manager di hotel Harris.”
Kening Tio berkerut. “Tapi enggak mau merespon kamu?”
Leony menggeleng.
“Aneh banget.” Tio menyandarkan punggungnya dengan nyaman. “Ya sudah. Berkas ini jangan ada di kantor, Ony. Bahaya. Kamu rapikan dan tandai yang krusial. Sore nanti saya bawa.”
“Baik, Pak.”
Sebelum Tio beranjak masuk ke dalam ruangannya kembali, ia harus memastikan satu hal. “Naina nanti jadi mampir ke sini?”
“Jadi.” Senyum Leony mendadak terbit. Kacamata frame tebal itu pun ia benahi. “Saya lagi pesan makanan siapa tahu Nai lapar sepulang sekolah, Pak.”
“Naina kamu pesankan? Saya?”
Leony mengerjap pelan. “Saya pikir Bapak ada janji temu di luar. Jadwalnya seperti itu soalnya.” Ia pun membongkar agenda lain berisi semua jadwal sang bos. Entah sudah berapa banyak coretan ada di dalam sana. Semuanya kebanyakan berisi revisi namun Leony paling tahu mana yang benar-benar jadwal sang bos yang sesungguhnya. Termasuk mengenai makan siang kali ini.
“Masa?” Tio mengerjap tak percaya. “Kapan saya bilang ada janji temu?”
Leony menghela pelan. “Saat pulang dari makam kemarin, Pak.”
Tio masih menunggu penjelasan panjang dari Leony. Ia masih belum ingat memang. Yang ada di kepalanya sekarang adalah bagaimana mereka bertiga menghabiskan waktu bersama. Selesai makan dengan banyak drama minta ini dan itu, Tio memutuskan mengajak Naina ke bioskop.
Ada film yang cukup seru dinikmati bertiga. Rasanya juga ia sudah lama tak menginjakkan kaki di tempat umum seperti bioskop. Makan popcorn dengan santai, menikmati cup berisi soda, serta memanjakan mata dengan film yang sedang tayang. Di mana langsung disetujui Naina.
“Yes!!! Aku boleh sekalian belanja enggak, Daddy? Sepatu aku butuh pengganti.”
Tio berdecak tapi tak bisa menolak.
“Makan es krim sebelum kita benar-benar pulang, ya, Daddy?”
Tio angguki di mana respon Naina bersemangat sekali. Leony yang sudah duduk di sampingnya, hanya mengulum senyum tipis. Matanya lebih sering difokuskan pada jalan yang ada di depannya. Padahal bukan ia yang memegang kemudi, kan? Kenapa malah seperti ia yang harus punya konsentrasi penuh. Meski begitu, sang asisten normal bicaranya. Kadang menggerutu, kadang juga memanggilnya dengan sebutan Raptor. Ketambahan juga, Leony saat itu sering melipat tangannya di d**a.
Matanya menatap Tio dengan pandangan menghunus. Apa karena Tio banyak berulah?
Padahal hanya minta saran mengenai kemeja. Salah, ya?
“Kamu bilang semuanya bagus. Saya harus tentukan pilihan, Ony.” Tio menyerahkan lima warna kemeja yang menurutnya cocok untuk dikenakan.
“Kalau saya pilihkan tiga di antara lima, nanti yang dua Bapak bilang takut merasa iri.”
“Saya bilang begitu?” Tio melotot tak percaya. “Saya ucapkan itu sama teman kencan, lho, bukan sama kemeja.” Ia malah tertawa. Membuat salah seorang pelayan butik tempatnya b**********n kemeja mengulum senyum. “See? Mbaknya sampai tertawa, lho.”
Leony hanya menghela panjang. Tangannya bergerak cepat untuk memilihkan apa yang menurut matanya cocok bagi sang bos. “Tiga warna ini cocok. Sisanya Bapak sudah punya.”
“Serius?” Tio terperangah. “Kamu hapal banget, Ony.” Lantas sekali lagi ia tertawa. “Kebetulan senin saya ada janji makan siang dengan seseorang. Ini pantas untuk saya kenakan, Ony?”
Asistennya tanpa ragu mengangguk. “Formal atau informal?”
“Hanya kawan lama, Ony.”
“Kalau begitu, tolong carikan celana warna light grey tadi. Di ujung sana. Gesper cokelatnya juga boleh dan sepatunya. Saya lihat di etalase sebelah kanan atas, ada sepatu yang pas untuk bos saya. Bisa dibawakan? Saya ingin mencocokkan semuanya?”
Tio tersenyum lebar.
“Oh, sekalian blazer navy yang santai tadi.” Leony menyentuh ujung hidungnya. “Saya yang cari, deh.” Ia pun melesat pergi. Meninggalkan Tio dan Naina yang asyik menikmati satu cup es krim. Anak itu memang harus dibungkam dengan sesuatu yang disukai. Juga di samping sang bocah duduk, berjejer paper bag berlogokan brand ternama tempat di mana ia habiskan pundi uang Tio.
“Kak Ony seleranya bagus,” puji Naina masih sembari menyuap sendok esnya. “Daddy mau?”
“Mau dong. Suapi Daddy,” pintanya. Es vanilla mix strawberry dengan banyak topping ekstra meluncur masuk ke dalam mulut Tio. Sesekali ia tanyakan mengenai sekolah sang keponakan serta arah tujuan selepas ujian nanti. Inginnya Tio, sih, sekolah di tempat yang lebih oke dalam segi pengajaran, tapi melihat minat Naina enggak ada. Tio menyerahkan keputusan bersekolah di jenjang lanjutan itu pada sang bocah.
Jangan sampai ia merasa terpaksa sebagai murid di sekolah tujuan Tio.
“Ada lagi yang mau kamu beli enggak?” tanya Tio dengan santainya. Sesekali ia rapikan rambut Naina meski sebenarnya tak perlu. Leony merapikan rambut panjang itu dengan piawai sekali. Bahkan Bu Muji saja tak terlalu pandai.
“Enggak.” Naina menggoyangkan cup es krimnya. “Kak Ony enggak mau, sih, dibelikan sweater. Tadi lucu banget. Bentuknya seperti kucing imut begitu, Daddy.”
Tio tergelak. “Mana mau Kak Ony pakai seperti itu.”
“Daddy payah! Kak Ony itu suka barang-barang imut seperti yang tadi kubilang. Sayangnya dia enggak percaya diri untuk pakai. Dia bilang, kok, tadi.”
“Oiya?”
Naina tanpa ragu mengangguk cepat. Bercerita ini dan itu mengenai apa yang ia bicarakan berdua dengan Leony. Seru menurutnya. Naina merasa tak terlalu kesepian. Pembicaraan itu terjeda karena kedatangan Leony di mana gadis itu agak kerepotan membawa beberapa jenis barang.
“Nah, Bapak bisa coba sekarang.” Leony menyeringai lebar. Hasil buruannya dengan sang bos, terlihat sempurna sekali. Apalagi saat Tio kenakan. Senyum Leony tak ingin pudar jadinya. Definisi pebisnis muda yang sukses, eksekutif muda berbakat, tampan, mapan, dan pastinya bukan dari kalangan biasa, tersemat dalam sosok Tio.
Leony bangga bisa menikmati sosok itu meski hanya sebagai asistennya. “Siap untuk pertemuan besok.”
“Begitu?” Tio mematut dirinya di depan cermin. Dari pantulannya juga terlihat kalau Leony menyoroti dirinya penuh kagum. “Kalau kamu bilang begitu, saya beli semuanya.”
Mendadak semua percakapan itu terputar dengan cepatnya. Lantas ... Tio pun tergelak. Ia juga baru menyadari semua pilihan Leony kemarin, ia pakai tanpa ragu. Pun saat tiba di kantor pagi harinya, Leony mengacungkan dua jempol. Katanya, “Bapak keren.”
Apa Leony tak sadar, keren yang dimaksud itu berasal dari pilihannya kemarin? Tio hanya mengabulkan apa yang menurut mata Leony pas untuk ia kenakan. Meski tak bisa ia pungkiri, ia menunggu pujian sang asisten.
“Apa ... Bapak batalkan janji? Tapi setelah makan siang, meeting dengan divisi marketing enggak ditunda, kan, Pak?” Leony jadi gelagapan. Jangan sampai apa yang sudah ia rencanakan sejak pagi, berantakan karena Tio seenaknya mengubah jadwal. Ia takut, janji temu sang bos siang ini berakhir dengan kencan singkat di hotel.
Singkatnya kencan Tio itu bisa membuat sang bos kembali ke kantor jam empat sore. Enggak ada meeting di sore hari kecuali sangat amat terpaksa dilakukan. Dan dipastikan Leony pasti pulang terlambat.
“Enggak.” Tio menggeleng cepat. “Semuanya sesuai dengan jadwal yang ada.” Ia pun bangun dari duduknya. “Tadi kamu delivery apa?”
“Ayam resto cepat saji, Pak.”
“Astaga.”
“Enak, Pak.” Leony menyeringai. “Lagian Naina juga suka. Saya belikan sup juga, kok.”
Tio menggeleng pelan. Enggak akan mau dirinya menyantap makanan seperti itu. Bukan sombong, tapi ia butuh banyak nutrisi bagi otaknya. Pekerjaannya banyak menuntut ia memeras otak lebih. “Telepon Naina. Tanyakan posisinya sekarang di mana.”
Kening Leony berkerut dalam.
“Kita makan di Amaris.”
“Kita?” ulang Leony dengan herannya.
“Iya.” Tio menoleh sekilas. “Sudah, persiapkan saja diri kamu dan Naina. Bilang Parjo jangan terlalu lama di jalan.”
“Kalau mereka terjebak macet, masa iya harus cepat, Pak?” Leony berkata dengan suara pelan. Jangan sampai sang bos mendengar. Jadi untuk menutupi gumaman berbalut heran dan bingung karena, hei ... ini Jakarta. Sudut bagian Jakarta mana yang enggak macet?
Masa iya lagi menyetir yang mana mobil itu terjebak kemacetan sana sini, harus mempercepat laju mobilnya? Mungkin kalau Naina menggunakan motor, kemungkinan sampai dengan lebih cepat bisa terjadi. Kalau mobil? Berdoa saja tak ada kendala apa pun.
“Kamu bilang apa barusan?”
Leony mengerjap jadinya. “Enggak ada.” Cengiran ia beri dengan segera untuk menutupi apa yang ia sembunyikan. “Saya telepon Amaris dulu untuk pastikan tempatnya, Pak.”
“Sebenarnya saya ingin bertanya sesuatu, Ony.”
Gagang telepon yang sudah ada di dalam genggaman tangan Leony, hanya menggantung begitu saja. “Ya?”
“Kenapa saya sering sekali dipanggil Raptor? Saya sudah cari tahu Raptor itu seperti apa. Enggak ada definisi yang mirip dengan saya.”
Leony menelan ludah gugup.
“Apa kamu punya penjelasan ilmiah yang lainnya? Perkara Raptor untuk panggilan ke saya?”
“Enggak ada, sih, Pak.” Leony meringis canggung. Tio itu tipe orang yang kalau bertanya, ia harus mendapatkan jawabannya. Meski jawaban yang didapatkan belum tentu memuaskan sang bos, tapi setidaknya tak akan timbul pertanyaan berikutnya kecuali berkaitan dengan pekerjaan.
Tio dan apa yang ia tekuni di Faldom, sangat patut Leony acungi jempol. Terjun yang sebenar-benarnya sampai tahu sejuk beluk masalah yang terjadi di tiap divisi. Makanya mungkin karena ada sesuatu yang mengusik sepeti keterkaitan Optima ini membuat sang bos agak terusik. Lain dari masalah ini, Tio benar-benar memosisikan dirinya sebagai bos yang kompeten.
“Saya heran saja, sampai sekarang otak ini enggak sanggup berpikir. Apa yang buat kamu memberi label saya Raptor?”
Leony sendiri bingung kalau ditanya seperti itu.
“Apa itu panggilan sayang dari kamu untuk saya?”
Mata Leony terbeliak tak percaya, bertepatan dengan ucapan itu juga, seseorang masuk ke dalam ruangan mereka seenaknya.
“Hai, Tio.” Rara muncul di sana sembari mendelik tak suka pada sekuriti yang menemaninya. “Aku sebal banget, deh, kenapa enggak bisa temui kamu? Padahal kita sudah ada janji, kan?”