Karena kesalahan email kemarin, Leony jadinya lembur. Meski disediakan hotel yang nyaman untuknya beristirahat kala malam tiba, tapi kalau pekerjaannya enggak pernah berhenti ditumpahkan Tio, jadi apa dirinya selain sesak napas lantaran kebanyakan kerja.
“Gila banget emang si Raptor,” keluh Leony. Dilepaskan kacamata yang selalu membingkai kedua manik mata cokelat terangnya. Sesekali ia kucek karena lelah padahal hal itu enggak boleh dilakukan, kan? Mau gimana lagi? Matanya terasa gatal! Diliriknya jam yang ada di kamar, agak menyipit dan mencoba fokus meski berbayang. “Sudah jam sebelas malam? Astaga!”
Ia pun menyeret langkahnya dengan gontai. Ranjang empuknya sudah memanggil dengan suara nyaring untuk ia hampiri. Lalu rebahan di sana sekehendak hati. bangun siang kalau perlu andai ia tak ingat, jam sepuluh esok mereka harus meeting.
Kedatangan Tio ke Surabaya selain diminta khusus untuk menemui neneknya Naina, ternyata memang ada keperluan yang membahas proyek di area Sidoarjo. Pabrik yang rencananya akan dibangun untuk menyuplai bahan di area Jawa Timur, masih dalam tahap pembicaraan pembebasan lahan. Hal ini yang paling lama menemui kesepakatan. Untuk masalah design, penggunakan, serta menggelontorkan uang untuk menjadikan lahan tersebut bangunan yang tepat guna, itu hal mudah.
Selama lahannya sudah terbebas dan siap untuk ditancap paku bumi.
Namun sebelum ia benar-benar merebahkan diri, bel berbunyi dari arah pintu kamarnya. Membuatnya mendadak terkejut. Siapa yang bertamu malam seperti ini?
“Siapa, ya?” Ia pun menyambar dengan segera kacamata yang tadi ditaruh di nakas. Mengambil cardigan agar piyama pendeknya tertutup segera.
“Layanan kamar, Nona.”
Kening Leony makin berlipat, lah. Untuk memastikan hal itu, ia pun mengintip sekilas di mana memang benar seorang pria berseragam hotel tempatnya tinggal sementara berdiri di sana. “Ada apa, ya?”
“Oh, ini Nona.” Ia pun mengangsur satu plastik bersegel di mana ada logo apotek terlihat cukup jelas. “Ada kiriman dari Pak Tio untuk Nona. Pesannya, jangan lupa diminum rutin.”
Leony makin heran jadinya. Sejak kapan Raptor baik hati? Baru juga ia terima kantung itu dan kembali menutup pintu, ponselnya berdering nyaring. Astaga. Kenapa ia sampai lupa mengecilkan volume, sih? Macam orang norak saja yang baru punya ponsel! Ia pun menggerutu sembari menghentak dan segera menyambar cepat ponsel yang ada di samping laptopnya.
Nama Tio muncul di layar yang mana segera ia geser icon hijaunya.
“Sudah terima paket saya?”
“Bukan bom, kan, Pak?”
“Itu telurnya Raptor!”
Leony ngakak, puas sekali. “Bapak kalau modenya bercanda, beda banget. kalau serius, benar deh, mirip banget Raptor.”
“Diam, Ny!” kata Tio masih dengan nada kesal. “Coba kamu lihat dulu isi plastiknya tadi. Saya sengaja belikan kamu vitamin.”
“Buat apa, Pak?” Leony jelas heran, lah. Tio enggak seperhatian itu, kok. Tiap kali ia belikan sesuatu, pasti ada imbalan yang harus diberikan.
Kok, gitu? Ada, ya, orang macam Tio? Ada, lah! Buktinya, masih hidup. Memimpin dengan baik Faldom yang makin jaya meski di bawah tangan dan komandonya yang banyak mau dan perintah.
Misalnya, Leony diberikan agenda dengan sampul kulit serta pena yang harganya membuat perut gadis itu mules dadakan. Tak ingin menerima, tapi Tio paling tau cara membuat Leony mengucapkan, “Terima kasih, Pak.”
Setelahnya?
“Catat semua hal yang penting. kalau perlu di jidat kamu juga buat salinannya. Jangan sampai jadwal saya salah. Bukan kamu aja yang malu, tapi saya juga.”
Yaelah! Kalau mau tegur Leony perkara kesalahannya, kenapa juga mesti kasih hadiah? Tinggal bilang baik-baik enggak perlu segala pakai sindiran. Leony juga tau kalau ia melakukan kesalahan di mana sangat ia tekankan untuk punya cadangan catatan kegiatan sang bos. Jangan sampai tertukar karena ia salah input hari selasa tertukar dengan kamis.
Makanya ia bertanya, vitamin yang dikirimkan Tio gunanya untuk apa. Kalau sebatas untuk menambah stamina karena mau disiksa, Leony pulang ke Jakarta aja, lah! Meski hitungan lemburan dan perjalanan dinas kali ini membuatnya bersemangat menyelesaikan semua pekerjaan yang ada, tapi kalau Tio seringnya berulah, ia undur diri saja lah.
Kerja di kantor yang ada di Jakarta aja. Tio biar cari asisten yang lainnya saja!
“Kamu enggak salah nanya, Ony?” tanya Tio penuh nada menyelidik. “Tau gunanya vitamin, kan?”
“Tau,” sahut Leony singkat.
“Kenapa malah tanya saya?”
“Siapa tau Bapak berniat menyiksa saya besok. Vitamin adalah bentuk sogokan biar saya enggak ambruk.”
Tio ngakak. Sampai sakit perut di kamarnya. Rasanya juga ia mau jatuh dari ranjang saking berguling-guling geli mendengar ucapan asistennya barusan. “Nyiksa kamu?” Lagi-lagi Tio tertawa. “Kejam sekali saya, ya?”
Leony mencebik. Mau bilang ‘baru sadar, Pak?’ tapi engak berani. Lebih baik dirinya diam saja.
“Saya belikan karena tadi saat makan siang, muka kamu pucat banget. Enggak habis lihat hantu, kan?”
Mata Leony mengerjap pelan. Memahami ucapan Tio kali ini. Bukan ia tak menyadari arahnya, tapi kalau pucat karena ia melihat hantu, jelas tebakan Tio adalah yang paling ngawur sedunia. Satu-satunya hal yang masuk akal yang menyebabkan wajahnya pucat adalah … wanita yang Tio bawa.
Ingatan Leony diseret pada kejadian yang belum genap berlalu dua puluh empat jam.
“Ony, kenalkan ini Rara.”
Wanita berambut pirang itu terus saja bergelayutan manja di lengan sang bos. Meski tangannya terulur, tapi matanya itu … menatap Leony dengan tajamnya. Di mana ditutup sempurna dengan senyuman lebar penuh rayu.
“Hallo,” sapa Leony mencoba ramah.
“Ini asisten kamu, Mas?”
“Iya.” Tio sedikit melepaskan diri. “Kita makan dulu, ya.”
Rara, kalau Leony tak salah ingat namanya Alvera Dinamika. Teman semasa SMAnya dulu. Yang membuatnya menjalani perawatan beberapa hari di rumah sakit. Cantik, tapi hatinya serupa iblis. Rasa trauma itu, walau diobati berkali-kali tapi belum bisa ia damaikan apa yang bergejolak dalam dirinya.
Belum ia lupa, kok, kejadiannya. Tapi berusaha sekali untuk Leony agar lupa. Karena ingat nama dua gadis yang membuatnya takut kegelapan. Takut suara bising. Dan terkadang, ia harus minum obat penenang karena suara-suara yang berseliweran di kepalanya sangat menganggu. Beruntungnya pekerjaan kali ini membuatnya sibuk. Ia sampai tak bisa memilkirkan apa pun kecuali pekerjaan.
Beruntungnya ia.
Tapi sekarang? kenapa ia harus dipertemukan dengan masa lalunya, sih? Tapi … ia pernah menjalani sesi konseling di mana salah satu sarannya adalah; lawan. Enggak peduli bagaimana kamu melawan, tapi paling enggak ia harus bersuara. Meski gemetar takut, khawatir mendapatkan balasan yang jauh lebih mengerikan ketimbang sebelumnya. Tapi kalau ia tak mencoba, ia tak akan tau apa cara itu akan berhasil?
Ia hampir melupakan kemungkinan bertemu salah satu di antara mereka. Ah … Tuhan kalau ciptakan garis itu terkadang enggak pakai aba-aba. Di mana ia harus segera siap menghadapi pertempuran. Sama seperti sekarang. Dan lagi, astaga, Tuhan! Bosnya memang buta, ya? Hanya karena cantik, lantas dikencani!
Akan tetapi seharusnya Leony tau itulah Tio, kan? sang cassanova yang banyak wanita mengelilinginya? Sayangnya … hanya berakhir di ranjangnya saja. tak pernah ada niatan untuk benar-benar mengakhiri petulangannya. Dan sekarang ia dihadiahi Tuhan satu takdir yang lucu.
Rara … wanita cantik tiu hanya akan berakhir dengan kesenangan sesaat saja dengan sang bos. Bisa jadi di luaran sana, Rara juga melakukan hal yang sama, kan?
Senyum di bibir Leony mulai tampak atas pemikirannya barusan. Memilih mengambil ponselnya saja sembari mengecek sekali lagi, agenda selama di Surabaya untuk sang bos apa saja. Untuk kesalahannya, ia harus membuka laptop. Tak mungkin ia lakukan sekarang. bisa-bisa Raptor menyemburkan api.
“Kamu sudah pesankan makanan untuk saya, Ony?” tanya Tio sembari membuka menu yang ada di meja. “Kamu pilih mau makan apa. Sepertinya asisten saya sudah lebih dulu untuk bagian saya.”
“Santai aja, Mas.“ Rara tersenyum lebar. “Aku enggak ingin makan berat, sih. Bisa pesankan roti di Bread Coffe enggak?”
Obrolan mereka terjeda dengan kedatangan pelayan yang membawakan pesanan Leony. Kepul asap serta aroma gurihnya sudah mengundang sekali untuk mereka nikmati. “Semoga Bapak enggak kecewa dengan pesanan saya,” katanya singkat. “Mari makan.”
“Oiya, sebelum kamu makan. Belikan aku camilan dulu dong,” ucap Rara dengan senyum semanis madu serupa dengan racun mengarah pada Leony. “Aku lapar.”
Leony menghela pelan. membasahi bibir sebelum ia sedikit menggeser menu yang ada di dekatnya. “Bisa dipesan menu yang ada di sini.”
“Mas,” rayu Rara dengan wajah berubah sendu. Sengaja ia buat nada merajuk agar gadis berponi ini mau menuruti apa maunya. Sama seperti di masa lalu. Yang bisa ia permainkan sembari tertawa bebas dan puas. apalagi sampai melihatnya ketakutan. Ah … rasanya ingin ia ulang kisah itu. Atau, ia beberi sekarang, ya?
“Makan yang ada aja, Ra.” Tio menyuap dengan segera makannya. “Dan kamu, jangan hanya melihat makanan yang sudah tersaji. Kita butuh membahas kesalahan kamu.”
“Leony?”
“Eh! Iya, Pak!”
“Kamu pasti melamun?”
Leony meringis saja.
“Minum vitaminnya. Besok kita ke Sidoarjo.”
“Naina, Pak?”
Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Tio berkata, “Enggak ikut. Neneknya mau ajak liburan ke Bali.”
“Saya kapan liburannya, Pak?”
“Kamu pikir saya bisa liburan? Kalau saya liburan, baru kamu bisa berlibur juga.”