Kalau saja banting laptop bisa membuat semua pekerjaannya beres, pasti Tio lakukan. Tapi mana bisa! Yang ada semuanya berantakan! Astaga, Tuhan! Kenapa, sih, Tio kadang harus menemui hari di mana Leony berubah menjadi lemah otaknya?
Kenapa?!
“Sabar, Tio,” katanya pelan. Mengusap dadanya sebagai bentuk rileksasi yang bisa ia lakukan. “Pasti Leon ada di luar kantor makanya kerjaannya aneh gini.”
Ponsel yang memang selalu ia taruh di dalam laci kala bekerja, ia keluarkan. Tanpa perlu melihat kontak, saking seringnya menghubungi dan dihubungi Leony, ia pun segera membuat panggilan telepon. Tak butuh lama responnya dari Leony, sih. Asistennya itu selalu cepat tanggap tapi … seringnya juga buat kesal.
Seimbang lah membuat Tio pusing dan bangga.
Tapi yang tahan bekerja dengan Tio, hanya Leony. Setelah kepergian sang pemilik serta direktur utama Faldom yang sangat mendadak, yang menyisakan begitu banyak proyek serta karyawan yang bisa dibilang bergantung di sana, Tio ambil alih. Semuanya. sampai detail terkecil sekali pun, ia genggam.
Walau banyak tekanan menderanya, terutama dari pihak keluarga sang kakak ipar; Azkia, ia tak peduli. Yang terpenting, perusahaan itu harus bisa terus berjalan. Walau makin lama kejanggalan makin terasa, Tio berusaha untuk mencari tau namun terus berkembang membesarkan Faldom.
Mungkin karena tuntutan itu juga, Tio selalu bersikap serius. Didewasakan oleh waktu serta keadaan yang sangat mendesak. Padahal Tio masih ingin melanglang buana; memiliki pacar bule misalnya. Bukannya duduk dengan punggung tegak, menganalisa jalannya perusahaan, mengambil banyak keputusan penting, ditambah dengan keruwetan urusan pribadinya.
Jadi lah Tio ini juga agak enggak sabar kalau enggak ada yang bisa imbangi dirinya. Kesan tegas, disiplin, tak banyak bicara, disertai lirikan mata yang tajam membuatnya banyak disegani kawan juga lawan. Rasanya juga ia memang butuh memakai topeng seperti itu. Biar enggak selalu diremehkan karena menjabat sebagai yang utama, karena meninggalkan sang kakak.
Astaga! Andai bisa berteriak sembari meminta dengan amat, maunya sang kakak dan istrinya itu masih hidup. Bersama melihat bagaimana sehatnya Naina. Anak mereka. Bukan malah di bahunya dijatuhkan dua beban berat sekaligus. Jadi penerus pengganti serta sebagai seorang daddy padahal menikah saja yang seumur hidup sekali saja, belum ia lakoni.
Abrianna Leony Jacob, nama sadis yang style rambutnya kini mengenakan poni depan. Surai itu hitam lurus sebahu, masih jua mengenakan kawat gigi sejak awal ia bekerja bersamanya. Dan yang paling Tio sebal, kenapa kacamatanya selalu berframe tebal? Apa Leony enggak bisa memilih yang pas dengan mukanya? Kalau Tio boleh kasih penilaian, wajah Leony ini cukup cantik, kok. Tapi kenapa enggak mau diperlihatkan? Jadinya jomlo terus, kan?
Alah! Ngurusin amat percintaan asistennya! Dirinya sendiri apa kabar? Sudah berapa tahun sendirian tanpa adanya pendamping? Kalau sebatas wanita yang menemaninya sesekali, jangan ditanya. Ia enggak kekurangan hiburan dan pereda stress. Sekadar penghilang kepenatan dari segala macam rutinitas yang enggak pernah pergi darinya.
“Ya, Pak?” tanyanya di ujung sana. Pendengaran Tio enggak bermasalah, kok. Ada teriakan anak-anak serta musik ceria sebagai latar di sana.
“Di mana kamu?”
“TimeOne, Pak. Non Naina enggak mau pulang. Saya bingung membujuknya.”
Tio memejam kuat. “Tapi kamu tau hari ini bekerja, kan?”
“Saya juga maunya kerja, Pak,” kata Leony dengan decakan sebal. “Tapi Nyonya Besar narik saya ikut belanja, Pak.”
“Email yang kamu kirim salah semua, Ony!”
“Yang benar?”
“Yang salah!” sentak Tio jadinya. “Temui Ibu, bilang kamu diminta kembali ke kantor!”
Tak ada respon dari Leony. Mungkin asistennya itu masih berpikir atau entah lah. Tio butuh Leony sekarang. ia harus menyelesaikan proyek yang lain. kalau laporan ini saja salah, bagaimana bisa ia melanjutkan pekerjaan seterusnya? Astaga, Tuhan! Kapan, sih, Tio selesai diuji oleh keberadaan Leony?
“Ony?” panggil Tio sekali lagi.
“Saya punya telinga masih waras, kok, Pak,” sahutnya kalem. “Bapak mau donat tabur meises? Saya arah pulang kantor segera. Maaf saya yang salah mengenai emailnya. Segera saya perbaiki.”
Kalau Leony sudah berkata begitu, marahnya Tio jadi sedikit melembut.
“Oke. Saya tunggu.” Tapi sebelum ia benar-benar putuskan sambungan telepon itu, Tio kembali bersuara. “Sekalian kopi, ya, Ony.”
“Beres, Bos!”
Senyum Tio sedikit timbul. Yah … mungkin ini juga yang membuat Tio merasa Leony memang cocok menjadi asistennya. Tak banyak tingkah meski agak lemot. Walau ia akui, tingkat ketelitiannya saat serius luar biasa sekali membuatnya kagum. Mungkin juga karena tadi direcoki Naina makanya ia tak konsetrasi? Bisa jadi, kan? Naina ini memang terkadang manjanya bikin usap-usap daada.
Tio kembali menekuri layar kerjanya. Jam yang tertera di sudut kanan bawah komputernya sudah menunjuk pukul dua belas lebih lima belas menit. Perutnya dengan kurang ajar sekali malah berbunyi minta diperhatikan. “Astaga!” Ia pun kembali menyambar ponselnya.
“Ony, share lock mall tempat kamu have fun sama Naina. Pilih restoran yang kamu suka. Saya susul. Pesankan makan siang untuk saya.”
“Hah?”
“Cepat!”
Sebelum Tio menutup teleponnya, ia masih bisa mendengar gerutuan Leony mengenai dirinya. Apa katanya, “Raptor sinting!”
Memang wajah tampannya ini mirip Raptor?!
***
Bekerja dengan Raptor tengil bin menyebalkan macam Tio itu sudah seharusnya bisa ia atasi, kan? bukan sekali dua kali kalau sang bos mendadak mengubah arah hidupnya seena udel? Macam sekarang! untung saja ia belum mengantri beli kopi juga donat. Eh … sudah ditelepon mau nyusul.
Sebenarnya yang enggak efisien itu siapa, ya?
Bukankah dirinya bisa diminta untuk membeli makan siang? Kenapa juga si Raptor harus turun dari peradabannya yang nyaman? Bukan apa. Kalau macet, terlalu lama penyajian menu makan siangnya, atau malah terlalu ramai restoran yang ia pilih, mulutnya lancar sekali memberi petuah.
Sampai Leony hapal di luar kepala, kata apalagi yang akan Tio ucapkan.
“Dasar reseh!!!” Ia pun menghentak kesal. berbalik seraya berpikir, di restoran jenis apa yang cocok untuknya? Ini bertepatan dengan jam makan siang, kan? Kapan enggak ramai? Etapi ini Surabaya, sih. Seharusnya keadaan mall tak seperti di Jakarta, kan?
Sebenarnya ia terpaksa betul ikut Tio dan Naina ke Surabaya. Kalau bukan karena air mata Naina, ia enggak akan mau menjadi buntut Raptor. Mana dirinya juga jadi ikutan repot. Coba Leony jabarkan dulu kerepotannya seperti apa. Pertama, dia harus menjaga Naina. Yang mana anak itu astaga naga! Aktifnya luar biasa. sudah cerewet, kalau bertanya seenaknya, enggak bisa diam, energinya selalu penuh. Ditambah cara bicaranya sinis sekali macam orang meremehkan.
Andai saja menjitak Naina itu diperbolehkan, pasti ia lakukan. Sayangnya … Naina ini keponakan Tio yang paling disayangi.
Meski begitu, atas segala hal yang merepotkan mengenai Naina, Leony senang saja, sih, bergandengan tangan dengan bocah yang sebenarnya cantik ini. Sayangnya enggak terlalu terawat. Gimana bisa dirawat dengan baik macam Malika, si kedelai hitam yang ada di iklan perkecapan di TV? Bos Raptor sibuknya luar biasa mengalahkan presiden.
Mereka banyak tertawa selama perjalanan ke Surabaya. Jadi hal lainnya yang ia keluhkan, dianggap lunas saja. Leony kasihan kalau berkeluh kesah seputara Naina. Ia tak tega. Apalagi begitu mereka tiba di rumah besar yang menurut Leony, kategorinya mewah.
Iya, lah. Rumah tiga lantai dengan gerbang tinggi, serta banyak bangunan di sisi kanan dan kiri. Belum lagi diapit taman yang indah terawat. Di mana juga sang pemilik rumah menyambutnya dengan penampilan yang agak borjuis, lah, di mata Leony. Menggunakan kalung mutiara, rambutnya agak disanggul tinggi, blouse batiknya Leony yakini harganya enggak main-main. Tapi satu hal yang membuatnya agak bingung.
Bukan apa, neneknya Naina dari pihak almarhumah ibunya ini sering menatapnya sinis. Apalagi saat matanya memperhatikan sang bos.
Bah!
Macam mau dikuliti si Tuan Maha Benar Satryo sang Bos Raptornya. Tak ingin banyak tanya, sih, tapi sepertinya hubungan mereka berdua enggak baik. Entah lah. Sepanjang tiga tahun bekerja bersama Tio, ia tak ingin tau terlalu banyak mengenai Tio. Cukup sekelumitnya saja. Seperlunya karena ia tau, dirinya dan Tio berbeda.
“Ck!” Leony menggeleng tegas. “Ngapain amat mikirin hal enggak penting begitu?” Ia pun membelokkan arah langkahnya ke restoran bernuansa khas Surabaya ini. Semoga saja sang bos enggak masalah dengan menu pilihannya. Semua yang menurutnya bisa Tio makan, sudah ia pesan. Mejanya juga ia minta di tempat yang agak privasi.
Leony tau betul selera Tio seperti apa.
Termasuk …
“Astaga, cewek mana lagi yang dia bawa?”