Bab 15

1766 Words
Kinara terbangun di tengah malam karena merasakan nyeri di pergelangan kakinya. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil minyak angin aromaterapi yang ada di ujung ranjang tidurnya. Rasa nyeri di pergelangan kakinya tidak kunjung membaik padahal Kinara rajin mengoleskan minyak angin dengan sensasi panas yang begitu luar biasanya. Selain itu, Kinara juga sudah meminum obat anti nyeri yang dibeli oleh ayahnya. Tapi hanya dalam beberapa saat, rasa sakit di pergelangan kakinya kembali terasa menyiksa. Di tengah malam seperti ini, tidak ada hal yang bisa Kinara lakukan selain menunggu hingga sensasi panas dari minyak angin yang ia oleskan kembali terasa. Sekalipun tidak menghilangkan nyeri, setidanya minyak tersebut bisa menyamarkan rasa sakit di kakinya. Hari ini Kinara sangat tidak beruntung. Selain mengetahui jika Dareen memiliki kekasih, Kinara juga harus menghancurkan harga dirinya sendiri ketika Dareen dan Zeline datang ke rumahnya. Entah apa yang mereka pikirkan tentang Kinara, tapi yang pasti mereka akan berhenti menemui Kinara. Bahkan jika bisa, mereka akan melupakan Kinara dari daftar orang yang mereka kenal. Status sosial Kinara sangat rendah, orang seperti Dareen dan Zeline jelas tidak ingin memperburuk profil mereka karena memiliki hubungan dengan Kinara. Rasanya sangat menyakitkan ketika harus mengubur harapannya bahkan saat harapan tersebut belum sempat ia ungkapkan. Kinara tidak akan memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Dareen lagi. Mereka terlalu berbeda.. terlalu jauh untuk diraih. Sampai kapanpun Kinara hanya akan menjadi pungguk yang merindukan bulan. Dia hanya seorang biasa yang mengharapkan sesuatu yang mustahil akan terjadi. “Kinara? Kamu baik-baik saja?” Tiba-tiba ayahnya mendorong pintu kamar Kinara agar terbuka lebih lebar. Sejak awal, kamar Kinara memang tidak ditutup dengan rapat karena ibunya khawatir Kinara akan membutuhkan bantuan di tengah malam. Kinara tidak menyangka jika ayahnya yang akan datang untuk memeriksa keadaannya. “Aku baik-baik saja.” Kinara segera menyimpan minyak angin miliknya, ia menggerakkan kakinya dengan perlahan lalu bersiap untuk kembali berbaring. “Ayah boleh masuk ke kamarmu, kan?” Kinara berencana untuk menolak ayahnya, namun pria itu sudah terlanjut berdiri di ambang pintu. Dengan rasa kesal yang menguasai hatinya, Kinara menganggukkan kepala dengan pelan. “Ada apa?” Akhirnya Kinara memutuskan untuk menarik punggungnya agar ia bisa bersandar di tembok. Matanya mulai terasa perih karena ia terbangun di tengah malam. Namun Kinara yakin ia tidak akan bisa kembali tidur dengan cepat karena Kinara memiliki kebiasaan buruk setiap kali tidurnya terganggu, maka ia tidak bisa kembali tidur. “Ayah hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.” Kata pria itu. Kinara menarik napasnya dengan jengah. Ia tidak memiliki waktu untuk pertanyaan basa-basi yang diajukan oleh pria tersebut. Namun Kinara juga merasa terlalu tidak sopan jika ia mengusir ayahnya secara langsung. “Masih terasa sakit. Sepertinya besok aku harus ke dokter.” Kata Kinara. Jangankan untuk biaya dokter, untuk makan saja mereka kesulitan. Sekalipun sudah berusaha untuk bekerja keras setiap hari, mereka tetap tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari karena lebih dari 70% penghasilan mereka harus diserahkan kepada lintah darat untuk membayar hutang ayahnya. Rasanya sangat tidak adil. Bukan Kinara yang meminjam uang dari lintah darat, tapi dia juga harus ikut menanggung akibatnya. Kinara harus bekerja sepanjang hari untuk menjaga toko, ibunya harus menjahit dan menerima pekerjaan lepas dari tetangga sekitarnya, tapi mereka sama sekali tidak bisa menikmati hasil dari kerja keras mereka. “Ke dokter?” Kinara menatap ayahnya dengan sedikit kesal. “Apa? Ayah tidak punya uang?” Tanya Kinara. “Jangan memikirkan uang. Jika kamu memang harus ke dokter, kami akan berusaha semaksimal mungkin agar bisa—” “Bagaimana bisa?” Tanpa sadar Kinara mulai menaikkan intonasi suaranya. Ayahnya terperanjat, terlihat terkejut dengan suara Kinara. “Bagaimana bisa kita membayar tagihan rumah sakit? Apakah ayah punya uang? Tidak, bukan?” Kinara merasa jika matanya mulai memanas. Sejahat apapun kalimat yang ia ucapkan untuk menunjukkan protes kepada orangtuanya, jujur saja kalimat itu juga membuatnya merasa tersiksa. “Kinara... kamu tidak perlu menghawatirkan tentang uang. Jika kamu memang harus pergi ke rumah sakit, maka ayah akan mengusahakannya.” Ayahnya tampak berusaha untuk meyakinkan Kinara. Sayangnya, Kinara mulai kehilangan kendali atas emosinya. Seumur hidupnya, sudah berulang kali Kinara mendapatkan janji yang sama. Ayahnya akan berusaha mencari uang.. ya, pria itu memang akan datang sambil membawa uang dalam jumlah yang cukup besar, tapi keesokan harinya mereka akan kebingungan karena harus membayar hutang kepada rentenir. Jujur saja, Kinara lelah dengan segala masalah yang selalu berhubungan dengan uang. Ia lelah.. sangat lelah. Sampai kapan Kinara harus bekerja keras untuk membayar hutang ayahnya? Sampai kapan ia harus hidup sengsara dan menderita? “Apakah minggu depan aku harus bekerja sepanjang hari untuk membayang bunga dari uang yang ayah ambil? Kali ini rentenir mana yang akan ayah datangi?” Tanya Kinara. “Kinara..” Kinara tersenyum kecut. Jika ada yang pernah bertanya kenapa Kinara sering berbicara kasar dengan kedua orangtuanya, kenapa Kinara tidak pernah berlaku sopan kepada kedua orangtuanya, dan kenapa Kinara selalu menjawab pertanyaan orangtuanya dengan jawaban menyakitkan, maka inilah jawabannya. Inilah kenyataan yang selalu menekan hidupnya. Bahwa Kinara harus bekerja sepanjang hari hanya demi membayang hutang ayahnya. “Apakah aku salah? Apakah kali ini ayah akan membayar tagihan rumah sakit dengan uang ayah sendiri?” Tanya Kinara. Kinara masih ingat kejadian beberapa tahun lalu. Ia sakit demam selama lebih dari sepekan, keadaannya sangat buruk sehingga kedua orangtuanya memutuskan untuk pergi ke dokter demi bisa mendapatkan obat atas penyakit yang diderita Kinara. Saat itu, ayahnya tidak mengambil pinjaman dari rentenir, hutang mereka terlalu banyak sehingga tidak ada satupun rentenir yang mau menerima mereka. Namun dengan percaya diri ayahnya mengatakan jika ia memiliki uang tabungan yang bisa digunakan di saat darurat. Akhirnya mereka pergi ke dokter bersama-sama. Dokter mengatakan jika Kinara terserang demam karena kelelahan. Asupan gizi dan vitamin Kinara juga sangat rendah sehingga dokter menyarankan agar Kinara bisa melakukan rawat inap selama satu atau dua hari. Kinara menolak saran dari dokter karena ia menyadari kemampuan finansial orangtuanya. Sekalipun ayahnya mengatakan jika ia memiliki uang tabungan, Kinara sadar jika uang tersebut jumlahnya tidak seberapa. Dokter sedikit tidak setuju dengan penolakan Kinara, namun dia tidak bisa memaksa Kinara. Akhirnya Kinara hanya diberi beberapa resep obat dan vitamin yang harus ia konsumsi selama satu pekan kedepan atau hingga keadaannya benar-benar membaik. Dengan percaya diri, ayahnya datang ke apotek di rumah sakit untuk menebus semua resep yang dituliskan oleh dokter. Mereka menunggu selama beberapa menit hingga resep tersebut selesai dikerjakan. Lalu tiba saatnya dimana mereka harus membayar tagihan.. Saat itu, Kinara tidak pernah mengira jika ia akan dimaki di hadapan banyak orang ketika keadaannya sedang sakit. Bahkan Kinara hingga merasa sesak napas karena tidak tahan dengan makian yang ditujukan kepada keluarganya. Ya, sama seperti yang Kinara takutkan sebelumnya, ternyata uang tabungan milik ayahnya tidak cukup untuk membayar tagihan rumah sakit yang mencakup biaya pemeriksaan, konsultasi dokter, dan biaya obat. Sejujurnya, keluarganya memang sedikit tidak tahu diri. Saat itu mereka datang ke sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal di wilayahnya. Mereka tidak pernah tahu jika tarif pemeriksaan di rumah sakit tersebut lebih besar tiga kali lipat dari rumah sakit lain. Sebenarnya mereka tidak datang ke rumah sakit swasta karena gengsi atau semacamnya, mereka datang ke rumah sakit tersebut karena memang hanya rumah sakit itu saja yang berada di sekitar wilayah tempat tinggal mereka. Jika memaksakan diri datang ke rumah sakit negeri, maka mereka harus menempuh perjalanan yang cukup jauh. Lagipula saat itu keadaan Kinara juga sedang tidak baik, sehingga satu-satunya hal yang dipikirkan orangtuanya adalah mencari tempat pemeriksaan terdekat agar tidak membuat Kinara semakin parah. Sayangnya, mereka justru mendapatkan makian yang sangat menyakitkan. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, Kinara masih belum bisa melupakan rasa sakit hatinya ketika ia dimaki-maki oleh petugas pembayaran di rumah sakit tersebut. Kinara masih belum bisa memaafkan orang tuanya atas insiden menyakitkan yang membuatnya merasa trauma. Bukannya sembuh, Kinara justru memburuk setelah ia pulang dari rumah sakit tersebut. Dadanya terasa sesak, kepalanya pening hingga membuatnya tidak sanggup membuka mata.. Di tengah keadaannya yang cukup kritis, Kinara menolak untuk pergi ke rumah sakit karena.. karena ia merasa takut. Ia takut kejadian yang sama akan kembali terulang. Jadi, jika ada yang bertanya kenapa Kinara memiliki kepribadian yang buruk, kenapa ia berlaku kasar dan berbicara tidak sopan, inilah sepenggal jawaban yang dimiliki oleh Kinara. Ya, memang belum semuanya, tapi setidaknya insiden tersebut adalah salah satu kejadian terburuk di sepanjang kehidupan Kinara bersama dengan orangtuanya. Selain kejadian tersebut, masih ada banyak kejadian-kejadian lain yang belum bisa Kinara tunjukkan. Kejadian yang menjadi alasannya mengubah kepribadiannya sendiri. Kinara berusaha keras untuk terlihat lebih baik, lebih kuat, dan lebih dominan agar tidak ada satupun orang yang bisa merendahkannya lagi. Trauma-trauma yang ia miliki di masa kecilnya terus terbawa dan memberikan pengaruh dalam kehidupannya di masa sekarang. “Kinara.. ayah tahu jika kamu merasa tertekan dengan keadaan ekonomi keluarga kita. Tapi, kesehatanmu adalah yang paling utama. Ayah dan ibu akan berusaha untuk membawamu ke dokter.. Ayah berjanji padamu..” Kinara mengeluarkan suara tawa sinis. “Lalu uang kita akan kurang saat membayar tagihan dan aku akan dimaki-maki lagi?” “Kinara!” “Apa? Bukankah aku mengatakan hal yang benar-benar terjadi?” “Tidak bisakah kamu menghargai usaha ayah dan ibu? Kami berusaha memberikan yang terbaik untukmu.. jadi tolong, jangan mengatakan hal yang buruk terus-menerus. Kami juga bisa sakit hati sekalipun kami tahu kami tidak sepantasnya merasa sakit tahu atas kalimat yang kamu katakan..” Ayahnya berbicara sambil menundukkan kepalanya. Rasa bersalah kembali menyelimuti hati Kinara. Dia juga merasa tidak tega setiap kali melihat orang tuanya bekerja keras tanpa henti tapi mereka sama sekali tidak mendapatkan hasil atas kerja keras tersebut. “Lalu apa yang harus aku katakan?” Tanya Kinara dengan suara lirih. “Andai saja kamu tahu betapa sulitnya menjadi orang tua..” Ayahnya mulai berbicara dengan pelan. “ Kami ingin memberikan segalanya kepadamu, Kinara. Segalanya.. jika bisa, kami tidak ingin melihatmu bekerja keras sejak pagi hingga malam. Tapi keadaan kami sangat terbatas.. Kamu juga tahu akan hal itu.” Kinara ikut menundukkan kepalanya. Tanpa sadar, air matanya mulai mengalir dengan perlahan. “Tapi menjadi orangtua tidak semudah yang kamu pikirkan.” Ayahnya kembali berucap. “Kami merasa payah setiap kali melihat kamu menderita.. Tapi kami sama sekali tidak bisa melakukan apapun.. Di keadaan itulah kami merasa benar-benar gagal.. kami menderita tanpa bisa mengatakan betapa besar penderitaan kami. Kamu pikir selama ini kami memikirkan kebahagiaan kami sendiri? Tidak, Kinara. Kamu yang utama, kamu yang paling penting. Namun, kami juga harus sadar diri. Apa yang bisa kami berikan kepadamu selain penderitaan?” Dan.. Kinara tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia.. larut di dalam emosi yang disampaikan oleh ayahnya. Dia ikut bersedih ketika mengetahui seberapa besar penderitaan yang selama ini dirasakan oleh pria itu. Bukan hanya ayahnya.. Kinara juga menderita. Selama ini Kinara juga merasakan penderitaan yang sama. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD