Bab 14

1380 Words
Perjalanan pulang dari rumah Kinara diisi dengan keheningan karena sejak pertama kali masuk ke dalam mobil, Zeline dan Dareen sama-sama diam. Mereka seperti larut di dalam pikiran masing-masing. Hanya alunan suara musik klasik yang terdengar menenangkan, seirama dengan rintik hujan yang mulai turun sejak beberapa menit yang lalu. “Aku akan langsung mengantarmu ke pantai.” Kata Dareen sambil membelokkan mobilnya ke arah kiri. Setelah membayar tarif e-tol, Dareen kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi karena sore ini jalan tol masih cukup sepi. “Apakah seharian ini kamu tidak ada kesibukan? Kenapa bisa menjemput dan mengantarku ke lokasi pemotretan?” Tanya Zeline. Sebagai pasangan kekasih yang selalu sulit menemukan waktu senggang untuk bertemu, Zeline cukup terkejut ketika mengetahui Dareen meluangkan waktu kerjanya sejak sebelum jam makan siang hingga hampir jam pulang kerja. Rasanya sangat mustahil mereka bisa bertemu di hari sibuk seperti ini. “Aku mengosongkan jadwalku karena ingin menemanimu setelah kita makan siang bersama dengan Kinara. Aku tidak menyangka jika rencanaku jadi berantakan karena sebuah insiden yang tidak terduga. Sampai sekarang aku masih memikirkan keadaan Kinara” Dareen berbicara sambil tetap fokus mengemudikan mobilnya. Zeline merasa prihatin dengan insiden yang menimpa Kinara. Perempuan itu terlihat sangat menderita karena kakinya terluka. Rasanya pasti sangat menyakitkan. Zeline jadi menyesal karena mereka tidak langsung mengantarkan Kinara ke rumah sakit. Jujur saja, bukannya Zeline ingin merendahkan Kinara atau sebagainya, namun ia sama sekali tidak menyangkan jika Kinara berasal dari keluarga sederhana yang tinggal di kompleks padat penduduk. Jika sejak awal Zeline mengetahui keadaan Kinara, tentu saja Zeline tidak akan ragu untuk membawa Kinara ke rumah sakit. Melihat bagaimana cara orangtua Kinara yang berusaha memberikan pertolongan pertama ketika melihat putri mereka terluka membuat Zeline merasa terharu. Segelas teh hangat dan kompres es batu sebenarnya tidak terlalu membantu proses penyembuhan luka. Tidak ada penyakit tulang yang bisa disembuhkan dengan teh hangat, namun Zeline merasa jika perhatian tulus yang diberikan oleh orangtuanya akan membantu Kinara untuk kembali pulih dalam waktu yang singkat. “Aku merasa bersalah kepadanya. Aku tahu jika ini bukan kesalahan yang disengaja, tapi entah kenapa sejak tadi aku merasa sangat tidak tenang.” Zeline berbicara sambil menyandarkan punggungnya dengan perlahan. Rintik hujan yang mulai membasahi jendela mobil membuat suasana jadi terasa semakin dingin. Hujan gerimis sangat identik dengan perasaan gelisah, dan kali ini Zeline sedang merasakan hal yang sama. “Aku juga merasa bersalah, tapi kita tidak sepenuhnya salah, Zeline.” Dareen mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala Zeline. Sejak kecil, Zeline hampir tidak pernah memiliki waktu untuk berteman. Ia sibuk dengan pelajaran tambahan yang harus ia ikuti sepulang sekolah. Dia juga selalu merasa kesepian karena tidak memiliki saudara. Namun, begitu bertemu dengan Kinara, Zeline merasa perasaan sentimentil yang membuatnya semakin ingin mengenal perempuan itu. Sayangnya ada kejadian tidak menyenangkan yang membuat pertemuan pertama mereka jadi sangat kacau. “Bagaimana jika kita meluangkan waktu untuk menemani Kinara melakukan pemeriksaan di rumah sakit? Aku takut adalah masalah serius di kakinya.” Zeline menolehkan kepala dan menunggu keputusan Dareen atas usulan yang ia berikan. “Itu ide yang bagus. Tapi apakah kamu yakin Alina akan membiarkanmu pergi secara mendadak?” Zeline menggantungkan kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya. Benar, apakah Alina akan memberikan izin kepadanya? *** “Tidak!” Alina menatapnya dengan pandangan nyalang. Zeline mengerjapkan matanya beberapa kali. Hembusan udara dingin mulai membuat kulit putih Zeline berubah menjadi merah pucat. Ia sangat kedinginan karena pemotretan yang dilakukan di bibir pantai mengusung tema wedding party. Gaun yang ia pakai sangat terbuka karena memiliki potongan rendah di bagian d**a dan backless di bagian punggung. Selain itu, gaun putih tersebut hanya sebatas 15 cm dari atas lutut, lalu diselimuti dengan kain tille transparan berwarna rosegold. Sebuah paduan warna yang cukup berani untuk ukuran gaun pernikahan. “Aku akan pergi bersama dengan Dareen.” Kata Zeline sambil berusaha melepaskan kepangan rambutnya yang sengaja ditata secara tidak rapi agar helaian rambutnya bisa ikut beterbangan terbawa oleh angin pantai. “Aku tidak peduli. Kita ada jadwal pemotretan pada pukul 8 pagi, kuharap kamu tidak datang terlambat.” Alina menunjuk Zeline dengan jarinya. “Aku benar-benar tidak bisa melakukan pemotretan besok pagi. Jadi atur ulang jadwalku dan biarkan aku pergi bersama dengan Dareen.” Zeline berhenti melepaskan kepangan rambutnya, kini Alina yang membantunya. Wanita itu mulai menarik helaian rambut Zeline ke kanan dan kiri secara bergantian. Entah apa yang sedang ia lakukan, namun beberapa detik kemudian rambut Zeline mulai kembali normal. “Kau pikir aku bisa membatalkan jadwalmu begitu saja? Semua orang akan menganggapmu tidak profesional, Zeline!” Zeline menarik napasnya dengan pelan. Meyakinkan Alina jauh lebih sulit dibandingkan meyakinkan kedua orangtuanya sendiri. Alina adalah orang dengan pendirian teguh yang menjunjung tinggi nilai kedisiplinan dan profesionalitas. Wanita itu selalu melakukan segalanya dengan sepenuh hati agar tidak terjadi kesalahan ataupun kegagalan. Bahkan Alina bisa meminta Zeline berdiri sepanjang hari hanya agar mereka mendapatkan foto yang sempurna. Namun, kali ini Zeline tidak ingin membahas apapun mengenai profesionalitas ataupun kedisiplinan yang selama ini Alina tanamkan kepadanya. Satu-satunya hal yang Zeline inginkan adalah waktu luang untuk bisa mengunjungi Kinara. “Hari ini ada sebuah kekacauan yang membuatku merasa bersalah. Aku harus menebus rasa bersalahku besok pagi, jadi biarkan aku membatalkan kontrak kerja untuk besok. Aku janji akan mengganti jam kerjaku di akhir pekan.” Kata Zeline dengan serius. Seorang penata rias mulai berjalan mendekati Zeline, ia membantu menghapus riasan yang masih menempel di wajah Zeline. Menggunakan riasan tebal sepanjang hari membuat Zeline merasa gerah. Kulitnya akan mulai menimbulkan jerawat dan bintik hitam jika riasannya tidak dibersihkan dengan benar. Zeline memiliki kulit sensitif yang sedikit sulit untuk ditangani. Oleh sebab itu, sebelum kulitnya mulai breakout, lebih baik Zeline mencegahnya dengan cara membersihkan kulit secara maksimal. “Kesalahan apa yang kau lakukan? Aku akan membereskan kesalahan itu untukmu.” Alina menjawab dengan ekspresi datar. “Ayolah, Alina. Kamu tidak bisa melakukan ini kepadaku.” Zeline mendongakkan kepalanya ketika penata rias mencoba untuk membersihkan lehernya. “Tentu saja aku bisa melakukannya. Kamu lupa jika aku adalah managermu?” Untuk yang kesekian kalinya, Zeline kembali menarik napasnya dengan pelan. Sejak awal Zeline tahu jika meyakinkan Alina adalah hal yang sangat sulit. Mustahil mendapatkan libur di hari kerja, apalagi mencoba membatalkan pemotretan secara mendadal. Tentu saja Alina tidak akan mengizinkan Zeline dengan mudah. “Hei Zeline!” Seorang model pria yang tadi menjadi rekan kerjanya datang untuk menyapa. “Oh hai. Kamu melakukan pemotretan dengan sangat baik. Senang bekerja bersamamu.” Zeline tersenyum dengan ramah. Selama menjadi seorang model, khususnya setelah ia ditetapkan sebagai brand ambassador seorang desainer yang secara khusus mendesain gaun pernikahan, Zeline sudah dipasangkan dengan banyak model pria profesional. Ada beberapa model yang sangat sulit untuk diajak berkomunikasi, tapi juga ada model yang sangat profesional sehingga proses pemotretan mereka berjalan dengan lancar tanpa ada satupun hambatan. Kali ini Zeline beruntung karena bekerja bersama dengan seorang model profesional yang sangat mudah untuk diarahkan. Semua interuksi yang diberikan oleh fotografer berhasil dilakukan dengan sangat baik sehingga pemotretan mereka lebih cepat selesai dari biasanya. “Aku merasa sangat senang ketika mengetahui jika partnerku adalah kamu. Ternyata kamu jauh lebih cantik dari foto di media sosial.” Kata Geraldo, model pria yang sekarang sedang menarik kursi untuk duduk di hadapan Zeline. “Foto di media sosial sudah diedit dan ditambahkan beberapa filter. Tentu saja aku jauh lebih cantik di foto tersebut..” Zeline tertawa pelan untuk menanggapi pujian yang diberikan oleh Geraldo. “Tidak, kurasa kau jauh lebih cantik saat bertemu langsung. Matamu seperti bercahaya..” Zeline kembali tersenyum dengan ramah. Sejujurnya, Zeline sudah sering mendengarkan kalimat tersebut. Ada banyak orang yang mengatakan jika mata Zeline bercahaya, termasuk Dareen. Sejak awal mereka bertemu, Dareen sering mengatakan jika ia bisa melihat cahaya di mata coklat milik Zeline. “Terima kasih atas pujian yang kamu berikan.” Jawab Zeline. “Tentu saja. Kamu pantas menerimanya.” Geraldo tersenyum simpul. “Untuk merayakan keberhasilan pemotretan kita, bagaimana kalau kita minum di club  dekat pantai?” Zeline tidak menyangka jika Geraldo akan mengajaknya secara terang-terangan di hadapan penata rias dan Alina yang sedang sibuk membantu Zeline merapikan rambutnya yang kusut. “Maafkan aku, tapi aku tidak terbiasa minum-minum. Lagipula, besok pagi aku harus bangun lebih awal karena aku memiliki janji pertemuan yang penting.” Jawab Zeline. “Dengan kekasihmu?” Zeline mengerjapkan matanya sejenak. “Ya, dengan kekasihku.” Jawabnya sambil menganggukkan kepalanya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD