Bab 16

1761 Words
Zeline bangun lebih awal dari biasanya. Tepat pada pukul 5 pagi, Zeline sudah terjaga karena terlalu antusias untuk melakukan bolos kerja pertamanya. Zeline tahu jika Alina pasti akan marah dan mengomel sepanjang hari ketika ia mengetahui perbuatannya, namun Zeline merasa jika ia akan menyesal jika tidak mengambil kesempatan untuk menjenguk Kinara. Lagipula, keluarga Kinara pasti akan kesulitan mengantarnya ke dokter, oleh sebab itu Zeline dan Dareen sepakat untuk datang ke rumah Kinara sebelum pukul 7 pagi. “Nona ingin sarapan buah atau roti?” Tanya pelayan rumahnya yang baru saja masuk ke dalam kamar untuk mengambil pakaian kotor. Zeline berpikir sejenak. Sekarang sudah hampir pukul 06.30, sepertinya Dareen akan segera datang untuk menjemputnya. “Bisa tolong membuatkan roti panggang dengan selai coklat?” Tanya Zeline dengan sopan. “Tentu saja , nona. Apa lagi yang Anda butuhkan?” Zeline kembali memikirkan menu sarapan apa yang sekiranya menyenangkan untuk dibawa sebagai bekal. “Tolong potongkan beberapa buah yang isi botol minumku dengan s**u diet.” Katanya. “Baiklah, nona. Apakah Anda ingin kami menyiapkan makan siang untuk Anda?” Zeline masih belum tahu agendanya hari ini. Kapan ia akan pulang dan dimana ia akan makan siang. Oleh sebab itu, dari pada membuang makanan dengan sia-sia, sebaiknya para pelayan tidak perlu menyiapkan makan siang. “Mungkin aku akan makan siang bersama dengan Dareen. Jadi kalian tidak perlu menyiapkan makan siang.” Jawabnya. Setelah memberikan pesan kepada pelayannya, Zeline kembali menyapukan riasan tipis pada wajahnya. Sedikit bedak dan perona pipi untuk membuatnya tampak lebih natural. Tidak lupa, Zeline juga menjepit bulu matanya lalu menyapukan maskara dengan perlahan. Lalu, untuk menyempurnakan penampilannya, Zeline juga memoleskan pewarna bibir dengan warna merah muda yang natural. Karena hari ini Zeline akan pergi ke rumah sakit, ia memilih untuk mengenakan pakaian santai. Kaos hitam polos dengan potongan rendah yang jatuh tepat di atas pinggang yang ia padukan dengan rok pendek berwarna putih. Zeline mengenakan sepatu putih dan tas kecil untuk menyimpan ponsel dan dompetnya. Tidak pula, Zeline juga mengambil topi dan kacamata hitam yang tersusun di lemarinya. Untuk berjaga-jaga, Zeline harus membawa benda-benda tersebut setiap kali ia berada di tempat umum. Topi dan kacamata akan menyamarkan penampilannya agar Zeline tidak terlalu mencolok di tengah masyarakat. Zeline tidak ingin membuat keributan di rumah sakit, oleh sebab itu ia sebaiknya berjaga-jaga dengan membawa topi dan kacamata. Hal terakhir yang Zeline lakukan adalah menatap pantulan dirinya di cermin besar yang ada di ruangan wardrobe yang ada di sisi kiri kamarnya. Penampilannya tampak sempurna, terlihat sederhana namun tidak membuatnya tampak kusam. “Sangat cantik!” suara Dareen tiba-tiba terdengar. Begitu Zeline menolehkan kepalanya, ia mendapati Dareen yang sedang berdiri di ambang pintu yang menghubungkan ruang kamar dengan ruang wardrobe. Zeline mengangkat sebelah alisnya, merasa sedikit terkejut ketika mendapati Dareen sedang berada di dalam kamarnya. “Sejak kapan kamu ada di sana?” Tanya Zeline. Ia berjalan mendekati Dareen dan memeluk pinggangnya sambil tersenyum. Aroma tubuh Dareen mulai merasuk ke dalam hidungnya, membuat Zeline merasa merinding untuk sesaat. “Sejak kamu memilih sepatu dan tas..” Jawab Dareen sambil menundukkan kepalanya. Pria itu memeluk Zeline dan meletakkan kepalanya tepat di bahu Zeline. Tubuh Zeline meremang setiap kali ia berdekatan dengan Zeline. Rasanya sangat menggelikan, tapi ia menikmati suasana yang tercipta setiap kali tubuh mereka bersentuhan. Terasa menyenangkan, membuat Zeline mendambakan hal yang lebih dalam. Namun, Zeline mengetahui batas-batas mana saja yang tidak dapat ia langgar. Sekalipun hidup bebas sebagai seorang wanita muda yang beranjak dewasa, Zeline sangat patuh dengan norma dan nilai-nilai agama yang ia percaya. Sebisa mungkin, Zeline akan tetap berada di dalam batasannya. Dareen juga mendukung keputusan Zeline untuk tetap mempertahankan dirinya, oleh sebab itu, Dareen juga selalu menahan dirinya setiap kali mereka bersama. “Ayolah, kita harus segera datang ke rumah Kinara!” Zeline berusaha menarik dirinya setiap kali Dareen mulai melakukan hal-hal di luar batas, seperti mengecup lehernya atau mengusap punggungnya dengan gerakan s*****l. “Lima menit saja..” “Tidak!” “Tiga menit?” Zeline tertawa pelan. “Tidak, Dareen!” Dareen semakin mengeratkan pelukannya. “Bagaimana dengan satu menit?” Tanya Dareen. “Baiklah, satu menitmu sudah habis!” “Zeline!” Dareen melepaskan pelukannya dan menatap Zeline dengan kesal. Zeline tergelak melihat ekspresi kesal yang ditampilkan oleh Dareen. Siapa yang menyangka jika seorang pemimpin perusahaan properti yang selalu terlihat tenang bisa merasa kesal hanya karena hal-hal sepele? “Ayolah, kita harus segera berangkat ke rumah Kinara. Aku sudah meminta pelayan untuk menyiapkan sarapan. Tunggulah di mobil, aku akan segera menyusul.” Kata Zeline sambil mendorong Dareen untuk keluar dari kamarnya. “Membawa bekal? Apakah kamu serius?” Tanya Dareen. Zeline menganggukkan kepalanya dengan antusias. “Apa salahnya membawa bekal?” “Tidak ada yang salah. Aku hanya sedikit terkejut ketika mengetahui kamu akan sarapan di pagi hari. Biasanya kamu rela bertengkar denganku hanya karena ingin melewatkan jam makan.” Dareen berbicara sambil mengendikkan bahunya dengan santai. “Benarkah aku seperti itu?” Balas Zeline. “Kamu tidak sadar ternyata. Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu sadar jika melewatkan jam makan akan berpengaruh buruk pada kesehatanmu?” Dareen kembali mendekati Zeline. Kali ini ia menatap dengan serius. Zeline memundurkan langkahnya sambil tertawa pelan. Ia tidak menyangka jika kebiasaannya menyiksa lambung dapat mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. “Hari ini aku sedang tidak bekerja, jadi aku bebas memakan apapun. Rasanya cukup menyenangkan ketika aku bisa menjawab pertanyaan tentang menu sarapan pagiku. Biasanya pelayan hanya akan menyiapkan air hangat, tapi sekarang mereka pasti kerepotan karena aku meminta meminta berbagai macam menu sarapan.” Zeline terkikik pelan di akhir kalimatnya. Dareen tampak memutar bola matanya, ia menatap Zeline dengan jengah. “Berapa jumlah pelayan yang kamu miliki di rumah ini?” Tanya Dareen. Zeline menyipitkan matanya, berusaha menghitung berapa jumlah pelayan yang dipekerjakan oleh orangtuanya. “Entahlah..” Zeline menyerah karena ia sendiri tidak tahu pasti berapa jumlah orang yang bekerja dengannya. “Mereka tidak akan kerepotan hanya karena kamu meminta disiapkan menu sarapan. Justru mereka pasti sedang bekerja dengan antusias karena akhirnya kamu meminta sarapan dari mereka..” Zeline kembali mengernyitkan dahinya. Merasa sedikit tidak setuju dengan pendapat Dareen. “Nona, ini sarapan yang Anda inginkan..” Seorang pelayan datang sambil menenteng tas berisi bekal makanan yang sudah Zeline minta. Ia cukup terkejut karena pelayannya bisa menyiapkan sarapan dalam waktu yang sangat singkat. “Wow, terima kasih banyak.” Jawab Zeline sambil tersenyum. “Tentu saja, nona.” Pelayan tersebut menundukkan kepalanya lalu pamit untuk kembali bekerja di dapur. “See? Mereka sangat antusias karena kamu mau menerima sarapan yang mereka buat.” Dareen mengusap kepala Zeline dengan lembut. “Lain kali, cobalah membuat mereka merasa senang dengan cara menerima menu sarapan yang mereka siapkan.” Lanjutnya. Tidak setiap hari Zeline bisa makan dengan bebas. Jangankan sarapan dengan berbagai menu makanan yang tersedia di meja makan, untung makan siang saja Zeline sering sembunyi-sembunyi dari Alina. Rasanya seperti menghianati dirinya sendiri ketika ia memutuskan makan dalam jumlah yang besar tanpa peduli pada kenaikan berat badannya. Sebagai seorang model, Zeline harus profesional. Dia tidak bisa mengandalkan popularitas orangtuanya atau kecantikan wajahnya saja, Zeline juga harus mengikuti standar model pada umumnya agar dia tidak tergeser dari posisinya. “Aku akan mencoba meminum segelas s**u di pagi hari. Apakah itu sudah cukup?” Zeline mulai berjalan ke arah halaman depan sambil tetap membiarkan Dareen merangkul bahunya. “Well, itu kemajuan yang sangat baik.” *** Perjalanan menuju ke rumah Kinara hanya memakan waktu kurang dari 30 menit karena jalan raya masih sangat sepi di pagi hari. Zeline beruntung karena mereka tidak perlu terjebak di dalam kemacetan yang menyebalkan. Sesampainya di depan gang rumah Kinara, Zeline dan Dareen segera turun dari mobil dan mulai berjalan di sebuah gang kecil yang akan menghubungkan jalan besar dengan rumah Kinara. Hanya perlu waktu kurang dari 5 menit, Zeline dan Dareen telah sampai tempat di depan pintu rumah Kinara. Karena Dareen tidak kunjung mengetuk pintu, Zeline berinisiatif untuk mengetuk terlebih dahulu. Zeline juga memanggil nama Kinara sebanyak dua kali. “Selamat pagi, bibi. Apakah Kinara ada di rumah?” Zeline langsung menyapa dengan ramah begitu ibunya Kinara muncul di balik pintu. Penampilan ibu Kinara masih tetap sama seperti saat mereka bertemu untuk yang pertama kalinya. Perempuan sederhana itu lebih suka menggunakan daster sehari-hari saat sedang melakukan aktivitas di rumah. Tatapan matanya sangat teduh, terlihat tulus dan begitu ramah. Layaknya seorang ibu pada umumnya, ibunya Kinara juga memberikan sambutan yang hangat ketika melihat Zeline dan Dareen datang ke rumah. “Apakah kalian ingin bertemu dengan Kinara? Dia baru saja mandi, rencananya kami akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan keadaan kakinya.” Begitu mereka masuk ke dalam rumah, ibunya Kinara kembali menjelaskan bagaimana keadaan Kinara. Rumah mereka tampak sangat sederhana. Sebuah ruangan kecil di bagian depan digunakan sebagai ruang tamu, hanya ada kursi dan meja kayu yang diletakkan secara asal untuk menerima tamu yang datang berkunjung. Sekalipun belum menjelajahi seluruh rumah Kinara, namun dari ujung ruang tamu, Kinara bisa melihat dapur dan meja makan yang ada di sebelah kini, lalu di depan pintu dapur terdapat dua kamar yang sepertinya digunakan oleh Kinara dan orangtuanya. “Dia akan pergi ke rumah sakit? Wah, kebetulan sekali kami datang berkunjung ke sini. Bibi, bolehkah kami mengantar Kinara ke rumah sakit? Jujur saja kami merasa bersalah karena kemarin tidak langsung membawa Kinara untuk memeriksakan keadaannya.” Zeline berbicara dengan suara tenang. Dia tidak ingin menunjukkan rasa prihatinnya secara berlebihan, justru Kinara ingin menunjukkan jika mereka hanyalah teman yang saling peduli satu sama lain. “Membawa Kinara ke dokter? Apakah kalian tidak keberatan?” Tanya wanita itu. Zeline menatap Dareen sejenak, berusaha memberikan kode agar pria itu tidak hanya duduk dengan kaku tanpa mengatakan apapun. “Sama sekali tidak.” Kata Dareen setelah Zeline berhenti memelototinya. “Kalian sangat baik. Kinara beruntung karena memiliki teman yang baik..” Zeline tersenyum sekilas. “Jadi, apakah Kinara sudah siap untuk pergi ke dokter? Lebih baik kita berangkat lebih awal agar rumah sakit belum terlalu ramai.” Kata Zeline. “Dia sudah mandi sejak pagi, tapi sepertinya dia kembali tidur karena kata ayahnya, Kinara tidak bisa tidur sejak tengah malam. Entah kakinya sakit atau dia memang tidak berniat tidur.” Jelas ibunya Kinara. Zeline kembali merasa prihatin. Sepertinya Kinara tidak bisa tidur karena kakinya terasa sakit. Astaga, Kinara memang sangat malang. “Tunggulah di sini sebentar. Bibi akan memanggil Kinara dan membawanya ke sini.” Ibunya Kinara kembali berbicara sambil bangkit berdiri untuk menyusul ke kamar Kinara. Zeline menganggukkan kepala dengan tenang. Dalam hatinya, Zeline berharap Kinara tidak menolak bantuan yang mereka berikan. Ini bukan sebuah bantuan, sebenarnya perbuatan Zeline dan Dareen lebih pantas disebut sebagai pertanggungjawaban. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD