Syfo belum memberi jawaban atas pertanyaan Aries malam itu. Dia memuaskan hasrat ingin tahunya atas perubahan sikap Aries semenjak pulang dari Batam pada Arkan. Kebetulan Arkan yang mendampingi Aries selama mengikuti acara seminar bisnis di Batam. Jadi dia berharap bisa mendapatkan secercah informasi dari adik iparnya itu.
Siang ini Syfo sengaja menyeret Arkan makan siang di luar kantor, supaya bisa mengobrol secara leluasa dan pastinya menghindari berita miring yang akan tercipta bila mereka menghabiskan waktu berduaan di areal kantor.
“Selama di Batam Aries berulah nggak?” tanya Syfo, memulai interogasinya.
Arkan tampak berpikir. Mencoba mengingat hal-hal yang terjadi selama dia dan Aries berada di Batam. “Nggak, Kak. Kenapa?” tanyanya. “Oh, pas malam sabtu itu Bang Aries ke klub. Sama aku juga,” imbuhnya.
“Trus di klub ngapain aja?”
Sebuah tawa dengan banyak makna terbit di wajah Arkan. “Kak Syfo kayak yang nggak tahu di klub ngapain aja. Kalau Melo yang tanya gitu, ya, aku nggak heran,” jawabnya. “Ya biasalah, Kak. Minum, ngobrol di tempat dengan suara musik yang bikin pekak, joged-joged nggak jelas. Apa lagi?” jelas Arkan akhirnya, setelah melihat perubahan raut wajah Syfo.
“Kalian ke klub cuma berdua aja?”
“Nggak berdua banget. Sama peserta seminar utusan perusahaan lain juga. Kebetulan ada yang seumuran kita berdua. Mereka nyusul datangnya.”
“Ada perempuannya?”
Arkan tersenyum mencemooh. “Maksudnya peserta seminar perempuan atau perempuan dalam arti lain?”
“Dua-duanya.”
Arkan mengernyit. “Ya dua-duanya ada," jawab Arkan hati-hati.
"Jadi Aries sewa perempuan bayaran waktu di Batam?"
Arkan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia jadi salah tingkah diberikan pertanyaan seperti itu oleh Syfo. “Aku kurang paham soal itu. Waktu kami ke klub, aku balik ke hotel duluan. Aku juga nggak tahu Bang Aries kembali ke hotel jam berapa. Waktu aku bangun pagi dia udah ada di kamar.” Arkan memberi penjelasan tambahan.
"Ada apa, sih, Kak? Kalau nggak jelasin alasannya aku pilih diam aja.” Akhirnya dia menyampaikan pernyataan bernada penasaran yang coba ditahan selama Syfo melemparkan beberapa pertanyaan padanya.
“Aku ngerasanya Aries itu aneh sejak pulang dari Batam.” Syfo menunjukkan wajah tak bersemangat. "Tapi aku rasa penyebab keanehannya lebih dari sekedar soal main sama perempuan bayaran, deh," ujar Syfo bermonolog dengan intonasi suara yang bisa terdengar oleh Arkan.
“Aneh gimana? Aku ngerasa biasa aja,” jawabnya.
“Ya, kamu mana bisa merasakan perbedaannya. Meski kalian saudara ipar, tapi tetap saja orang lain. Sedangkan aku, udah jadi istrinya selama sepuluh tahun. Setiap hal yang berbeda dikit dari dia, tentu aku ngerasain. Memangnya kamu nggak gitu sama Melo?” Syfo mulai merasa kesal tanpa Arkan tahu penyebabnya.
Arkan mengernyit. Dia tidak suka saat Syfo menyeret nama istrinya ke dalam topik pembicaraan seperti ini. Arkan juga mulai merasakan perubahan emosi Syfo. Tidak mau menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain, Arkan memilih diam dan membiarkan Syfo untuk mencari tahu sendiri penyebab suaminya tiba-tiba berubah. Meski dia dekat dengan Syfo, tetapi dia merasa hanya dekat sebagai partner kerja dan saudara ipar saja. Bukan dekat sebagai teman apalagi sahabat. Dan dia merasa tidak punya kapasitas untuk menjadi pembela salah satunya.
“Levi sudah sembuh?” tanya Syfo, mengalihkan pembicaraan saat menyadari sikap diam Arkan seolah ingin memberi jawaban ‘aku nggak tahu apa-apa soal Aries’ dari caranya menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan Syfo seputar Aries sejak beberapa menit yang lalu.
“Udah sembuh. Hari ini sudah mulai sekolah lagi.”
“Maaf ya, aku belum sempat nengokin. Nanti, deh, aku sogok pakek hadiah aja. By the way Levi lagi suka kartun hero apa, ya?”
Arkan terdiam. Dia berpikir untuk menemukan jawaban atas pertanyaan Syfo. Dan sekuat apa pun dia berpikir, pertanyaan sederhana itu belum menemukan jawabannya.
“Kamu, tuh, lucu. Ditanya soal hukum apa pun gampang banget jawabnya. Giliran ditanya kartun hero kesukaan anak malah kayak orang bego gitu,” ucap Syfo sambil terkekeh geli. “Aku telepon Melo aja, dia pasti lebih tahu,” imbuhnya, meraih ponsel dan menghubungi Melody.
Sambil menghabiskan sisa makanannya Arkan melirik ke arah ponsel Syfo yang sedang menghubungi Melody. Terdengar Syfo membuang napas kesal karena panggilan teleponnya belum juga dijawab oleh Melody.
“Heran, deh. Nelpon Melo akhir-akhir ini udah kayak nelpon pejabat aja. Susah bener. Mau nemuin dia juga gitu. Lebih sulit dari nemuin Bang Luthfi tantangannya,” gerutu Syfo, menggeleng tidak mengerti.
“Masa sih? Kebetulan lagi di jalan kali, Kak,” bela Arkan. “Aku gampang-gampang aja ini menghubungi Melo.”
“Di jalan, kok, setiap waktu,” balas Syfo kesal.
“Melo itu punya dua usaha yang menuntut dia mondar mandir. Belum lagi antar jemput Levi sekolah yang maunya dia sendiri yang melakukan semuanya.” Arkan masih berusaha membela Melody di depan kakak perempuan istrinya ini.
Syfo mendengkus. “Mana, sih, Melody ini? Di kafe nggak pernah ada. Ditelpon gini susahnya minta ampun,” gerutu Syfo mengakhiri usahanya menghubungi Melody.
“Mungkin waktu Kak Syfo ke kafe, Melo lagi di toko kue. Kenapa nggak coba samperin ke sana aja?” balas Arkan. Sebenarnya Arkan masih ingin membahas lebih jauh soal Melody . Namun sepertinya kondisi dan waktunya sedang tidak tepat. Syfo sedang berada di titik malas membahas persoalan hidup orang lain. Jadi Arkan pilih berusaha meredam emosi Syfo ketimbang memuaskan rasa penasarannya sendiri.
“Ke mana? Toko kuenya? Bekas toko kuenya Ana? Aku udah bersumpah nggak akan pernah menginjakkan kakiku di tempat itu.”
“Ya tapi, kan, toko itu bukan punya Kak Ana lagi. Toko itu sudah jadi miliknya Jinan yang dikelola bareng Melo,” ujar Arkan sabar.
“Aku tetap nggak sudi. Itu sama saja seperti menjilat ludahku sendiri,” ucap Syfo tak terbantahkan.
Arkan menarik napas panjang. Masih segar di ingatannya bagaimana permusuhan antara Syfo dan mantan kakak iparnya itu sampai meledak, hingga membuat sumpah yang dikatakan oleh Syfo sesaat lalu sampai terlontar tanpa dipikir panjang dampak ke depannya. Hari itu Ana marah besar saat mendengar kalau toko kuenya telah dialihkan ke atas nama Jinan. Ana menyerang siapa saja yang tidak berada di pihaknya, termasuk Syfo dan Melo. Arkan sendiri juga dituduh memihak pada Jinan karena telah membiarkan Melody mengambil alih toko kue milik Ana. Padahal Arkan tidak tahu menahu, karena saat itu dia belum mendapatkan kepercayaan dari Luthfi untuk mengurusi aset pribadi abang iparnya itu. Namun Arkan tidak memperbesar masalah dengan Ana. Dia pilih diam saat Ana murka padanya. Justru Syfo-lah yang merasa tidak terima karena Ana terus menyerang dan menghina Melody, terlebih karena Ana mengungkit masa lalu ibunya saat sudah merasa terpojok.
Syfo bangkit dari kursi dengan wajah menahan kesal. “Balik kantor, yuk,” ajaknya.
Arkan menurut dan tidak memperpanjang lagi obrolan seputar istrinya dan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan pelik yang pernah terjadi antara Syfo dan mantan kakak iparnya di masa lalu.
***
Ketika menuruni tangga Aries melihat Bi Yana sedang mengepel lantai anak tangga paling bawah. Saat bangun tidur tadi dia tidak menemukan Syfo di sampingnya. Aries menuruni tangga sambil bertanya keberadaan istrinya pada Bi Yana.
“Syfo mana, Bi?” tanya Aries, ketika Bi Yana menyingkirkan peralatan mengepelnya supaya majikannya itu bisa lewat.
“Lagi main piano, Pak,” jawab Bi Yana, menunjuk ke arah pintu ruang sunyi yang sedang tertutup rapat.
Aries mengangguk lalu melangkah menuju ruang sunyi. Dia sengaja tidak mengetuk pintu ruangan itu terlebih dulu, bahkan menutupnya secara perlahan hingga tidak menimbulkan bunyi dentuman yang mampu membuat Syfo tahu akan kehadirannya. Berjalan mengendap Aries menjangkau tubuh Syfo yang sedang duduk membelakangi pintu. Pelukan Aries sampai saat Syfo baru saja mengakhiri permainan pianonya.
“Morning, sweetheart,” ucap Aries dengan suara berat yang menggoda. Deru napasnya merayu rungu Syfo hingga membuat romanya meremang.
“Morning…,” balas Syfo sembari mengusap punggung tangan Aries yang menyusup ke balik jubah tidurnya. Seolah memahami keinginan Aries, dia membiarkan tangan suaminya itu berbuat apa saja di dalam gaun tidur yang tengah dikenakannya.
Syfo menahan napas saat Aries memberikan cubitan kecil pada puncak payudaranya yang tidak tertutup oleh bra. Syfo menoleh dan melingkarkan tangannya ke arah belakang kepala hingga menyentuh leher Aries. Dengan kedua tangan masih menyentuh bagian sensitif di tubuh Syfo, Aries mulai melumat bibir Syfo.
"Pindah ke kamar aja ya," saran Syfo di tengah luapan gairahnya, akibat sentuhan-sentuhan sensual dari tangan terampil Aries yang tepat sasaran di setiap inci tubuhnya. Sepuluh tahun menjadi pasangan suami istri merupakan hal mudah bagi Aries untuk menemukan titik sensitif di tubuh Syfo.
"Aku pengen di sini sekali-sekali," jawab Aries dengan suara serak menahan gairahnya yang sudah menggelora.
Dengan sekali tarik tubuh Syfo sudah menghadap Aries sepenuhnya. Jubah tidur yang tadi dikenakan oleh Syfo sudah jatuh mengenaskan di lantai, sementara tubuh sintalnya kini hanya dibalut sebuah gaun tidur nan seksi dari bahan satin, membuat lekukan tubuhnya semakin menggoda untuk disentuh lebih jauh lagi oleh Aries.
Setelah Syfo memberi pelayanann pada milik Aries, kini giliran Aries yang memberi pelayanann pada milik Syfo. Aries meminta Syfo berdiri menyandar di dinding, sementara dirinya sudah berjongkok di bawah kedua kaki istrinya. Detik berikutnya hanya desah penuh kenikmatan sensual yang memenuhi ruang sunyi.
Merasa sudah memberi kepuasann pada Syfo, bibir Aries mulai bergerak dari bawah hingga bertemu dengan bibir Syfo. Sekali hentakan Aries meloloskan miliknya ke dalam liang kehangatan milik Syfo. Desahan demi desahan terus terlontar dari bibir tipis Syfo. Membuat Aries tidak tahan untuk mencecapi hingga tetes kenikmatan terakhir.
Gerakan Aries mulai tidak terkendali saat hendak meraih pelepasannya. Dia semakin memacu pusat tubuh Syfo, sambil sesekali menampar dan mencium bibir Syfo dengan kasar. Aries sama sekali tidak peduli apa istrinya itu kini tengah menikmati permainan panas mereka saat ini atau justru sebaliknya. Yang dia tahu hanyalah istrinya selalu mengikuti alur permainan panas mereka artinya mendapatkan kepuasan juga meski dengan cara yang tidak lazim.
Akhirnya setelah bertahan di posisi berdiri sambil bersandar di dinding sekaligus menopangkan tubuhnya pada tubuh Aries, Syfo mengejar Aries yang telah lebih dulu mencapai puncak kepuasannya. Di antara rasa nyeri dan kenikmatann yang melebur dalam satu rasa, Syfo dapat mendengar Aries berkata dengan napas yang saling berkejaran, "i love you, Fo. Till death do us part."
"I love you too, Eris. But are you okey?" tanya Syfo berusaha menenangkan Aries yang masih kesulitan mengatur napasnya.
"I'm oke," jawab Aries menarik tubuhnya secara perlahan lalu mengenakan kembali celana piyama yang tadi ditanggalkannya.
"Kamu sudah siapin jawaban terbaik atas pertanyaanku saat kita makan malam di restoran tiga hari yang lalu?" tanya Aries, meminta Syfo duduk di atas pangkuannya.
"Soal anak?" tanya Syfo meyakinkan.
Aries mengangguk sambil mengusap perut Syfo yang tampak rata tanpa tonjolan lemak sekalipun itu di tempat tersembunyi. Tiba Aries memberi sebuah kecupan dalam di depan perut Syfo.
"Kenapa tiba-tiba kamu pengen punya anak, Ris?" tanya Syfo sambil membelai rambut Aries yang berantakan akibat ulahnya saat percintaan mereka beberapa menit yang lalu.
“Aku...aku…”
“Iya kamu kenapa?”
“Ya karena aku merasa udah waktunya kita punya anak.”
“Bukankah kita sudah sepakat untuk nggak punya anak? Kamu lupa soal kesepakatan itu?”
“Tentu saja aku masih ingat. Tapi itu hanya kesepakatan yang nggak memiliki ikatan hukum apa pun. Jadi nggak ada masalah berarti, meski kita melanggar kesepakatan itu.”
Syfo turun dari pangkuan Aries. “Kita konsultasi dulu soal ini sama Lekha,” ucapnya. “Lekha pernah bilang usia seperti aku terlalu rentan untuk hamil dan kemungkinan bisa hamilnya juga fifty-fifty, Ris.”
“Aku akan carikan dokter kandungan yang lebih baik dari Lekha. Kalau perlu kita konsultasi dan berobat ke luar negeri.”
“Tapi aku nyamannya sama Lekha. Dan aku nggak akan menuruti kemauan kamu sebelum kamu menjelaskan, alasan kenapa tiba-tiba begitu menginginkan kehadiran seorang anak dalam rumah tangga kita,”
Aries berdecak. Raut wajahnya berubah marah. Dia bangkit dari kursi yang tadi didudukinya lalu bergegas meninggalkan Syfo. Tanpa menoleh dia membuka pintu ruang sunyi dan keluar begitu saja.
~~~
^vee^