Dalam kondisi terdesak Syfo mendatangi ruangan Arkan. Sikap Aries tadi pagi membuatnya semakin yakin kalau ada yang sedang disembunyikan oleh Aries. Dia berharap kali ini saja adik iparnya itu mau terbuka padanya. Arkan cukup terkejut melihat kedatangan Syfo yang tanpa bertanya posisi lewat chat seperti biasanya.
“Ada apa, Kak?” tanya Arkan sambil membereskan meja kerjanya.
“Kamu mau ke mana? Kok, udah mau pulang? Tumben...”
“Iya aku ada urusan mendadak. Kak Syfo mau dibantu apa? Aku agak buru-buru soalnya.”
“Aries tiba-tiba ngotot pengen punya anak,” ujar Syfo mengempaskan tubuh di atas sofa tak jauh dari meja kerja Arkan.
“Ya terus kenapa? Bagus dong.”
“Tapi kenapa mesti menunggu selama sepuluh tahun kami menikah dan udah sepakat untuk childfree? Aneh nggak, sih, menurut kamu?”
Arkan ikut duduk di samping Syfo. “Nggak aneh. Mungkin hati dan pikirannya udah terbuka. Lagian kalian aneh-aneh aja. Nikah tapi nggak mau punya anak,” komentarnya.
“Tiba-tibanya itu, loh, yang bikin aneh.”
“Mungkin selama ini udah dipikirkan, tapi baru bilangnya sekarang.”
“Nggak mungkin. Baru dua bulan lalu dia ngotot nyuruh aku pasang IUD baru. Sampe debat sama Lekha gara-gara IUD.”
Arkan menarik napas panjang. Dia menoleh pada Syfo dan menemukan wajah penuh frustrasi di sana. Akhirnya Arkan mau terbuka pada Syfo soal obrolannya dengan Aries beberapa waktu lalu.
“Bang Aries pernah membahas soal sikap Kak Ana yang terlalu berlebihan dalam memperjuangkan hak-hak Dani atas aset-aset yang dimiliki orang tuanya. Tapi seperti yang sama-sama kita tahu, Dani sendiri nggak terlalu musingin soal itu. Ya, aku bilang aja kalau Kak Ana sebenarnya sedang melindungi hak-haknya sendiri berkedok demi kepentingan Dani. Kak Ana nggak mau terlihat kalah terlebih di mata Jinan. Kak Ana akan terus memperjuangkan bagaimana caranya aset Bang Luthfi selama mereka menikah dulu, jatuh ke tangan Dani bukan ke tangan anaknya Jinan.”
“Trus? Masa, sih, cuma obrolan gitu doang bisa mengubah prinsip yang dipertahankannya selama sepuluh tahun soal anak tiba-tiba berubah.”
“Aku juga bilang kalau sebenarnya anak itu adalah aset yang sebenar-benarnya. Dia adalah jaminan saat tua nanti. Dan yang terpenting anak yang akan menjadi alasan kedua orang tua bertahan sepelik apa pun kehidupan yang mampir di dalam rumah tangga mereka.”
Syfo tersenyum sinis. “Jadi Aries habis dapat tausiah dari kamu?” cibirnya.
Arkan mengangkat kedua bahunya. “Aku cuma ngomong bukan niat menasehati apalagi ngasih tausiah.”
“Ya, tapi gimana-gimana kamu ikut andil dalam perubahan prinsip seorang Aries Syahrier.”
Tawa Arkan pecah mendengar ucapan Syfo. “Ya udahlah. Bikin anak aja kenapa? Ngapain mesti repot-repot punya prinsip nggak pengen punya anak segala. Padahal rezeki orang tua itu ada pada anak,” ucap Arkan bijak. “Aku aja pengen punya banyak anak. Tapi Melo masih siapnya satu anak. Aku berusaha menghormati keputusannya itu,” imbuhnya, diakhiri senyum bijak. Arkan bangkit dari sofa lalu mengajak Syfo keluar dari ruangannya.
“Menurut kamu, tiba-tiba Aries punya anak ada hubungannya dengan aset nggak, Kan?” tanya Syfo, sesaat sebelum Arkan membukakan pintu untuknya.
“Aku bener-bener nggak tahu kalau soal itu, Kak. Sorry…” sesal Arkan. Dia lalu meminta Syfo supaya keluar lebih dulu dari ruangannya.
***
“Aries mau punya anak?” tanya Lekha, ketika dia dan Syfo sedang bersantai di Melody’s Cafe.
Lekha menatap tidak percaya pada sahabatnya itu. Dia cukup senang mendengarnya, tapi dia juga merasa ada yang aneh. Terlalu tiba-tiba menurutnya. Baru dua bulan yang lalu dia beradu argumen dengan Aries soal IUD yang dipasangnya kurang benar menurut Aries, karena Syfo masih mengalami datang bulan dan itu membuat senam jantung, was was kalau Syfo masih bisa hamil. Dan sekarang tiba-tiba suami sahabatnya itu ingin punya anak.
Syfo menghela napas pelan, tapi tidak berkata apa-apa. Dia sendiri sebenarnya juga masih bingung dan bertanya-tanya alasan Aries ingin punya anak. Di balik rasa bingungnya itu terselip sebuah rasa penasaran sama seperti yang dirasakan oleh Lekha. Dan Syfo tetap bisa menemukan jawaban atas rasa penasarannya.
“Hello!” Lekha melambaikan tangannya di depan wajah Syfo.
Syfo menghela napas. “Iya, dia kelihatan ngotot dan minta ganti dokter kandungan kalau aku misal ada kesulitan dalam memiliki anak.
“Gila!” umpat Lekha. “Harusnya elo bukan ke dokter kandungan, tapi ke dokter ahli jiwa buat periksain kejiwaan Aries. Curiga ada yang konslet dari otak dia, tuh,” kesal Lekha setelah memukul meja.
“Kamu ngomong apa, sih? Kamu nuduh Aries gila?” Tampak Syfo tidak terima pada ucapan Lekha.
“Sorry, gue kelewatan. Tapi sikap dia itu bener-bener nggak bisa dibiarkan, Fo.”
“Sikap siapa yang nggak bisa dibiarkan?”
Kedua wanita itu terlonjak saat mendengar suara berat khas laki-laki dewasa ada di tengah-tengah mereka. Sagara duduk di samping Syfo setelah mengucap permisi. Lekha refleks memberi kode pada Syfo melalui lirikan matanya untuk berpindah tempat ke sampingnya. Namun Syfo mengedikkan bahunya tak acuh.
Sagara menatap Syfo beberapa saat. Dahinya berkerut. “Tante Syfo kayak lagi ada masalah,” ucapnya. “Tante baik-baik aja, kan?” tanyanya khawatir.
“Kalaupun dia punya masalah itu bukan urusan lo,” celetuk Lekha. “Mending lo balik ke pekerjaan lo aja. Nggak mau kan, tiba-tiba bos lo datang trus mergokin lo malah nyantai-nyantai di sini,” sambungnya.
Syfo menendang kaki Lekha sebelum sahabatnya itu terus nyerocos di depan Sagara. Lekha meringis menahan sakit pada tulang keringnya akibat ujung sepatu Syfo yang runcing. Sagara menatap mereka bingung. Lekha sendiri pilih menyesap minumannya dengan tak acuh.
“Weekend ini ada konser musik orkestra. Temanya Aladin and new world. Tante Syfo mau nonton nggak?” tanya Sagara.
Lekha berdecak. Dia hendak menyela percakapan antara Syfo dan Sagara. Namun Syfo yang lebih dulu menangkap ekspresi tidak suka di wajah Lekha, segera memberi kode melalui lirikan matanya meminta sahabatnya untuk diam.
Lekha merasa jengah terutama pada caranya Sagara memandang Syfo. Dia mulai tidak tahan untuk diam saja saat melihat caranya Sagara duduk terlalu dekat-dekat dengan Syfo. Laki-laki itu mengulurkan tangannya di atas sandaran kursi yang sedang diduduki oleh Syfo dengan posisi tubuh menghadap sepenuhnya pada Syfo.
“Dia itu punya suami. Lo pasti tahu. Harusnya lo nggak ngajak dia pergi saat weekend,” ucap Lekha.
“Berarti kalau hari selain weekend boleh, dong?” balas Sagara dengan niat bercanda.
Namun Lekha terlanjur menanggapinya serius. “Ya nggak gitu konsepnya!” kesal, membalas ucapan Sagara..
“Trus konsepnya yang bener gimana?” tanya Sagara pura-pura tidak tahu.
“Ish...Nih bocah ngeselin banget, sih?” Lekha mulai terpancing emosinya. “Lo nggak pernah dapat ceramah soal keburukan mengganggu rumah tangga orang lain ya?”
Sagara tertawa. “Loh...aku sama sekali nggak niat mengganggu. Aku cuma nawarin Tante Syfo acara weekend. Kali aja dia kesepian pas weekend gitu. Ya kalaupun Tante Syfo ada acara dengan suaminya mana mungkin aku ganggu.”
Suasana mulai memanas. Syfo berusaha menahan diri antara ingin tertawa tapi juga takut perdebatan akan semakin panjang kalau tidak segera dihentikan, saat melihat Sagara dan Lekha saling lempar argumen sarkas seperti ini. Dia menepuk pundak Sagara beberapa kali. “Udah nggak usah dilanjutin. Kamu berdebat sama Lekha, sampai pagi berikutnya juga bakal dijabanin sama dia,” ucapnya sambil terkikik.
Sagara mengulum senyum melihat Syfo tertawa seperti ini. Tidak ada wajah dingin Syfo yang sarat akan beban. Yang ada adalah wajah Syfo yang menyenangkan, hangat dan tentunya memancarkan aura kecantikan alami meski usianya sudah mendekati kepala empat..
Sedangkan Lekha sudah terlanjur kesal. Dia tidak keberatan Syfo berteman dengan siapa saja. Tapi bukan pertemanan yang jenisnya seperti boomerang yang akan siap menyerang sahabatnya itu kapanpun tanpa persiapan.
“Sorry, aku nggak bermaksud mendebat ucapan kamu, Lekha,” ucap Sagara sopan, menyadari kalau dia sudah membuat Lekha nyaris meledak.
“Oh, nggak. Santai aja. Lo nggak nyinggung gue. Gue cuma nggak suka aja dari cara lo deketin wanita yang sudah jelas-jelas lo tahu status perkawinannya,” balas Lekha santai. “Hey, boy! Jakarta nggak kekurangan perempuan cantik untuk kamu goda.”
Sagara mengangkat tangan, tanda menyerah. Dia baru akan berkata lagi, ketika seorang pria berdiri di sebelah meja tepat di samping Sagara.
“Hey.” Suara berat lain hadir di tengah-tengah mereka untuk menyapa.
Syfo mendongak. Dia mendapati Aries sedang menatapnya sambil tersenyum. Syfo membalas senyuman itu sambil membalas sapaan Aries. “Hey, tumben kamu di sini?” balas Syfo setelah Aries mengecup pelipisnya.
Sagara bangkit dari kursi lalu mempersilakan Aries duduk di kursi yang tadi didudukinya. Dia tahu kalau pria dewasa yang sedang disapa oleh Syfo adalah Aries, suami Syfo.
“Emmh...Aku ke dalam dulu. Kalau ada pesanan tambahan langsung lapor aja ke kasir,” pamit Sagara setelah melirik Aries.
“Dari tadi, kek…” jawab Lekha.
Kening Aries berkerut. Dia menatap Syfo dan Lekha bergantian. “Siapa?” tanya Aries, menunjukkan tatapan tidak suka pada Sagara.
“Orang kepercayaannya Melody. Sahabatnya Dani juga,” jelas Syfo
Aries mengangguk paham. “Tadi aku cari kamu. Kata Rosi kamu lagi keluar. Aku random aja, sih, nebak kamu lagi di sini,”
.“Iya, kebetulan Lekha lagi senggang jadi aku culik dia. Kamu mau pesan apa? Biar aku pesenin.”
“Espresso ya.”
“Oke!” jawab Syfo beranjak dari kursinya. Dia melangkah menuju kasir untuk memesan minuman yang diinginkan oleh Aries.
Di kasir Sagara menyambut Syfo dengan senyum hangat. “Maaf ya. Tadi teman saya agak naik temperamennya waktu ngobrol sama kamu. Dia emang emosian kalau bahas soal tadi,” jelas Syfo.
“Nggak apa-apa, Tante. Aku nggak tersinggung kok. Tapi Tante Syfo baik-baik aja, kan?”
Syfo tersenyum seraya mengangguk. “Iya, saya baik-baik saja.”
Sagara mengangguk, tidak memaksa Syfo untuk menjelaskan lebih jauh. Dia meminta Syfo untuk menunggu pesanannya sambil duduk di kursinya. Karena dia sendiri yang akan mengantar pesanan Syfo.
“Aku udah menyampaikan sama Lekha soal keinginan kamu,” ucap Syfo setelah kembali ke mejanya.
Aries beralih menatap Lekha. “Lo bisa bantu, Lek?” tanyanya antusias. “Kalau perlu carikan rumah sakit dan dokter yang lebih berpengalaman dari elo. Lo kan, pernah stay di Singapore, pasti taulah rumah sakit dan dokter yang recomended buat Syfo.”
Lekha menggebrak meja hingga membuat beberapa pasang mata yang ada di kafe ini tertuju padanya. “Lo ngerasa ada yang aneh nggak? Gue ingat banget dua bulan yang lalu lo ngotot nyuruh Syfo pasang IUD baru karena nggak mau dia hamil. Dan sekarang lo ngotot nyuruh dia hamil sampai minta direkomendasikan dokter dan rumah sakit terbaik. Mau lo apa, sih? Situ waras?” Emosi Lekha benar-benar meledak siang ini. Sedari tadi dia mencoba menahan diri menjaga kewarasannya untuk tidak mengamuk di tempat umum. Terlebih di tempat orang yang mengenalnya dengan cukup baik. Tapi kali ini dia benar-benar ingin memuntahkan segenap emosinya di depan Aries.
“Lekha, please!” pinta Syfo supaya sahabatnya itu mengontrol diri.
“Syfo itu manusia, Ris! Bukan boneka yang bisa seenaknya lo peralat cuma demi kepentingan lo!”
“s**t! Lo itu yang nggak waras!” Aries mengumpat dan bangkit dari kursinya. Dia meraih tangan Syfo lalu menghentaknya supaya bangkit dari kursi. “Harusnya gue ngelarang Syfo temenan sama perempuan nggak waras kayak elo!” makinya.
“Harusnya gue yang ngelarang Syfo nikah sama laki-laki nggak waras kayak elo!”
Tangan Aries melayang di udara, siap melempar tamparan pada Lekha. Namun Lekha lebih dulu menangkap tangan Aries. “Cuma laki-laki pecundang yang berani-beraninya main tangan untuk menyelesaikan sebuah masalah,” ucap Lekha lalu menghempas tangan Aries. “Dan satu lagi, gue bukan Syfo yang bisa lo pukulin seenaknya!”
Lekha akhirnya menyingkir dari hadapan Aries dan Syfo. Saat Aries hendak mengejar Lekha, Syfo sudah lebih dulu menahan tangan Aries. Dia memohon supaya Aries tidak memperpanjang lagi urusan ini. Namun emosi Aries benar-benar terusik. Dia lalu menyusul pergi meninggalkan Syfo begitu saja.
Sagara yang melihat kekacauan di kafe meminta karyawan lain untuk memberi pengertian pada pengunjung lain supaya tak mengacuhkan keributan yang baru saja terjadi. Dia juga mendekati Syfo yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Dia membimbing Syfo masuk ke ruangan karyawan menghindari pandangan tidak mengenakkan dari pengunjung kafe yang lain.
Syfo merebahkan punggung dengan lega begitu Sagara mempersilakan duduk di sebuah kursi. “Kenapa jadi kacau kayak gini?” keluhnya sambil memijat kedua pelipisnya.
“Yang dibilang Lekha benar?” tanya Sagara hati-hati. Dia berlutut di samping lutut Syfo.
“Soal apa?” tanya Syfo, sedikit membungkukkan badan supaya bisa sejajar dengan Sagara.
“Semuanya... Terutama ucapan dokter itu sebelum pergi. Kalau suami Tante Syfo-” Sagara memerhatikan wajah Syfo. Baru ini dia bisa melihat Syfo dengan jarak sedekat ini.
Syfo menggeleng cepat sebelum Sagara melanjutkan ucapannya. “Mereka hanya asal bicara karena berada di bawah pengaruh emosi masing-masing,” ucap Syfo. “Jangan bilang Melody ya, kalau saya membuat kekacauan di sini. Anggap saja kamu nggak pernah mendengar apa pun yang dikatakan oleh Lekha dan Aries,” pintanya. Syfo meraih tangan Sagara untuk melakukan perjanjian tidak tertulis dengan laki-laki itu.
Anggukan dari Sagara membuat Syfo merasa lega. Setelah merasa tenang Syfo beranjak dari kursi. Saat dia hendak keluar dari ruangan yang hanya ada dirinya dan Sagara di dalamnya, Sagara lebih dulu menahan tangannya. Tiba-tiba Sagara memeluknya dari belakang.
Syfo terdiam karena efek terkejut atas perbuatan Sagara padanya. Sesaat setelah tersadar dia melepas pelukan itu, berbalik badan dan menampar Sagara. Dia tidak percaya Sagara akan berbuat tidak sopan padanya. Bukan tidak sopan lagi, tapi ini adalah hal paling kurang ajar menurut Syfo.
“Maaf,” ucap Sagara dengan kepala tertunduk. Dia tidak lagi menahan saat Syfo memutuskan menyingkir dari hadapannya.
~~~
^vee^