Symphony-8

1722 Words
Selama sepuluh tahun terakhir, orang-orang mengira rumah tangga Syfo dan Aries rukun, harmonis dan jauh dari gosip miring. Padahal sebenarnya Syfo sudah sangat muak pada Aries dan segala hal toxic yang ada dalam diri pria itu. Namun dia bertahan di titik ini karena masih ingin mempertahankan tanggapan positif itu soal rumah tangganya. Dia juga masih berharap Aries mau berubah dan kembali seperti dulu lagi.  Saat jam efektif kantor seperti sekarang ini Syfo memilih untuk tidak berada di ruangannya. Dia berpesan pada sekretarisnya, siapapun yang mencari untuk mengatakan kalau dia sedang meninjau proyek yang lokasinya sangat jauh dari kantor. Syfo sedang berada di titik jenuh dan merasa penat. Dia memilih Melody’s Cafe sebagai tempat untuk membuang rasa penatnya itu. Dia sedang menghindari bertemu dengan banyak orang terutama abangnya. Dan dia merasa tenang saat berada di kafe ini. Lekha berkata akan menyusulnya setelah mandi. Begitu sahabatnya datang Syfo tampak semringah menyambutnya. Dia membuang jauh-jauh wajah penat menyedihkannya. Dia tidak ingin Lekha menebak dengan tepat seperti saat terakhir pertemuan mereka beberapa hari yang lalu.  “Coba tolong dikondisikan, ya, itu kantung mata,” canda Syfo. “Kali ini lo nggak tidur berapa hari, Lek?” tanyanya sambil menahan senyum. “Sampai lupa kapan terakhir gue tidur.” “Lo dokter apa security rumah sakit, sih?” Lekha tertawa. “Gabut gue, nongkrongin IGD mulu tiga hari ini. ”  “Astaga...orang itu kalau gabut nongkrongnya di mall, nightclub, kafe.” “Bingung aja mesti ngapain. Pulang ke rumah ditanya kapan kawin mulu sama emak gue. Mending nongkrongin IGD aja, aman.” Syfo tertawa. “Dari dulu juga gue udah nawarin untuk tinggal di apartemen gue, lo nggak mau.” “Apartemen lo jauh dari peradaban dunia.” “Sialan lo!” umpat Syfo pura-pura kesal pada sahabatnya itu. “Trus sekarang ini elo udah tidur kan?” “Tadi pagi pas niat mau pulang, mau tidur nyenyak karena udah nggak tidur selama 25 jam, eh... ada pasien kecelakaan masuk IGD. Setelah ngasih tindakan gue pulang, dan tetap nggak bisa tidur sampai detik ini karena kepikiran pasien itu.” “Ampun, Lekha. Nggak ngerti lagi sama pola hidup lo. Lo cuma mau makan makanan sehat, kaya vitamin, menghindari junk food, anti makanan berminyak dan tinggi lemak. Tapi kalau pola tidur lo kayak gitu, lama-lama tepar juga lo.” Lekha tersenyum malas. “Lo udah tau berita terbaru?” tanyanya, mengalihkan pembicaraan seputar gaya hidup dan pola tidurnya. Dia sedang malas memperdebatkan soal itu. “Berita apa?”  “Freya call gue kemarin, katanya mau ke Indo dalam waktu dekat.” “Oh ya? Kenapa nggak ngabarin gue juga?”  “Itu dia yang bikin gue kesel. Dia ngabarin gue tapi nggak mau ngabarin lo. Alasannya mau kasih surprise buat elo. Menurut gue, mendingan nggak usah kasih kabar aja sekalian. Kalau mau datang ya datang aja,” gerutu Lekha. “Nanti lo pura-pura kaget aja pas dia datang. Males gue kalau dibilang ember,” keluhnya lagi.  Syfo menahan tawa melihat ekspresi kesal sahabatnya itu. “Sekarang ini apa namanya kalau bukan ember?” balas Syfo. Lekha terbahak mendengar pertanyaan berupa pernyataan tepat sasaran yang diucapkan oleh Syfo. Belum sempat Lekha menanggapi lagi ucapan Syfo, seorang pemuda menghampiri meja mereka. Dia tidak mengenal pemuda itu. Tetapi tidak asing karena setiap ke sini selalu melihat pemuda itu melayani pesanan Syfo dengan cara yang berbeda menurutnya.  “Maaf ya agak lama. Tante nggak bilang kalau pengen cheese cake seperti waktu itu. Coba ngomong udah aku bikin dulu sebelum Tante datang,” sesal pemuda tersebut. “Iya nggak masalah kok. Bisa bawain satu lagi nggak, Ga?” pinta Syfo pada pemuda yang baru saja datang membawa sebuah piring kecil berisi cheese cake pesanannya.  Pemuda itu tersenyum. Wajahnya tampak setingkat lebih menyenangkan saat dia tersenyum seperti itu. “Bisa...tunggu sebentar ya.” Lekha menatap Syfo penuh tanya, sementara Syfo menyebutkan kebutuhannya pada pemuda itu. Saat menangkap tatapan Lekha, Syfo teringat kalau belum memperkenalkan Sagara secara resmi pada Lekha. Syfo lalu menahan Sagara pergi. “Ini Sagara, Lek. Dia barista sekaligus orang yang dipercaya Melody untuk mengelola kafe ini.” Syfo berpaling pada Sagara. “Ini Lekha, Ga. Sahabat saya, dokter spesialis kandungan. Penerima beasiswa spesial Elka Foundation sama seperti kamu. Dokter nyentrik, agak judes tapi jenius. Kalau dia ke sini tanpa saya, kamu layani dengan baik ya, Ga.” Sagara tersenyum lalu menyalami Lekha. “Sagara,” ucapnya menyebutkan nama dengan sopan.  “Lekha,” balas Lekha menyebutkan namanya.  “Tapi kalau di rumah sakit dia lebih dikenal dengan nama Dokter Chandra,” imbuh Syfo.  Sagara mengalihkan perhatiannya dari Syfo kepada Lekha. Mencoba menebak usia wanita di hadapannya. Kalau dia sahabat Syfo maka usia keduanya tentu tidak terlampau jauh. Setidaknya itu yang ada di pikiran Sagara saat melontarkan pertanyaan secara hati-hati karena cukup sensitif untuk seorang wanita. “Aku panggil Tante juga atau-”  “No! Panggil Lekha aja,” potong Lekha.  “Oke!” jawab Sagara kemudian pamit untuk mengambilkan pesanan Syfo.  Tepat saat tubuh Sagara sudah menghilang di balik pintu pembatas antara kafe dengan bagian dalam kafe, Lekha menatap penuh tanya pada Syfo. “Jangan bilang kalian berdua sudah akrab?” tanyanya tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran.  Syfo tertawa, sementara Lekha mengernyit.  “Emang kenapa? Dari pada gue sendirian mulu tiap kali ke sini? Ya udah gue coba akrab sama dia. Lagian anaknya asyik ini. Diajak ngobrol apa aja nyambung. Apalagi pas ngomongin musik klasik.” “Ya, tapi kan, dia laki-laki, masih muda dan elo perempuan yang sudah menikah, Fo.” “Loh, memang salah? Kami cuma ngobrol biasa. Kita ngobrol juga kalau pas kafe lagi sepi. Gue udah bilang jangan sampai acara ngobrol mengganggu pekerjaan dia.”  Lekha menarik napas panjang. “Lo nggak lihat gimana caranya dia mandang elo? Tatapannya itu beda, Fo. Ada perhatian lebih dalam tatapannya saat dia memandang elo.” “Apaan, sih, lo! Enggak ada kayak gitu.” Sagara kembali ke meja tempat Syfo dan Lekha sedang memperdebatkan dirinya sambil membawa piring ceper berukuran kecil yang beiri cheese cake. Sagara meletakkan piring tersebut di atas meja. Syfo menarik sebuah kursi di sampingnya untuk Sagara. Keduanya lalu terlibat obrolan seru. Lekha hanya mendengarkan kedua orang itu berbagi cerita. Sagara ternyata mengajar musik untuk anak-anak jalanan yang tinggal di perkampungan kumuh dan kolong jembatan. Dia bahkan punya tim dan tempat khusus untuk mengajar. Dia tidak hanya mengajarkan tentang musik tetapi juga ilmu umum lain seperti berhitung, membaca dan menulis. Syfo tertarik untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan sosial yang dilakukan oleh Sagara.  “Awalnya itu aku cuma ngajarin main biola pada salah satu anak jalanan yang suka ngamen-ngamen nggak jelas di lampu merah dekat jalan mau ke kosku. Ternyata dia berbakat. Iseng-iseng aku belikan dia biola bekas untuk belajar. Eh, taunya dipakek untuk cari nafkah sama dia. Aku cerita sama Dani soal itu. Trus tiba-tiba dia punya ide untuk membuat tempat penampungan sederhana bagi anak-anak jalanan yang ingin belajar musik. Dani juga yang nyediain tempat dan kebutuhan untuk mengajar lainnya. Aku bareng Dani ngumpulin teman-teman di kampus yang mau terlibat di penampungan.” “Sampai sekarang tempat itu masih ada?” tanya Syfo penasaran.  “Masih ada. Kalau pas senggang aku selalu nyempetin ke sana.” “Kapan-kapan ajak saya ke tempat itu ya,” pinta Syfo tulus.  Sagara menggeleng. “Kalau Tante mau ke sana, pamit sama Dani dulu. “ “Loh, kenapa gitu?” Syfo tidak terima pada syarat yang diberikan oleh Sagara.  Sagara menanggapi dengan senyum manis. “Mending Tante tanya langsung aja sama Dani, ya,” ucapnya dengan nada bicara meminta pengertian pada Syfo. Dia berdiri. “Aku kembali ke dalam. Nanti kalau butuh sesuatu langsung ke kasir aja,” pamitnya. Setelah tersenyum sopan pada Lekha, dia meninggalkan kursinya. ***  “Kamu ingat Freya, nggak?” tanya Syfo saat keduanya sedang menghabiskan waktu untuk makan malam di sebuah restoran western dengan view pusat ibukota dilihat dari lantai 31 sebuah gedung pencakar langit. Aries yang punya ide mereka makan malam di luar, anggap saja sebagai proses hibernasi hubungan mereka yang telah sampai pada titik jenuh.  “Freya? Teman kamu yang jadi konsultan fashion di Amerika?” tebak Aries. Syfo mengangguk. Dia tersenyum senang karena Aries mengingat dengan baik profesi salah satu sahabatnya. Syfo memang memperkenalkan semua orang-orang terdekatnya pada Aries dari sejak mereka masih pacaran. Bahkan saat masih pacaran Syfo sering membawa kedua sahabatnya untuk menghabiskan waktu bersama, entah itu nonton, makan atau sekadar duduk-duduk di kafe. Syfo berharap orang-orang terdekatnya juga bisa dekat dengan Aries. “Kenapa dengan Freya?” tanya Aries.  “Dia mau pulang. Mungkin minggu depan.” Aries mengangguk paham. Dia memang pernah tahu soal Freya dan kehidupan bebas salah satu sahabat Syfo itu. Sudah dua kali menikah dan semuanya berakhir di pengadilan, tanpa anak.  “Seterusnya apa cuma liburan?”  “Liburan jelas. Freya kan sudah punya green card. Jadi dia nggak mungkin ninggalin Amerika. Karier dan mimpi besarnya ada di sana,” jelas Syfo.  Aries tidak banyak bicara malam ini. Dia memang menjadi pendiam sejak kembali dari Batam. Syfo ingin bertanya tapi dia mengurungkan niatnya untuk tidak membahas soal pekerjaan di tempat seromantis ini. Dia menahan diri untuk tidak merusak suasana hangat yang akhir-akhir ini sulit diwujudkan karena kondisi rumah tangga mereka yang mulai rentan.  Syfo berdeham seakan menyadari suasana yang tadinya hangat tiba-tiba menjadi dingin karena dia berhenti bercerita dan Aries memilih diam. Kondisi mereka saat ini layaknya dua orang yang saling canggung.  “Setelah makan enaknya kita ke mana ya?” tanya Syfo, berusaha membangun komunikasi dengan Aries.  “Kamu pengennya ke mana? Aku ngikut aja,” jawab Aries.  “Nonton? Kita udah lama nggak nonton bioskop.” “Boleh,” jawab Aries, sambil menggenggam tangan Syfo yang berada di atas meja.  “Fo?” panggil Aries setelah tercipta keheningan selama beberapa saat.  “Ya?” jawab Syfo. Keningnya mengernyit. “Are you still loving me?”  “Kenapa tanya gitu?”  “Jawab aja.”  “Of course, Eris. I still loving you,” ucap Syfo.  “Terima kasih ya.” Syfo hanya tersenyum lembut seraya mengusap punggung tangan Aries yang tengah menggenggam salah satu tangannya. "Kamu mau hamil nggak?" tanya Aries tiba-tiba. "Aku pengen punya anak," sambungnya. Kali ini benar-benar hening. Ucapan Aries membuat waktu dan segala pergerakan di sekitar mereka tiba-tiba berhenti selama beberapa saat. Bahkan saking heningnya keduanya mampu mendengar degup jantung masing-masing yang berdetak lebih kencang dari biasanya. ~~~  ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD