MOOD

1106 Words
Di tempat lain Brian menyandarkan tubuhnya di depan kap mobil sport miliknya. Ia teringat akan Vallery, wanita itu benar-benar mengingatkannya dengan Liza, hanya saja sikap Liza lebih lembut dibandingkan dengan Vallery. "Ah, andai kau tahu, Liza. Aku kembali mengingat mu lagi karena wanita itu, aku benar-benar tidak mengerti mengapa Tuhan harus membuka luka lama ku saat aku dipertemukan dengan wanita itu. Entah apa yang aku rasakan saat ini, mengapa jantungku berdegup begitu kencang saat aku dengan sengaja mendekap tubuhnya," gumam Brian lalu tersenyum saat membayangkan Vallery yang berada di pelukannya semalam. Tiba-tiba smartphone miliknya berdering yang membuat alis kanan nya menukik saat membaca sebuah nama yang tertera di layar smartphone tersebut. Vinic? Ada apa dia menelpon ku? tanya Brian dalam hati. Vinic Abraham adalah adik Brian yang masih berumur dua puluh tahun, pria itu juga menetap di Los Angeles namun memiliki mansion sendiri. "Hallo, Vin. Ada apa kau menelpon ku?" "Aku hanya ingin mengajak mu untuk menyaksikan balap liar nanti malam." "Oh, God! Aku tidak suka dengan hal seperti itu, Vin." "Oh, come on..! Kau pasti menyukainya, aku dengar nanti malam ada pembalap wanita juga." "Aku-" Perkataan Brian terpotong saat adiknya bersikeras mengajaknya. "Aku akan menjemput mu nanti malam." "But, I-" tut tut tut Oh, s**t! Apa anak itu tidak tahu bahwa aku bukan anak muda lagi untuk menyaksikan hal seperti itu? kesal Brian dalam hati. Brian berlalu meninggalkan tempat itu, lalu masuk ke dalam mobil sport miliknya, ia mengemudikan mobil tersebut menuju sebuah kantor perusahaan miliknya yang bernama Abraham Corporation, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang properti. Setibanya di kantor miliknya ia segera berjalan menuju lift, namun langkahnya terhenti saat seseorang memanggilnya. "Tuan Brian." Brian menolehkan wajahnya ke arah sumber suara tersebut, ia menaikkan salah satu alis nya ketika melihat salah satu penjaga mansionnya berada di kantor miliknya. “Maaf Tuan jika saya-" "Langsung ke inti pembicaraan!" ucap Brian dengan nada dingin yang membuat pria itu menundukkan wajahnya. "Seorang pria telah membuat kerusuhan di mansion anda, Tuan." "Hal sekecil itu kau sampaikan padaku? Apa kau tidak bisa menanganinya seorang diri, hah?!" bentak Brian. "Tapi Tuan ini-" "Who is he?!" tanya Brian kembaluli memotong perkataan anak buahnya tersebut. "Pria itu bernama Alex, Tuan." Brian berpikir sejenak hingga ia kembali mengingat akan nama itu, ya, Alex Matthew, pria yang menganggapnya musuh sejak dua tahun yang lalu saat Brian tanpa sengaja menjalin hubungan dengan wanita bernama Kathy Diana yang tak lain adalah kekasih Alex, namun saat itu Brian tidak mengetahui bahwa Kathy masih menjalin hubungan dengan Alex hingga akhirnya wanita itu mengaku. Setelah Brian memutuskan Kathy ternyata wanita baru sadar jika ia benar-benar mencintai Brian namun Brian sudah tidak peduli dan tetap memutuskan hubungan tersebut namun Alex tidak terima bahwa Kathy mencintai Brian dan tidak lagi mencintainya. Itulah yang membuat Alex menganggap Brian adalah musuh, sedangkan Brian sudah tidak mau mencampuri urusan Alex dan Kathy. "Penjaga sebanyak itu tidak bisa menanganinya?" tanya Brian menyindir pria yang kini ada di hadapan nya. "Ma-maaf, Tuan," ucap pria tersebut dengan terbata-bata. "Apa yang kalian kerjakan?!" bentak Brian kepada pria itu namun pria itu terdiam dengan tubuh bergetar, terlihat jelas bahwa pria itu begitu ketakuan. Beberapa karyawan yang berada di loby perusahaan terlonjak kaget mendengar suara Brian yang menggema, mereka segera menunduk lalu kembali melanjutkan langkah mereka. "Bereskan segala kekacauan yang terjadi!" ucap Brian lalu melenggang pergi meninggalkan kantor tersebut. "Aku ingin jadwal meeting kita bersama klien pada hari ini diganti menjadi besok!" ucap Brian saat menelpon sekretarisnya, tanpa menunggu jawaban dari sang sekretaris, Brian segera mematikan panggilan tersebut. Okay Alex, ternyata kau menantang ku?! Akan ku tunjukkan siapa diriku. Brian melajukan mobilnya menuju sebuah tempat, ia rasa akan sedikit nyaman berada di tempat yang akan ia tuju saat ini. Setibanya di tempat yang ia tuju, Brian segera memarkirkan mobil sport miliknya di halaman mansion yang begitu mewah, kemewahan mansion yang ada di hadapannya saat ini hampir sama dengan mansion miliknya. Saat ia melewati beberapa penjaga, para penjaga itu membungkukkan tubuhnya memberi tanda bahwa mereka menghormati Brian. "Aahhh ... Ternyata kakak tertua ku datang juga ke mansion ku yang kecil ini." Ucap pria berbadan tegap yang memiliki wajah tak kalah tampan dengan Brian. "Kau terlalu berlebihan," ucap Brian dengan datar. "Hey, kau harus bersikap hangat pada adikmu ini. Kenapa kau selalu bersikap sedingin itu? Aku ini adikmu." Brian memutar bola matanya lalu berkata, "Aku selalu seperti ini, Vin." Vinic tiba-tiba tertawa dengan sangat keras. "Okay, okay, I'm just kidding." Vinic mempersilahkan kakaknya untuk memasuki ruang tamu yang bergaya klasik modern setelah itu mereka duduk di sofa berwarna marron dalam ruang tamu tersebut. Brian mengangkat kakinya lalu menyilangkan kedua kakinya di atas meja sedangkan kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku. Ia menatap lurus ke arah Vinic yang saat ini sedang menatapnya. "Balap liar baru dimulai nanti malam tapi kau sudah seantusias ini?" tanya Vinic memandangi wajah sang kakak dengan kening yang mengernyit. "Aku ke sini bukan untuk itu," jawab Brian dengan tenang. "So ... ?" "Mood-ku hancur karna pria b******k itu!" jawab Brian seraya mengepalkan tangan kanan nya di dalam saku, rahangnya terasa sangat kaku mengingat hal apa yang dilakukan oleh Alex di mansionnya. "Woah, relax ... ." Vinic tahu betul bagaimana sifat sang kakak jika sudah diusik. "Siapa yang kau maksud?" tanya Vinic kembali seraya melipat kedua lengannya di depan d**a. "Alex." "Pria yang mengejar-ngejar mantan mu itu?" tanya Vinic seraya mengernyit. "Ya." Vinic tertawa. "Sepertinya ia sangat sakit hati, Brother." "I don't f*****g care," balas Brian dengan nada datar. "Okay, mari kita ganti topik pembicaraan. Apa kau sudah menerima keputusan Daddy?" tanya Vinic yang membuat tubuh Brian menegang mengingat permintaan sang ayah yang menurutnya benar-benar konyol. ----- Aku ingin kau segera menikah, my little psychopath. ----- Perkataan itulah yang terngiang-ngiang dalam pikiran Brian saat ini. "Entahlah, Vin. Aku sedang tidak menjalin hubungan yang serius dengan perempuan manapun." "Oh, God!” erang Vinic seraya mengusap wajahnya. “Harusnya kau berhenti bermain-main dengan para jalang itu dan menjalin hubungan yang serius dengan seorang wanita," ujar Vinic membuat Brian menatap tajam adiknya. "Apa perlu aku ambilkan cermin agar kau bisa melihat bagaimana dirimu? Kau mengatakan itu tanpa menyadari siapa dirimu." Vinic tertawa mendengar perkataan kakaknya. "Daddy tidak menyuruh ku untuk segera menikah, aku masih terlalu muda untuk menjalin hubungan sesakral itu," kilah Vinic. "Kau membuat mood-ku semakin hancur!" erang Brian lalu melenggang pergi memasuki kamar yang sering ia gunakan jika ia menginap di mansion milik Vinic. "Hey, kau mau kemana?" teriak Vinic. Kenapa kakakku itu sangat anti dengan pernikahan? Apa karna Liza? tanya Vinic dalam hati seraya memutar bola matanya. Brian duduk di tepi kasur kemudian kembali memikirkan keinginan sang ayah. Itu benar-benar konyol, Dad. ucap Brian dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD