PINGSAN

1860 Words
Keheningan mansion megah itu membuat seorang pria paruh baya merasa jengah. Pria paruh baya itu sedang duduk di ruang makan dengan memainkan garpu yang ada di tangannya. "Sudahlah Smith, kau harus makan." Pria paruh baya bernama Smith Abraham itu menoleh dan melihat wanita yang sangat ia cintai selama ini. Smith tersenyum. "Aku masih memikirkan putra kita, Bella." Ia kembali menatap garpu yang ia pegang lalu memainkannya lagi. Bella Abraham yang tak lain adalah istri Smith, bangun dari duduk nya lalu menghampiri sang suami yang terlihat murung. Ia menyentuh kedua bahu suaminya, secara perlahan Smith menatapnya dengan pandangan yang sedih. "Brian akan segera menemukan cintanya, kau harus bersabar," ucapnya menenangkan sang suami. "Mansion ini memang megah, aku membeli mansion semegah dan sebesar ini karna dulu aku ingin mansion ini dikelilingi oleh anak-anak kita yang banyak." Bella tersenyum. "Itu sudah terjadi, Honey." "Tapi ketika anak kita beranjak dewasa, satu persatu dari mereka pergi dan itu membuat mansion ini kembali sunyi seperti sekarang. Aku ingin memiliki cucu dari anak-anakku agar saat liburan musim panas mereka semua bisa berkumpul di mansion ini," ucapnya panjang lebar membuat Bella semakin tersenyum mengerti sedangkan suaminya merasa semakin murung. "Itu akan terjadi, kau harus bersabar. Ingatkah kau jika anak-anak kita terlalu sibuk hingga tidak memikirkan hal untuk menjalin hubungan yang serius dengan wanita? Terutama Brian." "Brian, Dave dan Vinic memang sibuk, tapi mereka juga selalu di kelilingi banyak wanita, mengapa mereka tidak mencoba untuk menjalin hubungan dengan salah satu perempuan cantik itu." Bella memukul bahu suaminya dengan pelan lalu terkekeh membuat Smith mendongak menatapnya. "Mereka bukan wanita baik-baik, Honey. Mereka seorang jalang. Mereka mengelilingi anak kita karena harta, bukan karena cinta, dan aku tidak akan mengijinkan anak-anakku untuk menikah dengan wanita yang mengincar harta mereka meskipun kau mendesak mereka demi keinginan mu memiliki cucu." Smith kembali menunduk. "Sampai kapan aku harus menunggu?" Bella terdiam, ia memahami keinginan suaminya namun rasanya sangat sulit jika putra-putranya harus menikah tahun ini. "Kau meminta Brian untuk menikah tapi kau tahu bagaimana Brian bukan?" tanya Bella membuat Smith terdiam. "Aku merasa dia bukan jagoan kecil kita yang dulu, yang selalu tersenyum. Sekarang dia seperti psikopat yang sangat anti dengan sosial, jika ia tidak memiliki perusahaan entah apa yang terjadi karna ia sangat anti dengan sosial. Berbicara dengan saudaranya pun sangat jarang, apalagi menjalin hubungan dengan wanita," ucap Bella sedih mengingat bagaimana sikap Brian saat ini. "Aku yakin anak kita akan kembali seperti dulu," ujar Smith. "Maka dari itu kau harus bersabar. Aku yakin, ia pasti merasa ayahnya sangat konyol saat kau memintanya untuk menikah." "Saat itu aku benar-benar sudah lelah untuk menunggu, aku muak." "Anak kita perlahan akan berubah, Honey. Ia pasti menemukan cintanya. Lagi pula dia masih berumur dua puluh delapan tahun dan menurut ku ia belum terlalu tua jika belum menikah." "Itu menurut mu." Bella memutar bola matanya, ia selalu kalah jika berdebat dengan Smith. Suaminya itu tidak pernah mengerti dengan yang terjadi pada putra-putranya. •••VB••• Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, membuat Vinic mau tidak mau berjalan menuju ke kamar Brian. Ia mengambil langkah-langkah panjang agar segera sampai di kamar tersebut, tanpa mengetuk pintu, ia tahu apa yang akan dilihatnya di kamar itu. Brian masih tertidur. Seperti yang sudah-sudah, Brian tampak tidak tertarik dengan ajakannya, dan hal yang Vinic lihat saat ini adalah bentuk ketidak tertarikan seorang Brian Abraham terhadap balap liar. Vinic berjalan menghampiri Brian yang masih tertidur di atas tempat tidur, saat sudah di hadapan pria itu, ia hanya melipat kedua tangannya dan ia merasa kesal karena Brian belum bersiap-siap. "Brian," ucapnya sekali dan Brian menggeliat namun tidak bangun. "Brother, please. Bangunlah, kau selalu seperti ini setiap aku mengajak mu untuk menyaksikan hal itu." Brian kembali bergerak, bukan menggeliat, lebih tepatnya ia mengambil bantal untuk menutupi wajah dan kedua telinganya. "Pergilah, Vin," ucapnya serak, menimbulkan kesan seksi namun itu membuat Vinic semakin kesal. "Oh, ayolah. Temani aku, aku tidak mungkin ke tempat itu dengan jalang-jalang ku," ucap Vinic frustasi. Tiba-tiba Brian bangun dan melemparkan bantal ke arah Vinic lalu berjalan menuju kamar mandi dan itu membuat Vinic tersenyum. Vinic berjalan menuju ruang utama mansion, ia menunggu Brian seraya memainkan smartphone miliknya. Saat Brian telah selesai mandi, ia berjalan menghampiri Vinic yang sedang duduk di atas sofa di ruang utama mansion, saat ini ia mengenakan celana panjang berbahan jeans, kemeja panjang berwarna navy yang ia lipat hingga siku, tidak lupa juga jam tangan dan juga gelang rantai yang selalu melingkar di pergelangan tangannya saat ia hendak berpergian. "Puas?" tanya Brian terhadap Vinic, pertanyaan itu membuat Vinic tersenyum lebar. "Okay, mari kita berpesta malam ini," ujar Vinic seraya melenggang pergi terlebih dahulu menuju mobil sport milik nya. Brian memutar bola matanya mendengar perkataan Vinic. "Pesta dari mana jika kita hanya menonton? No champagne, no b***h!" ujar Brian dengan malas, ia terpaksa mengikuti Vinic setiap kali pria itu mengajaknya keluar, bagaimanapun juga ia harus menjaga Vinic, ia tidak ingin musuhnya di luaran sana melukai keluarganya terutama Vinic yang masih berumur dua puluh tahun. Setibanya di tempat yang mereka tuju, lagi-lagi Vinic melenggang pergi terlebih dahulu, ia terlihat sangat antusias. Brian menatap adiknya dari belakang dengan jijik saat beberapa wanita jalang bergelayutan di bahu Vinic. "Hi, Baby," ucap seorang perempuan yang tiba-tiba memeluk lengan kanan Brian. Brian menoleh kemudian mendesis. "Lepaskan tangan kotor mu dari lenganku atau ku penggal kepalamu!" ucap Brian menatap tajam wanita itu membuat wanita itu terkejut mendengar ucapan Brian lalu pergi begitu saja. Suara penonton semakin riuh saat mereka mendengar deruman mobil sport yang menandakan balapan akan segera di mulai. Brian dan Vinic berjalan menuju dua mobil sport yang berada di garis start tersebut. Brian melihat mobil Lamborghini Avendator berwarna hitam yang sebentar lagi akan melintasi area balap liar malam ini. Brian hampir mati karena terkejut melihat apa yang dilihatnya sekarang. Bukan mobil berharga jutaan dollar amerika tersebut yang membuat Brian terkejut, melainkan seorang wanita yang berada di balik mobil tersebut. Vallery?! batin nya dalam hati melihat Vallery berada di balik kemudi. Wanita yang baru saja menjadi magnet dalam hidupnya itu sukses membuat Brian hampir mati saat ia tahu bahwa Vallery mengikuti balap liar tersebut, sadar apa yang akan terjadi, Brian berjalan menuju mobil Vallery tanpa menghiraukan Vinic yang memanggilnya, tanpa ijin, Brian duduk di sisi Vallery yang sedang memegang stir dan menatap jalanan yang ada di hadapan nya. Vallery terkejut saat mengetahui Brian memasuki mobilnya. "Brian?" ucapnya menatap Brian. "What are you doing?!" bentak Brian, membuat Vallery merasa bingung. "What?" Vallery menautkan alisnya. "Kau mau cari mati, heh?!" Brian kembali membentak Vallery dan itu membuat Vallery kembali bingung. "Aku tidak mencari mati, aku sedang bersiap-siap, kau lihat?" ucap Vallery seraya menengadahkan kedua tanggannya di samping stir yang secara langsung atau tidak langsung menyuruh Brian untuk melihat stir tersebut. "Dengan kau ikut balap liar ini kau sama saja cari mati!" Brian masih merasa frustasi, entah mengapa ia mencemaskan Vallery yang saat ini akan mengikuti balap liar. "Ini hobby-ku." Lagi-lagi Vallery sukses membuat Brian terkejut untuk yang kedua kalinya. "Aku sering melakukannya dan aku menyukainya," tambah Vallery. Brian menggelengkan kepalanya. "No, aku tidak mau kau mengikuti balap liar ini!" tegas Brian seraya mencekal lengan Vallery dengan sangat erat namun Vallery segera melepas lilitan jemari Brian di lengannya. "Hey, ada apa dengan kau?" Vallery melipat kedua tangannya lalu tersenyum menatap tingkah laku Brian saat ini. "Aku mencemaskan mu!" Pernyataan itu membuat Vallery terkejut, nafas Brian terasa memburu saat mengucapkan kalimat itu membuat dadanya yang bidang naik turun. "Kau tidak boleh mengikuti balapan liar ini!" tegas Brian lagi. Saat Vallery akan membalas perkataan pria itu, perhatiannya teralihkan pada seorang wanita yang ada di tengah-tengah mobilnya dengan mobil lawannya malam ini. "Okay ... ," ucap wanita itu menjeda kalimatnya membuat Vallery mengunci semua pintu mobil dengan cepat. "Untuk saat ini tidak memungkinkan, Brian. Pasang sabuk pengaman mu," ucap Vallery yang membuat Brian menatap sekeliling. Brian sadar bahwa balapan ini sudah dimulai dan tidak ada waktu lagi untuk membawa Vallery pergi, ditambah dengan Vallery yang mengunci pintu mobil tersebut membuatnya merasa sangat mustahil untuk membawa Vallery pergi dari tempat ini sekarang. "Are you ready?" tanya wanita itu menunjuk Vallery, Vallery membuat mobilnya menderum dengan keras, tanda bahwa Vallery sudah siap. "I hope you are ready too." Wanita itu tersenyum seraya menunjuk lawan Vallery yang ada di samping kanan nya. Vallery kembali menatap jalanan yang ada di hadapannya dan sesekali membuat mobil nya kembali menderum. "Go!" ucap wanita itu seraya menjatuhkan kain berwarna merah yang ada di tangannya, tanda bahwa balap liar tersebut sudah dimulai. Tak ingin kalah, Vallery lalu menginjak gas mobilnya dalam-dalam dan melintasi setiap belokan tajam yang menjadi lintasan balap liar kali ini. Terasa begitu mudah saat Vallery melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, ini adalah hal yang sering ia lakukan hampir setiap bulan. Vallery, model internasional yang sangat terkenal tanpa sepengetahuan publik ternyata juga seorang pembalap mobil ilegal. Beberapa tikungan tajam sukses ia lewati dengan mudah dan itu membuatnya berhasil melewati garis finish terlebih dahulu. Sesampainya di garis finish ia disambut oleh tepukan tangan orang-orang yang menyaksikan balap liar tersebut. Vallery melepas sabuk pengamannya dan hendak mengajak pria itu untuk turun, namun ia terkejut saat melihat wajah Brian yang tertunduk dan ternyata pria itu tidak sadarkan diri. "Brian?" tanya Vallery mulai panik dan menepuk pelan pipi Brian. Tidak ada respon. "Brian, jangan membuat lelucon karna ini sungguh tidak lucu, Brian." Vallery semakin panik saat Brian kembali tidak merespon. Tiba-tiba pintu mobil terbuka dan Vallery melihat seorang pria muda tengah terkejut menatap Brian. "Siapa kau?" tanya Vallery. "Aku yang harusnya bertanya, siapa kau?!" tatapan pria itu begitu tajam menatap Vallery. "Aku-" Belum sempat Vallery menyebutkan namanya pria itu kembali berkata. "Kau membuat kakakku pingsan karna trauma!" bentak pria itu. "Trauma?" Vallery menatap pria itu dengan bingung. "Ikuti mobil ku, kita harus membawa kakakku ke mansionnya." Vallery dengan cepat menurut mengingat keadaan Brian saat ini tidak sadarkan diri. Setibanya di mansion tanpa berpikir panjang Vinic memanggil dokter keluarga untuk segera datang ke mansion milik Brian. Selagi menunggu dokter datang, Vinic melirik wanita yang ada di hadapannya, bukan, bukan di hadapannya, tepatnya di samping Brian yang tergeletak di tempat tidur. Wanita itu menatap Brian dengan tatapan seolah ia mencemaskan Brian. Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benak Vinic. Siapa wanita itu? Mengapa ia mencemaskan Brian? Apa mereka menjalin hubungan? Kapan mereka bertemu? Apa wanita itu adalah jalang yang Brian kenal dari salah satu club malam? Vinic menggelengkan kepalanya dan kembali menatap wanita itu. "Kau siapa?" tanya Vinic datar, belum sempat Vallery menjawab, dokter yang dipanggil oleh Vinic telah datang. "Good Night, Tuan Vinic." Vallery menatap Vinic saat dokter itu menyebutkan nama pria itu. "Tolong segera periksa kakakku, aku tidak ingin ayahku mengamuk saat ia tahu bahwa aku yang mengajaknya untuk menonton balap liar itu." Dokter tersebut berjalan menghampiri Brian yang belum siuman. Setelah selesai memeriksa, dokter itu memberikan beberapa obat kepada Vinic. "Ini obatnya.” Vinic mengangguk. Dokter itu melenggang pergi dan menghilang di balik pintu, Vallery menoleh ke arah suara seseorang yang merintih, dan ternyata suara itu berasal dari Brian. "Brian?!" ucap Vallery terkejut saat melihat Brian telah siuman, Vinic pun menoleh dan melihat Vallery duduk semakin dekat dengan Brian seraya menggenggam tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD