7. Duren

1149 Words
“Iya. Benar. Kamu atur saja di sana. Minggu ini aku sibuk dengan keluarga baruku. Kalau bisa, rapatnya digeser saja sampai minggu depan bulan berikutnya.” Malika memerhatikan Rivaldi yang sedang berbicara di seberang meja. ‘Hmmm... dia sebenarnya kerja apa, sih? Hebat juga sampai punya banyak kekayaan di usia masih muda begitu,’ batin Malika yang akhirnya tahu kalau umur Rivaldi tahun ini sudah masuk 28 tahun. Cuma beda 3 tahun, kan? Memang agak konyol kalau memanggilnya dengan sebutan Om. Siapa suruh dia suka memasang wajah dingin dan kaku begitu? Formal banget kayak bos dan karyawan aja! Malika sempat berpikir kalau dia hanya awet muda saja, ternyata memang masih lumayan muda. “Kenapa lihat-lihat?” tanya Rivaldi bagaikan de javu kepada istri barunya. Malika menggelengkan kepalanya cepat-cepat. “Tidak. Tidak ada apa-apa. Emang salah, ya, kalau melihat suami sendiri?” Leana yang sibuk menyuapi Kinnan di meja kafe taman hiburan itu, tertawa diam-diam mendengar pertengkaran kecil suami istri baru tersebut. Setelah puas bermain di taman hiburan, mereka akhirnya pulang ketika matahari sudah kembali ke peraduannya. Malika tidak menyangka kalau momen bulan madunya malah dihabiskan di taman hiburan seperti ini. Jangan-jangan, suaminya benar-benar tidak ada minat melakukan itu? Maliak senang dan sedih ketika memikirkannya, tapi segera pupus ketika ponselnya bergetar. Rivaldi yang sibuk menyetir, meliriknya sekilas. “Halo? Nandita? Ngapa loh?” tanyanya dengan suara mengecil di ujung kalimat. Mata melirik gugup ke arah Rivaldi, takut kena tegur gara-gara bahasa gaulnya yang dicap kasar dan tidak sopan. “Lo tuh yang kenapa? Bicara, kok, bisik-bisik? Lagi perang bantal, ya? Masih kepagian, Neng! Tunggu malam dulu! Emang semalam layanan Duren lo kurang greget?” “Sembarangan aja lo! Bukan gitu!” tegur Malika kesal. Boro-boro malam pertama! Tidur semalam saja, dia sedikit kesulitan gara-gara tempat baru yang kini telah menjadi rumahnya. Dia belum terbiasa dengan suasana yang ada. “Oh? Jadi, lo dari taman hiburan yang itu? Enak, dong?! Sayang banget gue nggak bisa ikut. Trus, trus. Anak lo sukanya apa? Ntar gua bawain hadiah, deh!” “Nggak usah repot-repot. Kinnan nggak bisa sembarang makan jajanan di luar. Kalau mau sesuatu, bawain aja boneka beruang.” “Oh, Ok! Ok! Kalau gitu sampai jumpa nanti malam, yak!” Percakapan pun akhirnya berakhir, dan membuatnya kaget ketika Rivaldi yang berhenti di lampu merah menatapnya tanpa kedip. “Ke-kenapa malah Kak Rivaldi yang menatap saya begitu, sih?” “Tidak. Hanya penasaran saja dengan temanmu yang bernama Nandita itu. Kalian satu spesis atau tidak. Itu saja.” Hah? Satu spesies? Apa maksudnya? *** Di mansion, ketika malam telah tiba. “Wuidih! Cakep amat anak lo, Mal! Kayak supermodel mini!” puji Nandita heboh, mencubit-cubit kecil pipi Kinnan yang tersenyum senang menerima boneka beruang darinya. “Hush! Jangan bicara dengan bahasa gaul begitu di sini. Ntar kena tegur ama macan gunung es!” Nandita terperangah. Mendengus tak percaya. Baru saja ingin menimpalinya, Kinnan malah berceloteh kecil. “Macan gunung es?” Malika keringat dingin, langsung tersenyum kikuk sambil berlutut di depan Kinnan. “Sayang. Sekarang kamu ke kamar, ya, sama mbak Leana. Mama mau bicara penting sama teman mama dulu. Lain kali kita bertiga main di luar, ya, kayak tadi?” Malika membujuknya untuk segera ke kamar, karena tahu kalau Nandita bisa saja iseng dengan putri Rivaldi. Hubungannya dengan pria dingin itu masih terbilang dalam masa pendekatan. Kalau sampai ada salah paham gara-gara Nandita, bisa-bisa ketenangan rumah tangganya akan terancam! Haduh! Dia belum siap menjalani adegan klise drama ikan terbang! “Lo takut amat ama gue. Emang gua bakal culik anak lo, ya?” sinis Nandita dengan kening bertaut kesal. Merasa tersinggung dengan cara Malika memperlakukannya sebagai tamu. Malika segera duduk di sebelahnya, meraih bahunya sambil berkata meminta maaf. “Ya, nggak gitu maksud gue. Lo kan tahu sendiri kalau gue baru aja nikah ama orang yang baru gue kenal. Belum juga 24 jam gue nikah, masa udah sok akrab ama anaknya? Ntar gua dicap apaan lagi?” “Loh? Tapi, kan, yang datang duluan buat nikah dadakan, bukannya dia? Lagian, kenapa lo bicara bisik-bisik gitu? Emang suami duren beku lo tuh negur cara bicara lo?” “Iya! Bayangin! Gue dicap macam-macam ama dia! Gua malah nggak sengaja kluarin kata-kata kasar depan dia pas gue kaget gara-gara dia! Emang itu salah gue? Kagak, kan?” Sesaat, Nandita terdiam. Detik berikutnya, dia segera menaikkan kedua tangannya layaknya sedang berdoa. “TERIMA KASIH, TUHAN! AKHIRNYA CEWEK SATU INI BISA JUGA TOBAT DAN KEMBALI KE JALAN YANG LURUS!” “Hush! Apaan lo bicara gitu?” tegur Malika kesal, menarik turun kedua tangan Nandita dengan kasar. “Ya, kan, gue udah bilang ama lo buat ubah gaya bicara lo yang ceplas-ceplos! Sekarang terbukti, kan, ucapan gue?” “Kayak lo nggak gitu aja? Huh!” “Ya kali gue ngomong kek gini ke orang lain selain lo! Gue gila apa?! Kagaklah!” “Kalau lo mau salahin gue ngomong kek gini, salahin tuh Drian! Gara-gara dia, kan, kita jadi suka ngomong kek gini?” omel Malika enteng. “Eh, Drian belum tahu, loh, soal pernikahan lo ini.” Malika mengerutkan kening. “Biarin ajalah. Emang apa gunanya?” Nandita diam sebentar. Bagaimanapun, Drian sangat menyukai Malika sejak dulu. Belum tahu soal pernikahan dadakan wanita yang disukainya pasti adalah pukulan telak untuknya. Dia saja yang tiba-tiba mengetahui acara besar itu terjadi begitu saja, sangat terkejut. Bagaimana dengan Drian? “Lo kenapa, sih, perhatian banget ama Drian? Jangan-jangan lo benaran suka, ya?” ledek Malika iseng, mencoba mengecek bagaimana raut wajahnya. Nandita tersenyum canggung, memukulnya cepat. “Apaan, sih, lo? Ngapaian gue suka cowok berengsek kek gitu? Apa gue nggak punya pria idaman lain gitu?” Malika terbahak mendengarnya. “Lo bicara kek lo aja yang nikah, bukan gue. Apa-apaan lo ngomong pria idaman lain?” “Huh! Berisik banget lo! Ngomong-ngomong, tadi suami lo ke mana, sih? Kok, buru-buru amat?” Nandita sangat penasaran. Soalnya, ketika tiba di rumah super megah itu, baru juga berkenalan 5 menit, eh, tiba-tiba pria bernama Rivaldi Geovani itu langsung pamit super sopan mau mengurus bisnis katanya. “Nggak tau gue. Tadi juga gitu. Sekarang pergi lagi.” “Emang dia kerja apaan, sih?” “Nggak tahu. Gue juga blum tanya-tanya banyak tentang dia.” “Ckckck! Benar-benar, dah, lo, ya! Emak lo juga sama gilanya ama lo! Pengen mantu, sih, nggak papa. Tapi, nggak kayak gini juga!” “Gue juga mikir gitu, sih,” kekeh Malika sambil memasang wajah bodoh. Kedua wanita itu lalu bercakap-cakap panjang lebar sampai membahas masalah resepsi bulan depan. Katanya, akan diadakan super mewah sebagai pengganti pernikahan dadakan tersebut “Wuah. Kalau gue pikir, ya, dari penuturan lo. Keknya emak lo kali ini emang super duper brilian! Langsung dapetin lo ama duren kek gitu. Njirrr!!! Gila bener, dah! Sekalipun duda, tapi pesonanya lebih hebat daripada pria lajang yang nggak jelas masa depannya di luar sana. Ini baru namanya jodoh nggak akan ke mana!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD