“Apaan, sih, lo! Ngeselin banget!” maki Malika iseng.
“Dahlah. Lo syukurin aja udah nikah. Mau lo jadi perawan tua? Trus! Trus, punyanya gede, nggak? Gimana malam pertama lo?”
Malika malu-malu mendengarnya. Memang, sih, mereka berdua suka bicar hal-hal dewasa tanpa ada rasa malu. Tapi, saat ini, entah kenapa Malika merasa tidak nyaman.
Pertanyaan Nandita juga mengingatkannya dengan ucapannya beberapa saat lalu yang ingin milik suaminya lebih besar daripada Drian. Boro-boro malam pertama, lihat bendanya aja kagak bisa!
“Ngapain, sih, lo bahas begituan? Nggak malu apa?”
“Yeee! Sejak kapan lo punya malu?” ledek Nandita heran.
Malika berdeham cepat. Bagaimanapun, rasanya agak kurang pantas membicarakan bagian pribadi suami dadakannya itu. Tapi, tak bisa dipungkiri kalau dia juga sebenarnya sangat penasaran. Seberapa besar, sih, milik dari seorang Rivaldi Geovani?
Teringat dengan pembahasan itu, Malika juga tiba-tiba teringat dengan ucapan Rivaldi yang mengaku masih perjaka. Entah kenapa, hatinya panas tidak jelas.
Dia tidak suka dengan kata-kata membingungkan suami dinginnya itu. Senangnya, ya, mempermainkan orang sampai bingung? Untung saja putrinya tidak mendengar ucapannya itu. Kalau tidak? Kasihan Kinnan kalau sampai mikir dia anak pungut, kan?
Ternyata, tipe pria dingin di mana-mana itu emang sama saja, ya? Kurang peka!
“Heh! Ngapa lo melamun aja?” tegur Nandita heran.
“Hah? Nggak kenapa-napa, kok. Lo ngomong apa tadi?”
“Lo ngapa, sih?”
Malika tersenyum cengengesan dengan wajah bodoh dan kikuk.
Malam pertama mereka tidak boleh sampai ada yang tahu kalau dia masihlah perawan! Aduh! Malu banget kalau sampai ketahuan, kan?
Umur sudah 25 tahun, juga udah nikah dadakan, eh, ternyata masih perawan? Kenapa rasanya lebih memalukan daripada sebelumnya?
‘Sialan! Coba gue kagak pura-pura haid di malam pertama gue. Gue pasti balas dendam! Mayan, kan, gue kerjaian duren ntu. Eh, suami guelah sekarang! Hmmm! Bagus, tuh, keknya kalau gue iket di ranjang trus gue gelitikan sampai mampus!’ batin Malika sambil terkikik sendirian.
“Mal! Lo dah gila, ya, gara-gara nikah dadakan? Gue lapor ke emak lo, deh! Keknya lo demam dikit, deh! Wuah! Parah, sih, ini!” seru Nandita super heboh.
***
“Lo serius, Nan?” tanya Drian tak percaya.
“Iya! Makanya lo cepet pulang, trus lihat sendiri! Resepsi kedua bakal digelar bulan depan. Lo, sih, kebanyak maen! Makanya Malika diembat duda keren!” cerocos Nandita yang mencoba terdengar santai.
Di seberang telepon tiba-tiba saja diam tanpa ada suara apa pun. Nandita mengerutkan kening, merasa bersalah sudah memberitahunya.
“Dri? Lo nggak apa-apa?” tanya Nandita pelan.
Drian lama baru menjawabnya dengan helaan napas berat. “Gue baru bisa pulang besok. Ntar gue kabarin lagi.”
Percapakan itu langsung saja berhenti begitu saja.
Nandita menatap layar ponselnya dengan wajah bersalah.
“Apa seharusnya gue nggak kasih tahu dia, ya? Tapi, kalau dia tahu sendiri, bakal rame, kan?” gumam Nandita dilematis.
Sekalipun Drian terlihat semberono dan suka bermain dengan wanita, tapi masalah cintanya kepada Malika, tidak usah ditanya lagi. Mungkin kalau Drian tobat, hanya Malika yang bisa membuatnya berhenti. Sayang seribu sayang, Malika benar-benar nggak ada perasaan apa pun kepada Drian selain seorang sahabat. Sekarang, dia juga sudah menjadi istri orang.
“Keknya semakin jauh aja playboy itu dari kata tobat,” lanjut Nandita dengan perasaan lemas.
Meskipun dia tahu kalau dia menyukai Drian dan tidak ada harapan, tetap saja dia sayang dan peduli kepadanya. Nandita menghela napas berat, dan segera berlalu menuju kamar mandi.
“Biarin aja, deh. Mungkin ini karma beneran buat Drian. Bego, sih, dia. Kalau serius, mungkin aja Malika balas perasaannya, kan?”
Nandita menghela napas berat sekali lagi.
Kalau benar kerja keras bisa membuat masalah terselesaikan, bagaimana dengan dia dan Drian? Mungkin semua tergantung hoki juga kali, ya?
***
“Gila! Jadi, ini yang disebut buku nikah? Keren juga?” gumam Malika senang ketika baru saja menerima buku nikah miliknya.
Rivaldi yang duduk di kursi pengemudi meliriknya dengan tatapan geli tak percaya.
“Kenapa? Kamu belum pernah lihat sendiri?”
“Yeee! Namanya juga orang baru nikah, Om!”
“Om lagi?”
“Ya, ampun! Keceplosan, OMMM!!!” ujar Malika. Kali ini segaja menekankan kata ‘Om’ pada kalimatnya, lalu tertawa terbahak-bahak.
Tidak disangka, sudah lebih seminggu mereka menikah, dan hari-hari yang berjalan cukup menyenangkan untuk dijalani. Meski tentu saja urusan ranjang sangat membosankan, karena Rivaldi sudah mirip teman tidur biasa. Paling parahnya, dia benar-benar sibuk dengan pekerjaan, dan hanya fokus kepada putrinya.
Jika dia sebegitu sayang kepada putrinya, bagaimana dengan mantan istrinya dulu?
‘Njir, sialan! Kenapa gue mikir kek gini? Kayak bini cemburu aje! Tapi, gue emang bininya, kan?!’ batin Malika keheranan kepada diri sendiri.
“Kamu kenapa? Kok, melamun?” tegur Rivaldi ketika membelokkan mobil ke arah kiri.
“Eh? Siapa yang melamun? Loh? Kita mau ke mana, Om? Eh, maksudnya Kak Rivaldi!”
Rivaldi menyerah dengan panggilan yang suka salah alamat itu, maka langsung menjawabnya dengan cepat. “Kita ke salah satu restoranku dulu. Kalau kamu tertarik setelah melihatnya, kamu boleh mempertimbangkan untuk bekerja paruh waktu di sana.”
“Hah? Kok, gitu? Saya nggak mau berhenti dari tempat kerja saya, Kak!”
“Kamu sudah menikah sama saya, kan? Prioritas kamu sekarang adalah keluarga. Bekerja di supermarket 24 jam, apa kamu tidak capek? Meski terbagi beberapa shift, tetap saja kamu itu pulang lama dari tempat kerja. Kamu lihat sendiri bagaimana Kinnan menyukaimu, kan? Apa kamu tega sama anak kecil seperti itu?”
Malika terdiam.
Sebagai keluarga yang hanya tersisa ibu dan adik laki-lakinya saja, Malika jelas tahu bagaimana kehilangan cinta dari salah satu kedua orang tua mereka.
“Tapi, Kak. Saya masih senang bekerja di sana. Sekarang saya masuk pagi, pulangnya juga nggak terlalu siang, kan? Apa nggak bisa tetap kerja di sana? Gajinya juga lumayan. Bisa bantu keuangan buat Kinnan, kan? Lagian, siapa yang bisa bantu adik dan ibu saya?”
Rivaldi mengerutkan kening, meliriknya dingin. “Kamu pikir saya ini suami pelit? Begitu? Atau miskin?”
“Eh? Kok, gitu, sih? Saya nggak bilang apa-apa, loh!”
“Kamu, tuh, ya! Pintarnya ngeles aja! Sekarang kamu kirim nomor rekening kamu ke nomor yang saya kasih ke kamu!”
“Hah? Buat apaan?”
“Emang kamu tidak mau saya nafkahin?”
“Ma-maksudnya Kak Rivaldi mau ngasih saya duit? Gitu?”
“Selain duit, memangnya kamu mau apa lagi? Oh, mau liburan bulan madu? Atau minta mobil?”
Malika kaget luar biasa!
“SAYA NGGAK MATRE, YA, PAK! MESKIPUN CINTA DUIT, SAYA JUGA NGGAK GITU-GITU AMAT!” pekik Malika marah.
Rivaldi memiringkan kepalanya ketika mendengar teriakannya yang memekakkan telinga. “Kamu bisa bicara yang benar, tidak? Apa butuh saya kasih kamu les privat seperti Kinnan juga?”
“IKH! OM ADA-ADA AJA! SAYA NGGAK MAU!” protes Malika kesal. Emangnya dia ini anak PAUD?!
Rivaldi menghela napas pasrah mendengar sebutan untuknya selalu berganti-ganti. Sejak mereka telah resmi sebagai suami istri, Malika baru memanggilnya sebagai seorang suami hanya sekali. Seingatnya, itu pun disebutkan dari dalam kamar mandi.
Ternyata menghadapi wanita benar-benar rumit!