“Ngapain kita ke sini, Om? Eh, Kak?” ujar Malika salah tingkah beberapa saat kemudian. Matanya menatap kantor urusan agama di depan sana.
Rivaldi mematikan mesin mobil, melirik ke belakang sejenak melihat Kinnan yang tidur di sebelah pengasuhnya.
“Kemarin kita hanya menikah siri. Kamu lupa? Atau emang nggak paham cara menikah yang benar?”
Malika cemberut mendengar sindirannya.
“Yeee. Siapa suruh menikah kayak mie instan begitu? Salah siapa coba?” balasnya dengan bisikan kecil.
Karena sebagian dokumen sudah disiapkan oleh ibu Malika beberapa saat lalu, maka hanya butuh beberapa persiapan sebelum buku nikah mereka berdua selesai dibuat.
Mereka berdua kembali melakukan pernikahan agama secara singkat di sana sebagai salah satu syarat untuk pendaftaran pernikahan resmi negara.
“Wuah! Ternyata tidak serumit yang gue pikir kalau mau nikah, ya?” ujar Malika kepada diri sendiri.
“Tentu saja. Makanya kalau masih muda pelajari hal-hal yang penting seperti itu supaya masa depan terarah. Menikah itu tidak sesulit ujian PNS. Memangnya kamu bayangin apa?” sinis Rivaldi yang berjalan di sebelah Malika usai keluar dari kantor urusan agama.
Malika mengedikkan bahunya malas, mulut dimajukan sebal.
‘Emang gue bodoh banget, ya, di matanya? Sialan!’ maki Malika dalam hati.
Buku nikah mereka bisa diambil sekitar 10-12 hari kerja. Itu gara-gara kantor urusan agama sangat sibuk dengan beberapa hal sebelum bisa menyelesaikan buku nikah mereka. Malika santai saja. Toh, bukan dia yang menginginkan pernikahan ini sejak awal.
“Oh, iya, Pak. Kenapa bapak mau menikah sama saya, sih?”
“Pak?” ulang Rivaldi. Berhenti melangkah dan berbalik menatapnya dengan sebelah kening naik tak suka.
“Ups! Maksudnya Kak Rivaldi. Apa benar Kak Rivaldi setuju menikah karena permintaan almarhumah ibu kakak, ya? Atau karena ada alasan lain?”
Malika berpikir kalau dengan tampang seperti itu, seharusnya bisa mendapat wanita sekelas selebriti. Tapi, kenapa malah menikah dengan wanita yang dicapnya kasar dan belum dikenalnya sama sekali?
“Kenapa? Kamu tidak suka pernikahan kita?”
“Bu-bukannya tidak suka, sih. Tapi, kan, cukup aneh aja. Kak Rivaldi tiba-tiba datang ke rumah membawa semua perlengkapan nikah. Apa tidak takut malu kalau saat itu saya langsung memberontak hebat?”
“Memangnya kamu berani memberontak di depan ibumu? Di depan semua tamu yang datang?”
Malika tersedak mendengar pertanyaan sederhana itu.
“Jahat banget! Saya, kan, mana bisa begitu sama ibu sendiri!”
“Tuh, kamu tahu sendiri jawabannya.”
Rivaldi meninggalkan Malika yang terbengong sendirian di sana.
“O-om! Eh, salah! Kak Rivaldi! Tunggu saya!” teriak Malika heboh.
Wanita ini berpikir, meskipun suami dadakannya itu terlihat cukup dingin dan cuek, tapi mungkin saja tidak begitu, kan? Mungkin saja dia bisa menerimanya sebagai teman baik?
Bukankah pernikahan ini menguntungkannya juga? Setidaknya tidak akan mendengarkan lagi soal pertanyaan ibunya yang selalu meminta menantu, kan?
Malika berjalan cepat dengan langkah-langkah riang.
Mungkin menikah tidak seburuk yang dia pikirkan? Toh, kalau seperti teman begini, dan tidak ada cinta, mungkin benar tidak akan seburuk yang dilihatnya di sekitar, kan?
Anggap saja ini seperti pernikahan kontrak. Tidak perlu ada cinta, hanya saling menguntungkan saja!
“Kenapa kamu senyum-senyum gitu? Sakit gigi?” ledek Rivaldi dingin saat Malika sudah duduk di kursi co-pilot.
“Yeee! Kak Rivaldi bisa aja. Emangnya salah kalau saya bahagia sendirian? Masa bahagia juga diatur? Nggak pernah dengar, tuh, tugas suami kek gitu.”
Rivaldi menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah, lalu menjalankan mesin mobil kembali.
***
“Wuah! Keren banget! Ini yang namanya taman hiburan paling terkenal di Asia tenggara itu?!” seru Malika ketika baru saja turun dari mobil. Matanya terperangarah melihat pintu depan taman hiburan itu.
Rivaldi muncul dari balik pintu lain, menatapnya setengah geli. “Memangnya kamu tidak pernah ke tempat seperti ini?”
“Ya, pernahlah, Kak. Tapi, ini yang paling besar dan terkenal, kan? Masuk ke sini biayanya mahal. Kalau pun tiketnya sanggup aku beli, tetap saja makan di sana dan biaya lain sangat menguras dompet!”
“Kalau begitu, kamu beruntung menikah sama saya. Kamu bisa makan sepuasnya di dalam sampai gendut.”
“Yeee! Emang gue sapi, apa?” maki Malika kesal dengan suara berbisik kecil.
“Bahasa, Malika!” tegur Rivaldi cepat.
“Ikh! Gila! Masih juga kedengaran dari situ, ya?!” balas Malika takjub. Tidak menyangka suaranya bisa terdengar sampai ke telinga Rivaldi.
“Tentu saja terdengar sampai di sini. Kamu berbisik sudah mirip speaker rusak.”
“Ya, ampun, Om! Saya belum bisa terbiasa bicara kayak Om, ya! Jadi, harap maklum aja!”
“Om?”
“Ka-kak Rivaldi...” balasnya gugup. Mengalihkan matanya dari tatapan menyipit dari pria di seberang mobil.
Lagi-lagi Rivaldi menggeleng cepat, lalu segera memberi instruksi kepada pengasuh di dalam mobil.
“Jadi, Kinnan mau main ke sini, ya?” tanya Malika kepada anak perempuan yang masih setengah mengantuk di sebelahnya.
“Iya... Kinnan mau beli boneka dan permen....”
Malika terkekeh melihat gayanya yang masih mengantuk sambil menjawabnya. “Kalau begitu, ayo bangun baik-baik, Sayang. Kita keliling taman hiburan, yuk!”
“IYAAA!!!”
Kinnan yang semula berpegangan tangan kepada pengasuh bernama Leana, seketika saja berlari ke arah Malika.
Melihat itu, Rivali cukup terkejut!
Leana adalah pengasuh yang sudah mengasuh dan merawat Kinnan sejak bayi sampai sekarang. Bahkan sangat dekat dan begitu suka menempel. Tapi, dia langsung berlari ke arah Malika?
Mungkin Malika tidak seburuk dugaannya, bukan? Katanya, anak kecil itu bisa membedakan mana orang baik dan buruk.
Rivaldi tersenyum kecil melihat kedua orang itu berjalan dengan lari-lari kecil menuju pintu gerbang taman hiburan.
Leana yang masih berdiri di samping, melirik Rivaldi dengan senyum penuh kepuasan. “Tuan, sepertinya pilihan Tuan tidak salah sama sekali. Nyonya Malika benar-benar cocok dengan putri Anda.”
Rivaldi hanya mendengus geli mendengarnya, tapi dalam hati sepertinya setuju dengan pernyataan itu.
Kinnan tidak bisa akrab dengan orang asing. Tapi, melihatnya sangat dekat dengan Malika yang baru ditemuinya kemarin, benar-benar perubahan besar di matanya.
Apakah putrinya sudah sangat merindukan sosok seorang ibu selama ini?
Ah... sungguh kasihan putri kecilnya itu.
Rivaldi menautkan kening sedih. Hatinya yang semula tidak begitu suka dengan pernikahan yang terasa agak membebaninya itu, perlahan-lahan bisa diterimanya dengan alasan putrinya yang cantik.
Mungkin saja pernikahannya kali ini bisa berjalan lebih baik daripada sebelumnya, kan? Tidak perlu cinta di dalamnya. Selama putrinya bahagia, dan Malika bisa senang tanpa banyak protes, mungkin kapal rumah tangga mereka bisa berlayar dengan sangat menyenangkan.
“Ayo, mbak Leana. Kita masuk juga.”
Leana mengangguk mengiyakan, lalu berjalan beriringan dengan Rivaldi.
Pengasuh itu sudah dianggap sebagai kakak sendiri oleh Rivaldi karena perbedaan umur yang sangat jauh. Belum lagi dia adalah keluarga dari salah satu karyawannya yang sangat loyal di perusahaan. Perlakuannya kepada Leana sangat baik layaknya keluarga sendiri.
Biasanya, jam kerja Leana hanya sampai dia pulang dari kantor saja, karena Leana juga punya keluarga sendiri yang harus diurus. Dengan adanya Malika, sepertinya Kinnan akan lebih bahagia daripada sebelumnya. Setidaknya tidak akan kesepian lagi sosok ibu di sampingnya ketika malam telah tiba.
“Papa! Papa! Naik itu!” teriak Kinnan sambil menunjuk wahana cangkir bergerak.
Karena tidak sabaran, Kinnan berlari menarik tangan ayahnya dan juga menarik tangan Malika.
Tangan kedua orang itu tidak sengaja bersentuhan hingga membuat keduanya terkejut oleh sensasi listrik yang tiba-tiba saja menyengat kulit.
Waduh! Apa-apaan itu?!
Keduanya saling tatap dalam diam, tidak tahu harus berkata apa! Dan seperti ada aliran darah yang mengalir deras entah kenapa.