5. TERPAKSA, MAU?

1238 Words
“Lo gila, ya! Katanya lo nggak mau nikah? Kenapa lo malah nikah dadakan? Emang lo pikir nikah tuh lagi pentas di panggung, hah?” Omelan Nandita menggelegar melalui telepon, membuat Malika terpaksa menjauhkan ponselnya dari telinga, dan tersenyum cengengesan ke arah meja makan di mana Rivaldi dan putrinya menatapnya aneh. Lagi. “Te-teman saya sepertinya masih ngamuk soal kemarin,” kata Malika menjelaskan. Dia masih tersenyum cengengesan sambil menunjuk ponselnya. Kemarin, gara-gara Drian tiba-tiba keluar kota dengan seorang wanita, terpaksalah dia berkunjung sendirian ke rumah Malika, dan sangat terkejut melihat adanya pesta pernikahan yang digelar dadakan di sana. “Sorry, Nan. Ponsel gue dirampas ibu gue saat itu. Jadi, terpaksalah gue nggak bisa hubungin lo. Bayangin, gue dikerjain tuh bocah. Eh, tiba-tiba pulang malah disuruh nikah. Lo nggak bisa bayangin apa perasaan gue dikit? Nggak kasihan gitu?” terangnya dengan nada setengah memelas dibuat-buat, suaranya sedikit kecil agar tidak didengar oleh dua orang di meja makan. Malika sendiri berdiri cukup jauh di pintu yang mengarah ke kolam renang belakang mansion, berbicara sambil melihat-lihat pemandangan mewah di sana. “Gue bukannya nggak suka lo akhirnya nikah, Malik! Tapi, gue sedih aja gue datang ke acara penting lo kek gitu! Lo bayangin juga gue pake pakaian seadanya sambil nentengin keranjang buah buat orang sakit?! Malu gue, Malik! Malu!!!” pekik Nandita kesal. “Aelah gitu amat, lo! Ngapain malu? Gue yang malu, Njirrr!!! Gue kagak bisa ngundang siapa-siapa pas nikahan. Ntar orang bilang apa ama gue? Untung yang gue nikahin tuh duda beranak satu! Coba kalau masih perjaka? Gue pasti dicap wanita nggak bener! Entah gue sial apa beruntung, nih! Bingung gue!” cerocos Malika enteng. Sebenarnya masih marah dengan keadaan yang menimpanya. Bukankah dia sudah bersumpah tidak akan pernah menikah gara-gara melihat keadaan di sekitarnya? Tiba-tiba saja sudah menjadi istri orang dalam sekejap mata? Gila nggak, tuh? Gila, dong! “Oh, iya! Stop manggil-manggil gue Malik! Apalagi Malih! Panggil gue Nyonya Geovani mulai sekarang! Hahaha!” kelakar Malika enteng. “Lo gila, ya? Stres kali gara-gara nikah dadakan kek gitu. Tapi, hebat juga emak lo tiba-tiba ada ide kek gitu. Udah kek cerita di n****+-n****+, tuh! Keren, juga, sih. Tapi, apes juga di saat yang sama. Ngomong-ngomong, suami lo cakep amat. Lo suka nggak ama dia? Duren, kan? Duda keren. Hahaha!!!” Malika terdiam mendengar pertanyaan itu. Suka? Dia menoleh melihat Rivaldi yang tersenyum ramah dan hangat dengan wajah es bekunya, sibuk menyuapi putri manisnya yang cantik dengan sarapannya. “Nggak tahu gue, Nan. Nggak benci, sih, ama dia. Cuma, gimana, ya? Gue ini nggak percaya ama cinta pandangan pertama. Gue bukan anak remaja lagi, kan?” terang Malika dengan suara lirih. Lagian, dia masih kesal dengannya yang sampai terbawa mimpi buruk berhari-hari gara-gara nyaris ditabrak olehnya. Gimana mau suka ama orang kek gitu? Sesaat, Malika termenung entah memikirkan apa, lalu dia terdiam cukup lama. “Mal! Malik! Malika!!! Lo udah nutup telepon gue, belum?!” teriak Nandita kesal. Diabaikan begitu saja olehnya. “Iya! Iya! Gue denger! Lo kayak supir terminal aje! Oh, ya. Kalau lo emang nggak puas soal kemarin, beberapa minggu lagi katanya bakal ada resepsi resmi buat pernikahan kami berdua. Ntar gue kabarin, deh.” “Hah? Masih ada resepsi lagi? Suami lo beneran kaya, ya? Gue denger-denger kalau dia tuh katanya kaya banget, loh!” Malika terkekeh iseng. “Bukan kaya lagi, Nan. Tajir melintir! Rumahnya guede! Kek di tipi-tipi itu, loh! Yang prianya suka dipanggil tuan muda!” “Aje gile!!! Lo dapet jackpot durian jatuh tuh! Sahabat gue emang keren! Eh, tapi, ya! Kasihan Drian. Dia pasti belum dengar soal pernikahan lo. Tragis amat tuh bocah.” “Kenapa? Lo mau hibur dia? Ya, udah, hibur aja sana. Kesempatan, kan? Kali aja setelah gue nikah dadakan kek gini, malah kalian berdua yang nikah! Hahaha!” Nandita memerah sekujur tubuh mendengarnya. “Sembarangan lo! Jangan suka ngomong gitu! Emang gue suka ama pria colok-colok nggak jelas kek gitu?” ‘Lo emang suka, kan?’ batin Malika cepat, tersenyum-senyum jahil. Di dalam hatinya, Malika sedikit merasa lega karena berhasil juga lepas dari jeratan cinta segitiga mengerikan itu. Sekarang, tergantung Nandita saja yang berjuang untuk mendapatkan cinta playboy kampret itu. *** “Mama, telepon dari siapa?” tanya Kinnan penasaran. Malika masih belum terbiasa mendapat julukan sebagai mama. Baru aja nikah sehari, terus umur masih juga 25 tahun, dan belum pernah hamil. Apalagi begituan, eh, udah punya anak? Apa yang dikatakan oleh Nandita emang benar. Ini gila! Rivaldi memperhatikan Malika yang tampak canggung ingin menjawabnya. “Teman Mama, Sayang. Itu, loh, yang heboh mau selfie sama Mama saat acara mau selesai kemarin.” “Oh! Yang cantik tapi ceroboh itu?” balas Kinnan polos. Rivaldi tiba-tiba saja sedikit tertawa, mengelus puncak kepala putrinya gemas. “Kinnan sayang, tidak boleh ngomong gitu, ya? Nanti kalau tante itu dengar, kan, tidak enak?” “Maaf, Pa!” ujar Kinnan polos, khas anak kecil dengan cara bicara masih sedikit belum lancar. “Mama! Mama! Yuk, makan sama-sama!” lanjut Kinnan lebih polos, tangan kanan melambai-lambai memanggilnya. Mata anak kecil itu cerah berkaca-kaca. Hati Malika luluh entah kenapa. Dia memang tidak akan pernah menyangka akan menjadi istri dari duda beranak satu. Bukankah mengurus anak orang lain itu merepotkan? Tapi, putri Rivaldi sangat manis dan menggemaskan. Juga terlihat pintar dan begitu baik. Siapa pun yang ingin marah kepadanya, pastilah tidak akan sanggup melakukannya. “Duduk sini. Sarapan dulu sebelum kita keluar sama-sama,” terang Rivaldi enteng. “Loh? Kita mau ke mana, Om?” celutuk Malika spontan. “Om?” ulang Kinnan polos, melirik bergantian antara Malika dan ayahnya. Rivaldi memberikan pelototan tajam, dan detik berikutnya berusaha terlihat lembut di depan putrinya. “Sekarang kita telah resmi sebagai suami istri. Jangan panggil Om, panggil saja yang biasa disebutin oleh pengantin baru lainnya. Lagian umur kita hanya beda berapa?” “Om Rivaldi?” celutuk Malika iseng dengan sebelah kening dinaikkan jahil. Tentu saja spontan! Malika tertawa melihat ekspresi cemberut dan muram pria tampan berpakaian piyama itu. “Maaf. Maaf. Bercanda, kok. Iya. Iya. Kalau saya langsung panggil dengan kata suami, kan, agak aneh. Kita baru bertemu kemarin, kan? Saya juga belum mengenal Anda dengan baik. Masih asing dan belum terbiasa. Bagaimana kalau saya panggil sementara dulu dengan sebutan Kak Rivaldi aja?” Rivaldi tampak berpikir, lalu melirik putrinya yang tersenyum-senyum iseng sambil mengedikkan bahunya santai. Mungkin pembicaraa itu agak lucu baginya seperti sebuah permainan kata. “Ok. Kalau begitu, untuk sementara kamu panggil saya saja dengan sebutan itu. Setelah saling mengenal satu sama lain dengan baik, istilah itu akan kita ganti. Saya nggak mau jadi kakak kamu. Paham?” Malika memajukan mulutnya cemberut. “Galak banget jadi orang.” “Apa kamu bilang?” desis Rivaldi menahan kesal. Malika buru-buru duduk di sebelah Kinnan, segera meraih perlindungan dari putrinya. “Sayang, papamu galak juga, ya? Atau cuma sama Mama aja?” ujarnya dengan nada manja yang membujuk, mata berkaca-kaca dengan tatapan memelas. Kinnan tertawa keras melihat kedua orang tersebut yang bertengkar tidak jelas. “Kenapa kamu tertawa, Sayang?” tegur papanya tidak mengerti. “Kinnan akhirnya punya Mama kayak yang lain, Pa! Kinnan senang sekali!” serunya polos dengan cara bicara sedikit terbata dan berantakan. Baik Malika maupun Rivaldi tercengang kaget dalam diam. Malika sudah mendengar sedikit tentang status duda bertahun-tahun yang disandang oleh Rivaldi, tentu saja itu berefek kepada putrinya juga, kan? Jika Malika belum bisa mencintai suaminya, setidaknya sekarang dia sangat menyukai Kinnan. Oh! Putrinya sungguh menggemaskan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD