9. Hanya buku berukuran kecil

1205 Words
“Eh? I-ini bisnis Kak Rivaldi?” tanya Malika tak percaya ketika menjejakkan kaki ke restoran mewah di ibukota. “Kenapa? Kaget punya suami kaya raya?” sindir Rivaldi acuh tak acuh. Malika tidak segera menjawabnya, tapi hanya mendengus geli. ‘Dasar sombong! Baru juga kirim 100 juta ke rekening gue, udah pamer selangit! Tapi, sialan, duitnya bener-bener banyak. Gue brapa kali gajian sampai harus 100 juta kek gitu?’ batin Malika kesal. Sedikit merasa terhina dan senang di saat yang sama. Seharusnya dia tidak boleh marah. Toh, Rivaldi Geovani sekarang adalah suaminya, dan merupakan tanggungjawabnya untuk menafkahinya sebagai kepala rumah tangga. “Aku tinggal sebentar. Kamu tidak apa-apa, kan, sendirian dulu? Ada rekan bisnis yang harus aku temui. Setelah itu, kita makan siang bersama di sini.” Malika mengiyakannya saja, mengangguk cepat. Toh, buat apa meladeninya lagi? Kalau bertengkar terus, hubungan pernikahannya bisa rusak, kan? Malika memutuskan duduk di salah satu meja yang sudah ditawari oleh pelayan yang ditunjuk oleh Rivaldi agar melayaninya. “Tidak usah. Saya minum air putih saja,” kata Malika cepat, tersenyum kikuk. Ketika matanya beredar melihat ke sekitar, semua orang yang hadir di sini berpakaian mahal dan indah. Beda sekali dengannya yang hanya baju kaos dan celana jeans, bukan? Rasanya dia seperti salah kostum saja! Tapi, hei! Ini adalah tempat bisnis suaminya, kan? Enak juga kalau jadi istri dari pria kaya. Hehehe. Malika tersenyum-senyum sendirian dengan muka bodoh, menunggu pelayan tadi membawakan air untuknya. Karena terlalu sibuk berkhayal dan berpikir tidak jelas, tiba-tiba saja dari arah samping, seseorang berteriak dan menyenggol bahunya. “Astaga! Lo nggak punya mata apa?! Jalan lihat-lihat, dong!” maki Malika kaget secara spontan. Belum selesai Malika berkata demikian, dan ingin melihat siapa orang yang menabraknya sampai kakinya diinjak, sebuah tamparan jatuh ke pipinya! Suara ‘PLAK!’ keras membahana di ruangan itu hingga membuat para pengunjung yang hadir mendapat tontotan menarik. “KURANG AJAR! BERANINYA BERTERIAK KEPADAKU! BAHASAMU JUGA SANGAT KOTOR! APA KAMU TIDAK PERNAH DIAJARI OLEH KEDUA ORANG TUAMU? LIHAT PERBUATANMU KEPADA GAUNKU! KAMU INGIN PURA-PURA MENJADI KORBAN, YA? GAUN MAHALKU ROBEK GARA-GARA KAMU! INI TIDAK AKAN TERJADI KALAU SAJA KAKIMU TIDAK BERADA DI TENGAH JALAN!” Wanita itu adalah wanita tua dengan gaya rambul sanggul hitam tinggi yang arogan. Gaun merahnya terlihat mahal dengan bulu-bulu mengitari lehernya. Malika pikir dia itu sangat norak. Ini masih pagi hari, tapi sudah berpakaian begitu untuk makan di restoran? Jangan-jangan, dia itu orang kaya baru? Kesal dengan tamparan yang didapatkannya, Malika juga membalasnya tanpa sempat mengatakan apa pun. Suara ‘PLAK!’ kembali menghiasi suasana panas itu! Wanita tua dan pria yang datang bersamanya kaget luar biasa! “KURANG AJAR! KAMU BERANI MENAMPARKU?! KAMU PIKIR KAMU ITU SIAPA?! KENAPA RESTORAN MAHAL SEPERTI INI MALAH MENDAPAT TAMU KURANG AJAR DAN BERPAKAIAN MISKIN SEPERTI DIA? MANA MANAGER KALIAN?!” bentaknya marah. Tidak terima dipermalukan di depan umum. Malika yang masih merasakan sakit di pipinya segera menyilangkan tangan di dadanya, menatapnya remeh. “Nyonya, apakah Anda hanya bisa menggertak? Saya yakin saya tidak salah. Mungkin Anda yang salah berjalan dengan pakaian heboh seperti itu. Anda ini mau makan di restoran, atau ingin menari di kabaret?!” Semua orang tercengang dengan kalimat berani Malika! Bagi karyawan supermarket sepertinya, Malika sudah biasa menghadapi berbagai pembeli dengan segala tingkah gila mereka. Wanita di depannya bukanlah apa-apa! “KAMU! KAMUUU!! KURANG AJAR!!! CEPAT PANGGILKAN MANAGER TEMPAT INI!!!” teriaknya histeris dengan wajah memerah seolah akan meledak gila. Tidak berapa lama kemudian, dari arah kantor restoran mewah itu, Rivaldi datang bersama manager jaga. “Ma-maaf. Ada apa ini, Nyonya?” sapa manager itu terlebih dahulu. Keringat dingin, karena takut Rivaldi marah dengan managemennya saat ini. “Dia! Dia itu kurang ajar! Bagaimana bisa kalian menerima tamu seperti itu? Apakah level restoran kalian sudah turun ke got? Beraninya menghina dan meremehkanku!” Rivaldi tidak langsung menimpalinya, tapi melirik ke arah Malika yang tampak cuek dan merasa tidak bersalah. Malahan ekspresinya terlihat main-main. Pria dingin itu tidak memberikan ekspresi apa pun, dan terus mengamati keadaan. Wanita tua itu lalu menjelaskan masalah yang terjadi, tapi Malika jelas menolak dan membantah tuduhannya. “Aku sudah bilang kalau aku tidak bersalah sama sekali! Kalau masalah bahasaku yang kasar, itu spontan keluar dari mulut, kan? Bagaimana bisa aku menghentikannya? Memangnya bahasa gaul itu sangat menjijikkan? Tidak, kan?” protes Malika sebal, melotot ke arah Rivaldi, mencoba menarik simpati dan mendapat dukungannya. Sayangnya, Rivaldi itu adalah gunung es abadi. Dia bahkan tidak peduli istrinya dihina dan dicaci maki! Bagaimana bisa dia membiarkan wanita asing terus menghinanya? Malika mengepalkan kedua tangan kuat-kuat, merapatkan bibir marah! Wuah! Luar biasa sekali pria ini! Setelah menikah dengannya karena rasa bersalah kepada mendiang ibunya, lalu merasa hebat setelah memberi uang 100 juta, dia berpikir sudah bisa lepas tangan? Malika geram karena merasa dipermainkan dan hanya dianggap sebagai alat! Kalau saja bukan ibunya yang mendesaknya untuk menikah, mana sudi dia menjadi istri dari pria tidak punya hati seperti itu? Tidak! Dia itu pasti punya hati, tapi semuanya diberikan kepada putri tercintanya! Berengsek! Singkirkan semua ide bersikap menjadi istri yang baik! Mulai sekarang, dia akan menaikkan bendera perang di antara mereka berdua! Memangnya kenapa kalau bercerai? Bukankah bagus? Akhirnya, Malika mengerti kenapa ada wanita yang ingin bercerai dari suaminya. Ternyata, begini rasanya direndahkan dan tak dianggap?! “Nah! Aku mau menuntut wanita ini! Keluarga macam apa yang mendidik anaknya seperti itu? Benar-benar tidak tahu malu!” seru wanita tua itu sambil menunjuk Malika galak. Malika merasa dadanya panas naik turun. Melirik ke arah Rivaldi yang hanya mengangguk dan mendengarkan dengan setia semua keluhan wanita tua tersebut. Hebat! Hebat sekali! Besok dia akan melayangkan gugatan cerai kepadanya! Buku nikah sialan! Apanya yang hebat dari buku kecil seperti itu? Lebih baik dia membuangnya ke luat, dan mendapatkan kebebasannya seperti dulu! “Tolong maafkan sekali lagi atas ketidaknyaman ini, Nyonya. Kami berjanji lain kali tidak akan terjadi lagi,” jelas manager pria di samping Rivaldi. Sejak tadi dia terus merendahkan diri dan meminta maaf. Seolah-olah dia adalah pelayan rendahan di hadapan ratu tirani yang sedang berkuasa. “Huh! Cepat panggil polisi! Aku mau dia masuk ke penjara! Kamu tahu berapa harga gaun yang dia robek ini? 100 juta!” ucapnya sombong, menaikkan dagunya arogan. “Pakaian jelek begitu 100 juta? Siapa yang sedang ditipunya? Norak begitu,” gumam Malika tanpa sadar. Matanya menatap jijik gaun merah berbulu dan glamor itu. “Apa katamu? Kamu tidak tahu apa-apa! Dasar miskin! Bagaimana kamu bisa masuk ke sini? Mengemis atau menyuap pelayan, hah?” katanya lagi dengan suara tinggi merendahkan Malika. Malika diam saja, tapi matanya merah oleh kemarahan dan rasa kecewa. Dia melirik kesal ke arah Rivaldi yang diam saja sejak tadi. Benar-benar tidak membantunya! Untuk apa mengungkapkan siapa jati dirinya kalau pria itu sendiri tidak mau membuka suara? Kesal karena masalah sudah sejauh ini, Malika tetap saja kekeuh kalau dia tidak bersalah! Memang seharusnya begitu bukan? “Aku tidak bersalah! Titik! Kalau mau membawa ini ke pengadilan, aku tidak takut! Kita lihat siapa yang akan menang! Aku, ataukah wanita tua tukang bohong!” “KAMU! KURANG AJAAAR!!!” jerit wanita tua itu, lalu segera meraih gelas di atas meja dan menyiramnya ke wajah Malika! Semua orang tercengang sekali lagi! Rivaldi bahkan terbelalak kaget karena Malika tampak tidak ada niat untuk melawannya balik. Apakah dia menyerah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD