Sangat disayangkan, awalnya Baek Hoon mengajak Yujin untuk bertemu sang ibu, tapi beliau sedang tak ada, dan lagi-lagi hanya ada ayahnya di rumah.
Yujin memang sudah mengenal Tuan Byun, bahkan sempat merasa bangga karena kehadirannya diterima dengan baik. Namun, hari ini Yujin menemukan satu hal. Sebuah kebaikan yang tak luput dari dusta, atau mungkin perkara?
Ramah di depan, mengerikan di belakang. Atau baik ketika berhadapan, namun jahat saat sudah tak lagi bertatapan. Itulah definisi Tuan Byun yang Yujin simpulkan hari ini. Hingga menimbulkan keributan, sebuah benda berbahan dasar batu sukses Yujin pecahkan.
“Harganya lebih dari satu juta dolar." Itulah kalimat yang Tuan Byun lontarkan. Yujin mengerucut, merasa takut dan kerdil sekali. Baek Hoon yang datang menghampiri pun kini menggenggam tangan Yujin dan berbisik, “Tidak apa-apa.”
Tuan Byun mendengarnya. "Ibumu akan marah. Salah satu barang kesayangannya yang diambil dari zaman Pithecanthropus pecah dan tak akan bisa kembali mulus seperti semula.”
Yujin membeku. Telapaknya berkeringat, merasa tak mampu untuk dengar lebih lanjut lagi soal barang kesayangan Nyonya Byun.
“Jangan berlebihan, Ayah. Itu hanya batu tipis yang mudah pecah.” Baek Hoon alihkan tatapannya kepada Yujin. "Jangan dipikirkan, ibuku tak akan marah.”
Meski begitu, tetap saja Yujin merasa bersalah dan merasa amat sangat bersalah karena sudah berani mencintai anaknya. Mungkin, mencintai Byun Baek Hoon adalah satu dari kesalahan terbesarnya.
“Maafkan aku.” Yujin menunduk, membungkuk dan memohon maaf kepada Tuan Byun. Padahal, Yujin bahkan berdiri di samping ayahnya Baek Hoon, tapi karena tidak bisa melihat, Yujin membungkuk seolah Tuan Byun ada di depan tubuhnya.
Melihat itu, Tuan Byun tersenyum miris. Dia merasa kasihan pada gadis muda ini, namun tetap tak merubah apa-apa tentang pilihan putranya, Tuan Byun tetap menentang. Sekalipun dia menyukai Yujin, tapi bukan berarti dia merestui.
“Aku hanya bercanda,” kekeh Tuan Byun. Dia menepuk pelan pundak Yujin yang terasa semakin menegang. "Tidak apa-apa, jangan dipikirkan.”
Barulah Yujin embuskan napas tenang. Sedikit lebih baik.
“Ayo, aku antar kau pulang." Dan pertemuan mereka berakhir di jam malam. Baek Hoon menuntun Yujin menuju pekarangan, membantunya untuk duduk nyaman di kursi penumpang, lalu Tuan Byun menggiring sampai di ruang depan.
***
Chan Yul sudah pulang. Kini Yerin sendirian, di atas ranjang Yerin rebahan, tatapannya menerawang dengan telapak tangan yang mengusap sayang perutnya. Di dalam sana ada satu kehidupan karena ulah Baek Hoon. Tunangan dari kembarannya berhasil merusak rencana masa depan yang telah Yerin susun.
Deru mesin mobil terdengar nyaring, Yerin menoleh pada arah jendela yang bertepatan dengan pekarangan.
Yujin sudah datang. Haruskah dia keluar dan menyambut kedatangannya? Tapi untuk apa? Pasti akan ada Baek Hoon juga dan melihat wajah pria Byun itu adalah satu hal yang paling Yerin hindari.
Namun, tanpa sadar di sinilah Yerin berdiri, dia keluar dari kamar, lalu terpaku dalam balutan bungkam, tubuhnya menegang tatkala kedua matanya menyaksikan dua anak manusia yang terlihat saling cinta. Adalah ciuman perpisahan, atau kecupan sayang di kening, dan memang berakhir di bibir. Yaitu Yujin dan Baek Hoon pelakunya.
Yerin terdiam, merasakan pil pahit dalam hidupnya.
“Aku mencintaimu, Baek. Tapi tidak bisakah kita bersama? Kenapa kondisiku selalu jadi penghalang?”
Yerin mendengar, Yujin sedang mengadu.
“Karena mencintai selalu punya masalah tersendiri dari faktor eksternal, Yujin. Tapi bagiku, restu orang tua bukanlah hal yang mampu memisahkan kita. Percayalah, aku akan membuat ayah dan ibu bersedia menerimamu.”
Oh, rupanya Baek Hoon sedang menenangkan. Yerin melihat dari arah sekat di dapur yang menghadap langsung pada ruang tamu. Mereka sedang duduk berdekatan, telapak Baek Hoon yang merangkum wajah Yujin dengan perasaan. Tatapannya pun begitu penuh cinta.
Haruskah Yerin rusakkan?
“Aku merasa semesta menentang hubungan kita, seolah dunia menolaknya. Baek Hoon, apa sebaiknya kita akhiri saja?”
Lagi-lagi Yerin mendengar Yujin yang nampak putus asa, pastilah matanya berair karena Yerin pun melihat tangan Baek Hoon yang begitu telaten menghapuskan air mata Yujin. Yerin tercenung, dia bertanya-tanya: ketika dirinya yang menangis, maukah Baek Hoon menghapusnya juga?
“Demi Tuhan, aku mencintaimu. Ini hanya persoalan restu orang tua. Sekalipun ada orang lain yang mengaku tengah mengandung anakku, aku tetap akan memilihmu, Kim Yujin.”
Tepat ketika itu, Yerin mematung. Sebab kini pandangannya terbalas. Lantunan kata Baek Hoon terlontar beriringan dengan jatuhnya iris pekat Baek Hoon yang juga tertuju pada Yerin. Keduanya bersirobok penuh arti.
Ketahuilah, sejak tadi hati Yerin mengerut sakit. Rasa sakitnya tidak terdefinisi. Yerin tidak mencintai, tapi melihat Baek Hoon dan mendengar Baek Hoon berkata seperti itu, Yerin merasa hancur.
“Baek Hoon?” vokal Yujin menyentak atmosfer mengerikan di antara mereka. Baek Hoon mengerjap, masih menatap lekat sosok lain yang mirip dengan kekasihnya, adalah Yerin yang berdiri dengan lengan memegang perutnya sendiri. Oh, ya, anaknya ada di sana.
“Baek Hoon?” sekali lagi Yujin berujar, "ada apa?”
Seolah runtuh, suasana romantis yang Baek Hoon ciptakan hilang tak bersisa. Semua fokus Baek Hoon tertuju kepada wanita yang sedang mengandung anaknya. Dan tadi, sebelumnya Baek Hoon bilang apa?
Kenapa kini tenggorokannya merasa sulit untuk berfungsi? Baek Hoon tercekat, napasnya berembus menyakitkan. Hei! Dia akan menjadi seorang ayah, tapi anak itu bukan dari rahim wanitanya, bukan hasil dari percintaanya dengan Yujin, anak itu muncul karena kesalahan. Bukan karena cinta dan bukan yang diharapkan.
Untuk itu Baek Hoon katakan, “Tidak ada yang bisa menghalangi hubungan kita, Yujin. Dan tak akan pernah ada manusia yang memanggilku Ayah selain anak kita.”
Berkata dengan tatapan yang menghujam lensa Yerin. Tapi tubuhnya beranjak memeluk Yujin. Baek Hoon berbisik, “Aku mencintaimu." Begitu syahdu dan Baek Hoon pastikan sampai di telinga Yerin meski perkataannya bukan untuk wanita hamil itu. “Yujin, aku sangat mencintaimu.”
Adalah akhir dari reruntuhan keping hati Yerin, seolah menegaskan jika kembang cinta yang semula kuncup kini layu tanpa ada kesempatan untuk bermekaran. Yerin berbalik, sudah cukup dia menyaksikan serial acara tentang persentase cinta antara ayah dari janinnya dengan adik kembarnya.
Cukup! Yerin berteriak dalam hatinya. Tidakkah hati yang remuk saja sudah cukup? Kenapa air mata malah jatuh dan mempertegas segalanya?
Seolah Tuhan merampas indera penciuman dari seorang ahli parfum. Seakan Tuhan mengambil indera perasa dari lidah seorang koki, seakan tak boleh bahagia, bagai ahli bunga yang buta warna. Itulah Yerin yang mati rasa karena satu pria. Byun Baek Hoon berhasil menghancurkannya hingga titik yang paling dalam.
Yerin kehilangan arti hidupnya jika saja dia lupa bahwa dirinya tengah mempertahankan bibit cinta yang tumbuh untuk janinnya, sebab bunga cinta pertama Yerin telah mati. Haruskah dia realisasikan kehancuran untuk mereka? Untuk Baek Hoon dan lupakan status Yujin yang sebagai adik kandungnya.
“Aku bukan dia, tapi semesta seolah mengujiku bahwa aku adalah dirinya yang bisa memaafkan dengan mudah setelah disakiti sedemikian rupa.” Gumaman Yerin sebagai kalimat terakhir penghantar tidurnya.
***