PART 5

1751 Words
"Mak, di luar ada tamu yang mau ketemu sama Emak. Katanya sih orang tuanya Denis Prasetyo, Mak. Manajer yang kurang ajar itu," ujar Jenny dengan suara sedikit berbisik, "Dia datang mau pengacaranya juga, Mak. Bagaimana ini? Apa Jejen telpon Bang Jimmy suruh datang ke sini aja ya, Mak? " ditambahkan lalu "Nggak usah. Biar Emak aja yang hadapi orang gila sama Bapaknya itu! Emak yakin mereka datang ke sini karena nggak terima kembali masuk penjara. Jadi kamu tolong jagain Ipah, soalnya dia baru aja tidur tuh. Bisa 'kan, Jen?" sahut Mak Rapeah bertanya, dan Jenny pun segera menganggukkan diterima. Sepersekian detik kemudian Mak Rapeah sudah menuju ke pintu keluar kamar rawat inap tersebut, lalu hilang di balik sekat tembok. "Ya, Allah. Semoga aja nggak terjadi apa-apa lagi. Amin," batin Jenny yang sejujurnya khawatir dengan kedatangan dua orang itu. Sayangnya apa yang dipikirkan oleh Jenny sangat menentang dengan pemikiran Mak Rapeah, karena sekarang ia membiarkan amarah dalam wanita mempertimbangkan baya yang sekarang semakin terkumpul, "Mau apa kalian datang kemari ?! Apa yang baru saja dibuka? pecah saat berada ayah dan percobaan dari Denis Prasetyo. "Maaf, Bu. Saya datang ke sini mau bertemu dengan--" "Iya! Aku ini Ibu yang melahirkan Saripah! Apa situ kurang yakin kalau aku ini Ibunya ?!" kesal Rapeah begitu berapi-api. Terdengar jelas Bimo Prasetyo membuang napas kasarnya di telinga Firman Alatas yang ada di dekat pria itu, sehingga dengan cepat ia mengambil alih keadaan. "Maaf, Bu. Kami tidak bermaksud apa pun tadi. Kami ikut prihatin atas sikap Pak Denis yang kurang terkontrol pada anak Ibu," katanya berusaha setenang mungkin, "Maka kami datang untuk mencari solusi terbaik agar tidak terjadi permasalah pada dua keluarga kita ini. " "Nggak ada kata damai untuk keluarga Anda! Saya siap mengambil jalur hukum apa pun, demi anak saya! namun Mak Rapeah terus saja meninggikan suaranya. "Tenang dulu, Bu. Kita bisa berbicara dengan baik-baik tanpa harus berteriak seperti orang kurang terpelajar seperti ini, kan ?!" katakanlah Bimo Prasetyo yang tidak sabar dengan hasil kerja pengacaranya, "Kalau Ibu mau meminta ganti rugi? Saya akan berikan berapa pun yang Ibu mau asalkan nanti segera dicabut! Jadi Ibu mau berapa? 100 juta, 200 juta, 300 juta?" Katakan saja. Jika perlu saya akan membayarnya dengan uang tunai, jika Ibu tidak tahu bagaimana cara mencairkan selembar cek! "Dan mengeluarkan sikap arogan itu di sana, padahal Firman Alatas sudah menyikut lengannya lima detik yang lalu. Tentu saja Mak Rapeah benar-benar kaget dengan penuturan ayah kandung Denis Prasetyo itu, sehingga ia kembali mengeluarkan kekesalannya. "Pergi dari sini! Aku nggak bakalan mau mencabut gugatan di kantor polisi itu! Apa kalian pikir aku ini nggak punya harga diri sampai harus menukar Saripah dengan uang ?! Heh, Dasar sinting!" kesal Mak Rapeah dengan jari telunjuknya yang ikut beraksi. Ia menunjuk wajah Bimo Prasetyo yang berada di tempatnya, hingga membuat pria itu berdiri dari posisi duduknya. "Memangnya Ibu tau kejadian ini seperti apa?!" tegas Bimo semakin memperkeruh keadaan, "Denis itu lebih dulu digoda sama anak Ibu! Dia kasih harapan ke anak saya tapi pas diminta jadi pacar, anak saya ditolak mentah-mentah dan anak Ibu malah memilih dekat dengan tukar sopir online! Wajar dong kejadiannya jadi begini! Siapa juga yang nggak sakit hati. Saya saja sampai bikin hamil Istri saya gara-gara masih mau melirik laki-laki lain waktu itu, apalagi Denis yang ditolak mentah-mentah? Jadi jangan salahkan anak saya dong! Anak itu juga salah disini. Jelas?!" dan kembali melemparkan manuvernya. Mak Rapeah yang mendengarkan penjelasan tajam dari ayah Denis Prasetyo tiba-tiba saja diam tak bergeming, karena ia sendiri bingung harus menjawab apa di sana. Tak ada satu penjelasan apa pun yang keluar dari mulut Saripah tentang hubungannya dengan sang manager di tempatnya bekerja dan kegalauan pun terjadi. "Kenapa diam, Bu? Mau bilang saya berbohong?" suara Bimo Prasetyo kembali terdengar, "Ibu kalau tidak percaya? Tanyakan saja langsung ke anak Ibu bagaimana kejadian ini bisa bermula. Anak saya itu nama lengkapnya Denis Prasetyo. Dia bekerja sebagai manager di tempat anak Ibu bekerja, dan beberapa bulan ini sudah gencar melakukan pendekatan. Kalau Ibu nggak masih kurang yakin, coba deh tanya aja ke teman-temannya di Mall sana. Benar kan, Pak Firman?" "Iya, Bu. Apa yang dikatakan klien saya ini benar adanya. Ibu bisa cek langsung ke tempat kerja anak Ibu, biar tidak terjadi kesalahpahaman yang berlarut-larut," imbuh Firman mencoba peruntungannya, "Kejadian ini murni karena masalah percintaan dan hati, Bu. Anak klien saya ini sangat mencintai putri Ibu, tetapi ada laki-laki lain yang mencoba merebut wanitanya. Bukan semata-mata karena ingin menyalurkan nafsu belaka, Bu. Sama 'kan kejadiannya kayak Anak Ibu yang namanya Jimmy Waluyo itu? Dia juga nikahin Istrinya karena sudah terlanjur berbuat m***m. Bukan begitu, Bu?" tambah sang pengacara, membuat bola mata Mak Rapeah hampir terpelocok keluar. "Anda jangan sok tahu, Pak Tua! Anak saya itu melakukannya atas dasar suka sama suka! Bukan pemerkosaan seperti begini!" amuk Mak Rapeah, melipat tangannya di d**a. "Ck! Sudahlah, Bu. Saya tahu kok siapa itu Jimmy Waluyo. Soalnya saya bukan sekedar pengacara ecek-ecek, Bu. Jadi nggak ada gunanya juga Ibu marah-marah terus sama saya atau klien saya begini. Bikin sakit kepala, Bu. Ada baiknya kita cari solusi, karena ini adalah aib yang sudah sepatutnya kita tutupi. Bukan malah semakin kita lebarkan," sahut Firman Alatas menatap sekilas ke arah Bimo Prasetyo yang mengeringkan sebelah matanya, "Ada baiknya hubungan mereka dipersatukan saja, karena Pak Denis ini sangat mencintai anak Ibu dan siap bertanggung jawab atas segala kebutuhan lahir dan batin Nona Saripah. Apa Ibu mau anak Ibu menikah dengan laki-laki lain dan dianggap barang bekas saat tahu kejadian ini pernah ada dalam hidupnya? Tolong pikirkan dengan kepala dinginlah, Bu. Biar semuanya tidak runyam seperti sekarang. Mereka menikah dan hidup bahagia, karena rasa cinta itu bisa timbul akibat seringnya mereka bersama. Benar 'kan, Pak Bimo?" "Oh itu jelas benar sekali, Pak Firman. Apalagi saya ini orang Jogja asli. Ada pepatah jawa yang bilang 'witing tresno jalaran soko kulino, Pak. Artinya itu cinta bisa tumbuh seiring dengan berjalannya waktu," sahut Bimo Prasetyo yang sudah menurunkan intonasi suaranya, "Jadi ya pasti Denis bisa membahagiakan anaknya Ibu, karena memang saya ini hidupnya nggak susah. Anak Ibu jelas akan jadi wanita paling beruntung dan cucu-cucu Ibu nanti juga bisa sekolah dan hidup enak. Orang anak saya ini cuma satu saja kok. Mau saya kasih ke siapa semua harta, kalau saya sudah mati? Memangnya mau saya bawa mati? Iya 'kan, Pak Firman?" dan mulai membuka obrolan lentur tanpa perang urat saraf lagi. Penjelasan panjang lebar dari kedua pria tua di depannya, membuat Mak Rapeah menjadi semakin bertambah gamang. Karena sebagai orang tua tunggal, ia sangat paham bagaimana susahnya mencari rupiah untuk menyekolahkan Jimmy dan juga Saripah. "Bagaimana, Bu? Apa pendapat Ibu tentang perkataan Pak Bimo Prasetyo ini? Beliau ini seorang dulunya adalah seorang arsitek, Bu. Tapi banting stir jadi kontraktor sejak menikah, karena pekerjaan itu lebih menjanjikan untuk menghidupi kelurga kecilnya," ujar Firman Alatas menjelaskan, "Sekarang Pak Bimo Prasetyo ini sudah punya banyak kantor di beberapa kota besar, Bu. Hanya saja Pak Denis malah memilih kerja jadi manager di Mall, karena ingin membuktikan sama semua orang kalau dia bisa cari uang sendiri tanpa bantuan Ayahnya ini. Berarti jelas Pak Denis itu orangnya bertangung jawab kan, Bu?" dan lagi-lagi Mak Rapeah hanya bisa diam, seperti seseorang yang sudah terkena ilmu pelet dari dukun sakti mandraguna. "Dari kemarin itu anak saya sudah mau ikut ke sini, Bu. Tapi kan tahu sendiri dia lagi di tahan sama polisi. Makanya sekarang kami cuma bisa datang berdua. Coba kalau nggak ditahan? Pastilah dia sudah berusaha meyakinkan Saripah biar mau menikah secepatnya. Tadi saja dia bilang kayak begitu," celetuk Bimo Prasetyo, "Jadi bagaimana ini enaknya, Bu. Mendingan kita jadi besan, biar nggak malu dengan keluarga besar Ibu. Betul 'kan, Pak?" yang sudah seperti Ibu-ibu penjual kosmetik online, ketika berada di depan khalayak ramai. Dengan berharap-harap cemas, Bimo Prasetyo dan Firman Alatas menunggu jawaban dari mulut ibu kandung Saripah Waluyo. Namun wanita paruh baya itu lebih memilih membalikkan tubuh, lalu pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun. "Lho, Bu? Mau ke mana? Jadi ini bagai--" "Sudah, Pak Firman. Saya sudah dapat jawabannya," cegah Bimo Prasetyo yang menyanggah ocehan pengacaranya, "Nanti biar istri saya datang lagi ke sini untuk bicara dari hati ke hati dengan Ibunya Saripah. Karena mungkin mereka akan lebih terbuka dibandingkan kita yang kaum pria ini, Pak." "Oh, ya sudah kalau begitu. Saya sih ikut aja apa kata Bapak," dan sang pengacara pun menganggukan kepala. Alhasil keduanya pun berlalu dari depan kamar rawat tersebut, dan meninggalkan sejuta harapan agar kasus yang menimpa Denis Prasetyo tak berujung pelik serta berkepanjangan. Sementara dari balik pintu kamar rawat inap, kepala Mak Rapeah kembali muncul dengan badan yang ikut ia majukan ke depan. Sebab rasa penasaran ternyata masih bergelayut di dalam dirinya. "Apa benar laki-laki yang perkosa anak gue itu anaknya orang kaya raya?" batin Mak Rapeah bertanya-tanya, "Masa sih dia cinta mati sama Ipah? Perasaan selama ini gue nggak pernah deh dengar cerita tentang itu orang. Yang ada tiap malam si Januar melulu yang telepon sampai Ipah ketiduran. Apa benaran tuh anak kejar-kejar Ipah di tempat kerjanya? Kok gue jadi nggak perca--" "Mak, Ipah udah bangun. Dia mau ngomong tuh sama Emak. Kok malah di sini? Mak ngintip apaan?" celetuk Jenny mengagetkan Mak Rapeah. "Eh elu, Jen. Nggak kenapa-napa. Emak cuma iseng aja tadi. Ya udah, ayo masuk?" sahut Mak Rapeah berjalan lebih dulu. "Gue coba deh tanya sama Ipah soal laki-laki itu. Siapa tadi namanya? Den..Denis Prasetyo, kan?" batin Mak Rapeah bermonog, "Keren juga nama itu orang. Apa si Ipah mau nikah sama dia? 'Kan biar keluarga besar Waluyo nggak marah atau mojok-mojokin gue kayak biasanya lagi. Capek banget gue selama hidup makan hati, karena Bapaknya Ipah meninggalnya cepet kayak gitu. Sampe gue dibanding-bandingin terus sama almarhum Ibunya si Jimmy. Kesel juga 'kan? Untung gue sabar sama si Jimmy anak baik. Coba kalau dia hatinya busuk? Nggak bakalan keluarga gue urusin itu anak sampai sekarang. Iya, kan?" sampai tak sadar jika ia sudah berada di hadapan sang putri. "Mak, apa yang mereka ngomong tadi?" ujar Saripah terdengar sangat lirih. "Eh? Apaan?" dan Mak Rapeah sedikit terkejut. Ia cepat-cepat mengambil posisi duduk di kursi yang berada dekat dengan brangkar besi Saripah, lalu memandangi raut wajah pucat sang putri. Saripah dengan bahasa isyarat meminta telapak tangan sang ibu untuk ia genggam, dan Mak Rapeah segera menyodorkan kedua lengannya. Keadaan masih saja hening pasca sepuluh detik Mak Rapeah berada di sana, namun Saripah akhirnya mau berbicara, "Ip..ipah mau ngomong sama Emak," meski suaranya masih sangat terdengar lirih dan terbata. Maka acara selanjutnya tentu saja adalah kisah berbagi rasa dari hati ke hati dan penuh kebaruan, oleh seorang anak perempuan yang sedang dirundung duka nestapa. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD