DUA

2243 Words
DUA   Terdengar langkah tergesa di lorong gedung bertingkat lima yang lumayan gelap ini. Amira, si pemilik kaki dengan langkah tergesa itu berdecak dan sesekali melirik ponselnya. Sudah belasan kali Beno meneleponnya, namun cewek itu tidak menjawab. Sengaja, tentu saja. Dia sedang malas mendengarkan ocehan Beno mengenai keterlambatannya berkumpul di lembaga untuk rapat sore ini. Yang dimaksud sore oleh Beno adalah dua jam yang lalu, sekitar pukul empat sore, dan bukannya saat ini, di mana jarum jam mengarah pada angka enam. Sudah maghrib. Dua jam Amira telat menghadiri rapat organisasi. Dan seingat Amira, Beno tidak akan pernah mau memulai rapat kalau semua anggotanya belum hadir.             “Mati gue! Mati gue!” desis Amira pada dirinya sendiri. Bombardir di ponselnya sudah berhenti sejak sepuluh menit yang lalu. Ketika cewek itu sampai di depan lembaga, napasnya sudah benar-benar tidak karuan. Cewek itu berlari dari lantai tiga kampus ini agar bisa cepat sampai di lantai satu. Di lembaga organisasinya. Baru saja tangan kanan Amira terulur untuk membuka pintu lembaga di depannya, pintu itu telah lebih dulu terbuka dari dalam.             Dan, sosok yang muncul tepat di hadapan Amira adalah sosok terakhir yang ingin dijumpainya di dunia ini.             “Punya jam tangan, kan? Bisa liat jam, kan?” tanya Elang dengan nada dinginnya. Sedingin tatapan mata cowok itu. Di tempatnya, Amira hanya berdecak sambil bersedekap. Menentang tatapan dingin yang dilayangkan oleh Elang padanya.             “Mana yang lain?” tanya cewek itu datar.             “Menurut lo?” Elang balas bertanya sambil mendengus. Detik berikutnya, cowok itu berjalan melewati Amira sambil melirik sinis cewek itu sekilas. “Dasar cewek menyebalkan.”             Amira yang masih sempat mendengar ucapan Elang itu langsung melotot dan memutar tubuh untuk menatap cowok tersebut. Hanya punggung tegap Elang lah yang bisa dilihat dan dipelototi oleh Amira, karena cowok itu sudah menghilang dibalik koridor tanpa ada niat untuk menoleh ke arah Amira lagi.             “Dia bilang gue menyebalkan?!” seru Amira jengkel. “Nggak kebalik, tuh?!”             Sadar bahwa tidak ada gunanya dia marah-marah, Amira meraih gagang pintu dan masuk ke dalam lembaga. Di sana kosong. Yang tersisa hanyalah ransel berwarna biru tua entah milik siapa. Amira menghela napas lesu dan duduk di salah satu kursi. Keningnya diletakkan di atas meja sambil menatap kedua sepatunya. Hari ini benar-benar sial. Sudah telat datang ke kampus, menyebabkan rapat panitia gagal, juga harus bertemu dan berurusan dengan Elang. Mungkin setelah pulang dari sini, Amira harus mandi kembang tujuh rupa untuk mengusir kesialannya.             “Besok ada rapat. Jam lima sore dan nggak boleh telat. Beruntung Beno kenal lo dengan baik dan dia cukup mentolerir keterlambatan lo hari ini.”             Suara dingin itu membuat Amira mengangkat kepalanya. Di depannya, Elang sedang duduk tegak sambil meminum softdrink. Cowok itu mengangkat satu alisnya dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi seraya melipat kedua tangan di depan d**a.             “Kenapa?”             “Bisa nggak, lo ngomong nggak usah sok dingin begitu?” tanya Amira kesal. “Ngomong dengan nada biasa aja bisa, kan?”             “Kalau gue nggak bisa?” Elang menantang balik. “Apa yang mau lo lakuin, Amira Alanis?”             Amira hanya diam dan menatap tajam ke arah Elang. Cowok itu sama sekali tidak memiliki ekspresi apa pun di wajahnya. Amira jadi sangsi dengan pengakuan Siska tahun lalu, saat cewek berambut pendek itu bilang bahwa Elang sudah memiliki pacar. Berani taruhan, pacar Elang itu pasti mengalami tekanan batin menjalin hubungan dengan cowok sadis itu.             “Apa?” tanya Elang ketika dia mendapati Amira menatapnya seolah-olah ingin membunuhnya detik itu juga. Bukannya takut, Elang justru mendapati Amira mencibir dan melepas tas selempangnya. Dia mengeluarkan sebungkus roti dari dalam tas dan mulai membuka plastiknya, saat cewek itu sadar bahwa di dalam ruangan ini hanya ada dirinya dan Elang. Cowok itu sepertinya tidak ambil pusing dengan kenyataan tersebut dan hanya fokus pada ponsel di tangannya saja.             Akhirnya, Amira mengalah. Daripada dia makan dalam keadaan tidak tenang dan tidak nyaman karena berduaan saja dengan Elang, lebih baik dia yang pergi dari ruangan ini. Cewek itu pun bangkit dari kursinya dan memakai kembali tas selempangnya. Diliriknya sekilas Elang yang sama sekali tidak tertarik untuk menatap ke arahnya.             “Gue duluan,” pamit Amira. Walau bagaimanapun, sekesal apa pun dia pada Elang, orang tuanya mengajarkan untuk selalu bersikap sopan pada semua orang. Tak peduli seberapa besar menyebalkannya orang tersebut di mata Amira. Meskipun sudah pamit, Elang masih saja tidak menghiraukan Amira, membuat cewek itu mati-matian menahan mulutnya yang sudah gatal itu agar tidak kelepasan memaki Elang. “Tolong kunci lembaga ini kalau lo mau pulang. Ini kuncinya.” Sebagai orang kepercayaan Beno, Amira memang diserahkan kunci duplikat lembaga ini oleh kakak tingkatnya itu. Amira meletakkan kunci itu di atas meja di hadapan Elang. Lalu, seolah sedang bertarung dengan batinnya sendiri dan terdiam cukup lama, Amira akhirnya menaruh sebungkus roti yang tadi sempat dibukanya namun belum dimakan. Barulah Elang melirik roti tersebut dan Amira sekilas.             “Buat lo.” Amira berdeham dan memperbaiki posisi tas selempangnya. Ditatapnya datar Elang yang kini kembali fokus pada ponselnya. “Buat nemenin softdrink yang lo minum. Siapa tau bisa ngeganjel perut lo. Gue pamit.”             Sepeninggal Amira, Elang menaruh ponselnya di atas meja dan menatap roti yang diberikan Amira barusan. Cowok itu menarik napas panjang dan mengetuk jari telunjuknya di atas meja. Kemudian, kepala Elang menoleh ke arah pintu. Sebenarnya dia juga tidak ingin bersikap dingin kepada cewek itu, tapi, dia terpaksa. Kejadian di masa lalu membuatnya tidak bisa lagi menatap lawan jenis dengan prasangka baik.             “Maaf.” Elang menghembuskan napas berat dan membuang roti tersebut ke tempat sampah terdekat. ### Pukul delapan malam, Elang sampai di rumahnya. Dia hanya tinggal sendirian di rumah sederhana itu. Sambil menarik napas panjang dan mengusap wajah, Elang menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Dia lapar tetapi malas untuk mencari makan. Saat dalam perjalanan pulang pun, yang diinginkan oleh Elang adalah cepat sampai di rumah agar dia bisa beristirahat.             Suara ketukan pintu membuat Elang menoleh. Cowok itu mengerang pelan dan bangkit berdiri. Sudah malam seperti ini dan dia kedatangan tamu? Benar-benar menyebalkan. Padahal, cowok itu baru saja membayangkan kasurnya yang empuk dan bersiap-siap berpetualang ke alam mimpi.             “Hai.”             Sapaan lembut dan ceria itu membuat rasa lelah dan penat yang dialami oleh Elang sirna. Senyuman yang menyambutnya begitu dia membuka pintu rumah pun langsung menyejukkan hati Elang. Senyuman yang sangat menular, karena Elang sudah ikut tersenyum sekarang. Cowok itu bergeser ke samping untuk mempersilahkan tamunya masuk dan membiarkan pintu rumahnya tetap terbuka agar tidak mengundang kecurigaan tetangganya.             Tasya. Cewek itulah yang datang berkunjung.             “Aku bawain kamu makan malam. Aku tau, kamu pasti lagi kelaparan sekarang dan belum makan.” Cewek dengan mata bulat besar dan berwarna hitam itu meletakkan rantang yang dibawanya ke atas meja kemudian mulai membukanya. Rambutnya saat ini dikepang satu ke belakang dan poninya dijepit menyamping. Bibir Tasya yang mengembang besar semakin menyunggingkan senyum.             Sadar diperhatikan, Tasya segera menghentikan aktivitasnya. Kedua mata bulatnya mengerjap dan keningnya mengerut. Dia mengikuti gerakan Elang yang kini berpindah tempat duduk menjadi di sampingnya melalui ekor matanya. Cowok itu kemudian mengusap rambut Tasya dengan penuh perasaan.             “Makasih.”             “Makasih? Untuk?” tanya Tasya. Cewek itu tertawa renyah dan melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti. Dibiarkannya tangan besar dan hangat milik Elang tetap mengusap rambutnya.             “Makasih untuk selalu ada buat aku selama ini. Makasih untuk segala macam usaha kamu dalam hal menyemangati aku dan buat aku bahagia. Makasih banyak, Sya....” Elang kemudian langsung mendekap erat tubuh Tasya, membuat cewek itu tersentak. Detik berikutnya, dia membalas pelukan Elang sambil mengusap punggung cowok itu dan tersenyum di lehernya.             “Nggak usah berterima kasih sama aku, Lang... aku ngelakuin semuanya dengan ikhlas karena aku sayang sama kamu.”             Elang tersenyum di bahu Tasya kemudian memejamkan kedua mata. Dalam diam, dia merekam semua hal menyangkut cewek itu. Wajahnya, kedua mata bulatnya, hidung mancungnya, bibir penuhnya, senyumannya bahkan aroma tubuhnya. Dia benar-benar beruntung bisa memiliki Tasya didalam hidupnya. Tasya lah cahaya kehidupannya.             “Nah,” kata cewek itu sambil menguraikan pelukannya dan tetap tersenyum ke arah Elang. “Sekarang, waktunya kita makan. Aku udah dengar bunyi cacing-cacing di dalam perut kamu itu. Mereka lagi demo untuk menuntut hak hidup mereka.” Lalu, cewek itu tertawa riang. Dilanjutkannya kembali kegiatannya membuka semua rantang dan diambilnya satu sendok penuh nasi beserta perkedel jagung kesukaan Elang, lalu menyuapkannya ke cowok itu yang membuka mulutnya dengan patuh. Elang mengunyahnya dengan lahap dan ekspresi nikmat itu tertera pada wajahnya yang tampan. Sambil mengacungkan jempolnya ke arah Tasya, Elang mengacak rambut cewek itu, membuat pacar kesayangannya tersebut tertawa renyah.             “Lang....”             Elang menggumam pelan untuk menjawab panggilan Tasya. Cowok itu sibuk melahap perkedel jagung buatan Tasya. Melihat itu, Tasya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. Geli dengan sikap Elang tersebut.             “Besok kamu ada waktu?”             “Besok?” Alih-alih langsung menjawab pertanyaan Tasya, Elang justru kembali menanyakan pertanyaan cewek itu.             “Iya.”             “Ada rapat, sih.” Elang mengalihkan tatapannya sejenak dari makanan kesukaannya tersebut dan fokus menatap Tasya. “Aku udah pernah cerita, kan, kalau aku ditunjuk sebagai panitia tambahan dalam acara makrab kampus nanti? Besok jam lima sore, Kak Beno ngadain rapat panitia. Kenapa emang, Sya?”             Tasya membulatkan mulutnya dan mengangguk-anggukkan kepala. Cewek itu menatap Elang dan menarik napas panjang. “Tadinya, aku mau minta dianterin ke kedai es krim yang baru buka di ujung jalan. Tempatnya bagus dan sejak dibuka, kedai itu nggak pernah kehabisan pengunjung. Karena kamu nggak bisa, ya udah. Lain kali aja.”             Elang menelan makanannya dan menggeleng. Diraihnya tangan Tasya kemudian digenggamnya dengan erat.             “Kalau buat kamu, aku pasti bisa, kok. Aku tinggal kirim sms ke Kak Beno, minta izin untuk nggak hadir rapat sehari. Beres.”             “Eh....” Tasya menggoyangkan sebelah tangannya. “Nggak usah sampai kayak gitu, Lang. Lain kali ke kedai es krim itu juga nggak apa-apa, kok. Beneran. Kamu harus rapat panitia, loh.”             “Santai, Sya,” kata Elang menenangkan. “Aku cuma panitia tambahan. Tugasku nggak susah-susah banget, kok. Pokoknya, besok setelah kuliahku selesai, kita langsung ke kedai es krim itu. Aku jemput kamu di kampus jam empat sore, ya!”             Tasya mengerjap dan detik berikutnya dia tertawa. Bersama dengan Elang, cewek itu kemudian ikut menyantap makan malam yang sengaja dibawanya untuk pacarnya tersebut. Menikmati waktu kebersamaan mereka malam ini. ### Amira sedang membaca salah satu novel koleksinya, ketika ponselnya berdering. Cewek itu menjulurkan tangan kirinya untuk meraba-raba ruang di sampingnya dan akhirnya, ponsel tersebut berhasil dia dapatkan. Matanya tetap terfokus pada barisan kalimat yang terjejer rapi di dalam novel tersebut, saat cewek itu menggeser tombol berwarna hijau dan mendekatkan ponselnya ke telinga.             “Halo?” sapa cewek itu tanpa minat.             “Halo? Amira?”             Kening Amira mengerut dan cewek itu lantas menutup novel tersebut, setelah sebelumnya dia menandai halaman yang sedang dibacanya itu. Cewek itu kemudian menjauhkan ponselnya untuk melihat siapa gerangan yang menelepon, namun layar ponselnya hanya menampilkan deretan angka yang tidak dikenalnya.             “Iya, ini siapa?” tanya cewek itu ragu. Dia berusaha mengingat, di mana tepatnya dia pernah mendengar suara ini. Suara ini benar-benar familiar. Dia merasa pernah mendengar suara ini sebelumnya. Tapi... di mana? Siapa?             “Ini aku. Alfar.”             Alfar? Alfar katanya? Ya Tuhan! Dari mana Alfar tahu nomor ponselnya?!             “Halo? Amira? Kamu masih di sana, kan?” tanya cowok itu, ketika dia merasa Amira seolah menghilang. Alfar rindu cewek itu. Cewek manis dan kalem yang pernah dekat dengannya dulu, saat dia masih menjadi mahasiswa. Saat itu, Amira masih semester satu. “Nggak lupa sama aku, kan?”             Di tempatnya, Amira masih diam. Cewek itu tidak bersuara sama sekali. Dia menggenggam ponselnya dengan kuat, hingga buku tangannya memutih. Tatapannya tidak terfokus. Sampai akhirnya, suara dehaman Alfar dan ketika cowok itu kembali memanggil namanya, barulah Amira tersadar. Cewek itu memejamkan mata sejenak, berusaha mengenyahkan rasa sesak yang mendadak hadir.             “Ah, ya. Kak Alfar. Aku ingat....”             Di seberang sana, Amira bisa mendengar desahan napas Alfar.             “Syukur kalau kamu masih ingat sama aku.” Cowok itu kemudian tertawa pelan, membuat Amira mati-matian menahan diri agar tidak menangis. “Kamu apa kabar?”             “Baik,” jawab Amira pelan, nyaris menyerupai bisikan. Kenapa? Kenapa setelah sekian lama Amira berusaha melupakan perasaan cintanya pada Alfar, cowok itu harus datang kembali? “Kakak tau nomor ponselku dari mana?”             Alfar menarik napas panjang dan menatap langit-langit kamarnya sambil tersenyum. “Dari Beno.” Cowok itu menjawab mantap. “Kemarin, aku ke kampus. Iseng aja, sih. Mau liat gimana perkembangan organisasi di sana. Nggak sengaja aku ketemu Beno dan dia cerita soal rencana kegiatan makrab bulan depan. Aku baca daftar nama panitia dan nemuin nama kamu di sana. Ya udah, sekalian aja aku minta nomor ponselmu sama dia, soalnya ponselku hilang.”             Kenapa kamu nggak sekalian menghilang juga, Kak, dari pikiran dan hati aku?             “Amira?”             “Hmm?” Amira hanya menggumam tidak jelas. Entahlah, pikirannya benar-benar kacau saat ini. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Bagaimana kalau Alfar terus menghubunginya? Bagaimana kalau nantinya Alfar akan sering main ke kampus?             “Kamu melamun lagi, ya?” tebak cowok itu dengan nada geli yang tertangkap jelas di kedua telinga Amira.             “Nggak, kok.”             “Mir... bisa kita ketemu?”             Amira tidak menjawab. Dia hanya duduk di atas kasur sambil menatap langit-langit kamarnya guna mencegah buliran kristal itu agar tidak jatuh.             “Aku mau ketemu kamu. Itu pun kalau kamu nggak keberatan. Udah lama kita nggak ketemu dan berkomunikasi. Aku kangen sama kamu, Mir.”             Hening mendominasi cukup lama, sampai akhirnya, Amira memberikan jawabannya seraya menunduk dan menekan kuat d**a kirinya. Dia bahkan membiarkan air mata itu bergulir turun.             “Maaf, Kak. Aku sibuk. Mungkin lain kali.” ### Keesokan harinya, Amira tidak masuk kuliah. Brian yang senewen karena sahabatnya itu tak kunjung menjawab panggilan teleponnya, akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah cewek itu. Namun, jawaban dari pembantu rumah Amira sungguh mengejutkan dan malah membuat Brian khawatir setengah mati.             “Loh? Mbak Amira bukannya kuliah, Mas? Wong tadi pagi pamit sama Tuan dan Nyonya mau kuliah, kok. Saya juga liat kalau Mbak Amira bawa tas sama buku tebel gitu.”             Brian menggeram frustasi seraya mengacak rambutnya. Cowok itu berdecak dan menatap layar ponselnya yang menampilkan nama Amira berikut nomor ponselnya. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh cewek itu.             Amira... lo di mana?      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD