TIGA

2683 Words
TIGA   “Sudah sampai, Mbak.”             Lamunan Amira buyar, ketika suara bariton si supir taksi terdengar. Dengan kedua mata yang mengerjap, Amira menoleh ke samping dan berdecak pelan. Dia tidak sadar jika sudah sampai di mall tempat tujuannya. Sejak pagi sampai sore ini, yang dilakukan Amira hanya berjalan-jalan tidak jelas untuk menenangkan hati dan pikirannya.             Amira turun dari taksi dan berdiri di depan pintu lobby mall tersebut. Cewek itu menarik napas panjang dan memijat pelipisnya. Dia merasa pusing sekarang. Mungkin, yang harus dilakukan oleh Amira saat ini adalah mencari tempat makan dan mengisi perutnya yang sudah berontak hebat.             “Ya ampun!” Amira berhenti melangkah dan memukul jidatnya pelan. Cewek itu buru-buru merogoh tas selempangnya dan berdecak jengkel. Ketika benda yang dicarinya sudah ditemukan, Amira langsung mengerjap.             Brian meneleponnya dua puluh kali, mengirim sms sepuluh kali, juga menghubunginya via Line, w******p, bahkan BBM. Kak Beno juga ternyata meneleponnya tiga kali dan mengirim sms kepadanya. Cowok itu mengingatkannya untuk datang menghadiri rapat panitia jam lima nanti.             Amira lupa jika dia me-silent ponselnya. Dia benar-benar melupakan semua hal hanya karena satu telepon dari Alfar! Cowok itu benar-benar berhasil membuatnya menjadi tidak karuan seperti ini.             Layar ponselnya menyala, menampilkan wallpaper dirinya dan Brian. Cowok itulah yang saat ini sedang meneleponnya—lagi. Amira memang memasang foto konyolnya bersama Brian, sehingga kalau cowok itu meneleponnya, wallpaper yang muncul adalah fotonya bersama sang sahabat.             “Ha—“             “AMIRA ALANIS! LO DI MANA SEKARANG, HAH?!”             Belum sempat Amira menyelesaikan kalimat pembukanya, suara keras Brian telah lebih dulu terdengar. Cewek itu refleks menjauhkan ponselnya dan berdeham sambil melanjutkan langkahnya kembali untuk menghindari tatapan-tatapan ingin tahu dari para pengunjung yang tadi berada di sekitarnya.             “Yan, lo bisa nggak, sih, ngomongnya nggak usah teriak-teriak begitu? Gue belum tuli!” gerutu Amira, ketika dia kembali mendekatkan ponselnya ke telinga. Di seberang sana, Brian mendengus dan mengetuk jari telunjuknya di atas meja. Cowok itu sekarang berada di kantin kampus. Sibuk memikirkan alasan yang akan diberikannya pada Beno, jika Amira tidak datang menghadiri rapat sialan itu. Entah apa yang akan dilakukan oleh Brian, jika cowok itu bertemu dengan sahabatnya yang selalu saja berhasil membuatnya khawatir itu. “Dan gue baik-baik aja kalau lo mau tau.”             “Ck!” Brian berdecak jengkel. “Di mana lo sekarang? Biar gue jemput. Setengah jam lagi rapat bakalan dimulai, Mir.”             Amira menemukan tempat makan yang menarik minatnya, kemudian cewek itu menjatuhkan tubuhnya di salah satu kursi. Pelayan datang dan membawakan menu untuk Amira. Cewek itu mengangguk kemudian mengucapkan terima kasih dan berkata akan melihat-lihat menunya terlebih dulu. Lalu, fokusnya kembali pada Brian.             “Gue lagi mau sendiri, Yan. Gue butuh waktu buat nenangin pikiran dan nggak mau diganggu.”             “Termasuk sama gue? Sahabat lo sendiri?” tanya Brian tak percaya. Di tempatnya, Amira menghela napas panjang.             “Termasuk sama lo, sahabat gue sendiri.” Amira memindahkan ponselnya dari telinga kiri ke telinga kanan. “Look, gue bakalan baik-baik aja. Gue hanya butuh waktu sebentar untuk pergi dari semua rutinitas gue, karena gue lagi mumet, oke?”             “Mir, kita sahabat, kan? Apa lo nggak mau berbagi masalah lo sama gue?”             “Bukannya gue nggak mau, Yan. Waktunya belum tepat.” Amira menunduk dan menghembuskan napas. Jadi kepengin nangis lagi, deh. “Gue akan cerita setelah gue ngerasa lebih baik. Is that ok?”             Suara bergetar milik Amira membuat Brian nelangsa. Cowok itu menghembuskan napas berat dan memindahkan ponselnya ke telinga kanan, ketika tiba-tiba sebelah tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya. Matanya menatap lurus ke satu titik. Sosok itu mendadak muncul dari balik koridor kampus dan memasuki kawasan kantin. Senyumannya begitu lebar dan tanpa beban, ketika dia menyapa beberapa orang kenalannya. Senyuman yang sangat memuakkan di kedua mata Brian. Emosinya langsung naik ke permukaan dan niat pertama yang muncul di hatinya adalah menghapus senyuman tanpa beban itu dari wajah... Alfar.             “Nanti gue hubungi lo lagi.” Amira mengerjap ketika mendengar nada datar pada suara Brian tersebut, terlebih saat sambungan telepon diputuskan secara sepihak oleh cowok itu. Kini, Amira menatap layar ponselnya dengan kening terlipat.             “Kenapa tuh anak?” tanya Amira kepada dirinya sendiri seraya mendengus. “Masa dia ngambek?”             Memutuskan untuk tidak memikirkan sikap aneh Brian barusan, Amira akhirnya mencari-cari menu makanan yang menurutnya enak. Untuk sementara, karena rasa laparnya, cewek itu melupakan percakapannya dengan Alfar semalam. Sedang asyik membaca menu yang berada di genggamannya, cewek itu tidak sengaja menoleh dan tersentak.             “Elang?!” seru Amira tertahan, kemudian langsung menutup mukanya dengan menggunakan buku menu sambil mengumpat tanpa suara, ketika seruan tertahannya tadi membuat Elang refleks menoleh ke arahnya.             Mati gue! ### Awalnya, semua masih berjalan sesuai rencana. Elang keluar dari kampus pukul setengah empat dan langsung menjemput Tasya di kampus cewek itu dengan menggunakan motornya. Begitu sampai di depan gerbang kampus Tasya, cewek itu sudah menunggunya dan menyambutnya dengan senyum yang sangat disukai oleh Elang. Kemudian, keduanya bergegas pergi ke kedai es krim yang mereka bicarakan semalam, sampai akhirnya, Elang harus melihat wajah sendu Tasya karena kedai es krim tersebut tutup. Sambil berusaha menghibur Tasya, Elang akhirnya mengubah rencana. Cowok itu mengajak Tasya ke salah satu mall yang lumayan dekat dari kampusnya. Masalah rapat? Semua beres. Elang sudah meminta izin pada Beno dan cowok itu mengizinkannya untuk tidak hadir. Sebenarnya, Elang sedikit berbohong juga, sih. Dia bilang, salah satu anggota keluarganya dari pihak ayah sedang sakit dan dia harus ke sana untuk menjaganya.             Dan, di sini lah mereka sekarang. Berada di foodcourt mall tersebut sambil menoleh ke segala arah guna mencari tempat makan yang enak dan menarik minat. Elang merangkul pundak Tasya sambil tersenyum lembut ke arah cewek itu yang dibalas dengan tak kalah lembutnya.             Lalu... Elang mendengar namanya dipanggil.             Tidak keras memang, seperti suara yang sedang terkejut atau semacamnya, namun Elang bisa mendengar dengan pasti. Namanya lah yang dipanggil. Dia berhenti melangkah, membuat Tasya ikut menghentikan langkahnya dan mengerutkan kening karena bingung, lalu menoleh ke segala arah untuk mencari sumber suara. Tidak ada yang mencurigakan. Semuanya sedang asyik dengan makanan pesanan mereka, atau mengobrol dengan lawan bicara mereka, atau sedang bermain ponsel. Kecuali...             “Gimana kalau kita duduk di sini?” tanya Elang meminta persetujuan Tasya seraya menunjuk meja di hadapan mereka. Kedua mata cowok itu melirik seseorang yang posisi duduknya saat ini berhadapan dengannya, hanya saja ada Tasya yang membatasi keduanya. Yang dimintai persetujuan hanya mengangguk antusias sambil menarik kursi di depannya dan mulai duduk.             Saat Tasya sedang asyik mengamati buku menu, Elang mengeluarkan ponselnya. Cowok itu terlihat sedang berperang dengan batinnya sendiri, ketika kedua jempolnya kini mulai mengetik beberapa kalimat. Setelah memantapkan hati, Elang menekan tombol send dan kembali melirik meja yang berhadapan langsung dengan mejanya itu.             Sosok yang sejak tadi dilirik oleh Elang—dan cowok itu sudah tahu siapa sosok tersebut sejak dia mendengar namanya dipanggil walau orang tersebut menutupi wajahnya dibalik buku menu yang dipegangnya—langsung menaruh buku menu di atas meja dengan satu gerakan cepat. Orang itu kemudian bangkit berdiri tanpa berani menatap ke arahnya, kemudian lari begitu saja tanpa menoleh lagi ke belakang.             “Cewek itu aneh, ya,” kata Tasya tiba-tiba. Elang menoleh dan melihat Tasya tersenyum geli. “Lucu.”             Elang memutar kedua bola matanya. Lucu? Tasya bilang kalau Amira Alanis itu cewek yang lucu?             “Aku ke toilet sebentar, ya?” pamit Elang sambil tersenyum. ### Gue tau kalau yang lagi nutup muka pake buku menu itu elo, Amira. Hebat ya lo, kabur dari rapat! Elang. From: +628570988xxx             Satu sms yang diterima oleh Amira itu langsung membuat cewek tersebut mengambil langkah seribu. Tanpa memperdulikan tatapan-tatapan aneh yang diberikan oleh para pengunjung foodcourt tadi, cewek itu tancap gas dengan sekuat tenaga. Sialan! Kenapa dia harus bertemu dengan cowok menyebalkan itu di sini, sih?! Dan dari mana Elang tahu nomor ponselnya? Ugh, pasti cowok itu tahu dari Beno. Mana perutnya benar-benar keroncongan karena lapar sekarang. Kepalanya mendadak pusing dan kedua matanya mulai tidak fokus.             Amira menghentikan larinya dan berdiri di dekat pembatas eskalator. Dia memijat pelan pelipisnya dan mendesis. Rasanya semua seperti berputar di kedua matanya, sampai tiba-tiba, tubuhnya terasa sangat ringan dan limbung ke samping.             Lalu, kesadarannya kembali normal tatkala sesuatu mencekal lengannya dan menahan pundaknya dengan tegas. Cewek itu menoleh dan mendongak. Kini, matanya bertemu dengan mata tegas nan tajam milik... Elang.             “Maaf,” ucap Amira cepat seraya menarik diri. Cewek itu menegakkan tubuh lantas berdeham untuk mengusir kegugupan yang mendadak hadir. Amira bahkan tidak berani menatap Elang. Dia hanya berani melirik sekilas tanpa kentara.             Di depannya, Amira bisa melihat Elang hanya menatapnya tanpa ekspresi dengan alis terangkat satu. Cowok itu bersedekap kemudian meneliti keseluruhan fisik Amira dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hal yang membuat kegugupan Amira semakin menjadi dan juga berbaur dengan kerisihan. Sambil berdeham, cewek itu mundur dua langkah untuk menciptakan jarak dan mengangkat dagu tinggi-tinggi.             “Ngapain lo ngeliatin gue kayak begitu?” tanya Amira sinis. Yang ditanya hanya diam dan menatap wajah Amira. Membuat cewek itu terintimidasi di tempatnya.             “Kenapa lo nggak ikut rapat dan malah kelayapan di sini?” alih-alih menjawab pertanyaan Amira, Elang justru malah mengeluarkan pertanyaan.             “Heh, kulkas! Yang pertama nanya itu gue, bukan elo! Seharusnya, lo menjawab pertanyaan gue terlebih dahulu sebelum lo memberikan gue pertanyaan! Otak lo kesumbat sama es batu, ya?!” bentak cewek itu.             Elang berdecak jengkel. Dia sadar jika beberapa pengunjung yang melintas di dekatnya dan Amira mulai berkasak-kusuk seraya memperhatikan mereka. Akhirnya, cowok itu mencekal pergelangan tangan Amira dan membawa cewek yang sedang berontak itu ke salah satu sudut mall yang tidak terlihat. Disentaknya tangan cewek itu, membuat Amira meringis dan mendengus seraya memijat pergelangan tangannya.             “Kasar banget sih, lo?!” seru Amira emosi. “Nggak pernah diajarin sama orang tua buat bersikap lembut ke cewek, ya?!”             Entah hanya perasaan Amira saja, atau raut wajah Elang memang berubah... tegang? Cewek itu jadi bungkam dan memalingkan wajah. Dia paling benci pada dirinya sendiri kalau ada seseorang yang merasa sakit hati dengan omongannya. Yah, walaupun Amira juga mengatakannya mungkin dalam keadaan tidak sadar atau tidak sengaja. Meskipun sikap Elang jauh dari kata bersahabat terhadapnya, tetap saja Amira tidak ingin kata-katanya barusan menyakiti hati cowok itu hingga membuat Amira harus memiliki musuh. Bisa mati muda dia, kalau punya musuh seperti Elang.             “Gue akan laporin lo ke Beno,” kata cowok itu tiba-tiba, membuat wajah Amira kembali berpaling padanya. Kening cewek itu mengerut, tanda dia tidak suka dengan kelakuan Elang barusan.             “Lo pikir lo siapa, Lang?” tanya Amira dengan nada dingin. Di tempatnya, Elang terdiam dan menatap raut wajah penuh emosi milik cewek di depannya itu. “Lo pikir karena lo cowok, lo bisa seenaknya sama gue? Lo pikir, karena lo dipuja sama semua cewek di kampus meskipun sikap lo yang dingin dan bikin gue muak setengah mati itu, lo bisa mengintimidasi gue? Berharap gue akan ikut memuja lo dan nyembah-nyembah di kaki lo, gitu? Mimpi aja, Lang! Gue nggak pernah takut sama lo! Gue benci sama lo!”             Selesai berkata demikian, Amira menghapus buliran kristal yang mengalir di pipi mulusnya dengan kasar menggunakan punggung tangannya. Akumulasi dari rasa sakit hati pada sikap dan ucapan Elang padanya, juga rasa sesak karena kemunculan Alfar kembali akhirnya membuat Amira menangis. Cewek itu menatap tajam Elang, sebelum kemudian berlari dari hadapan cowok itu. Amira bahkan sengaja menabrakan bahunya dengan bahu Elang.             Di tempatnya, Elang hanya diam. Dia memutar tubuh, menatap kepergian Amira dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Kali ini, Elang sadar kalau sikapnya sudah sangat keterlaluan dan kelewatan terhadap cewek itu. ### Alfar bukannya tidak mengenal Brian. Alfar justru mengenal cowok itu dari Amira. Mereka bersahabat. Hal yang membuat Alfar curiga karena menurutnya, cowok dan cewek tidak akan pernah bisa bersahabat. Di depan Alfar, Brian sudah berdiri tegak. Menatapnya tegas. Alfar bahkan bisa melihat kedua tangan cowok itu terkepal kuat di sisi tubuhnya. Senyumannya bahkan sama sekali tidak dibalas oleh cowok itu.             Seingatnya, di mana ingatannya sangat baik, dia tidak pernah membuat hal apa pun yang bisa memancing emosi Brian. Karena, jika asumsinya tidak salah, saat ini Brian terlihat seperti menahan emosinya.             “Brian, apa kabar lo?” tanya Alfar seraya mengulurkan tangan kanannya. Cowok itu mencoba tetap tersenyum meskipun saat ini, Brian sama sekali tidak menyambut uluran tangannya. Ditariknya kembali uluran tangan kanannya dan cowok itu berdeham. “Waktu itu, gue ngeliat lo di lembaga. Tapi, saat gue mau menyapa lo, lo udah keburu pergi.”             “Ada yang mau gue omongin,” kata Brian datar. Dia sama sekali tidak menjawab basa-basi yang dilontarkan Alfar barusan. “Tapi nggak di sini.”             “Oke.” Alfar mengangkat bahu tak acuh.             Alfar bisa merasakan aura itu keluar dari diri Brian. Sahabat Amira itu bahkan menatapnya tajam terlebih dahulu dan sempat mendengus, sebelum kemudian berjalan di depannya. Yang bisa dilakukan oleh Alfar hanyalah mengikuti Brian ke mana pun Brian akan membawanya.             Brian memasuki salah satu kelas yang kosong. Setelah Alfar masuk, sahabat Amira itu menutup pintu di belakangnya, nyaris membanting. Di tempatnya, masih dengan membelakangi Brian, Alfar melirik sedikit melewati bahunya. Cowok itu menarik napas panjang, melipat kedua tangan di depan d**a kemudian berbalik.             “Jauhin Amira.”             Itu kata pertama yang keluar dari bibir Brian saat Alfar memutar tubuh dan berhadapan dengannya. Alfar mengangkat satu alisnya lalu tersenyum. Cowok itu terlihat sangat tenang, tidak ada tanda-tanda dia akan terpengaruh dengan ucapan Brian barusan. Alfar bahkan sama sekali tidak terintimidasi dengan cara sepasang mata Brian kala menatapnya.             “Kenapa gue harus menjauhi Amira? Apa alasan lo melarang gue untuk mendekati Amira?” tanya Alfar santai. Sebaliknya, Brian justru mulai tidak sabaran di tempatnya namun dia mati-matian menahan diri agar kepalan tangannya tidak melayang ke wajah tampan nan memuakkan itu.             “Lo nggak perlu tau apa alasan gue melarang lo untuk bertemu sama sahabat gue.” Brian menjawab dengan nada sinis. Cowok itu bahkan mendengus dan tersenyum miring. Sepertinya, Brian benar-benar meradang dan emosi padanya. Tapi, kenapa? Dan kenapa juga Amira dibawa-bawa dalam percakapan ini? Apa... jangan-jangan...             “Lo suka sama sahabat lo sendiri, Yan?”             Kaget, Brian tidak bisa menahan emosinya lagi. Dia mendekati Alfar, memasang tubuhnya tepat di depan tubuh mantan kakak tingkatnya itu. Kedua ujung sepatunya bahkan bersentuhan dengan kedua ujung sepatu Alfar. Dia kemudian menunjuk wajah Alfar, sementara cowok itu masih saja bersikap tenang.             “Jangan konyol!” desis Brian. “Tolong pakai otak lo kalau ngomong!”             “Alasan apa lagi yang paling masuk akal selain omongan gue barusan, Brian?” tanya Alfar menantang. “Pasti Amira cerita sama lo kalau gue nelepon dia semalam. Pasti dia juga bilang ke lo kalau gue kepengin banget ketemu sama dia. Hal itu, kan, yang bikin lo takut? Takut kalau Amira bakalan gue rebut dari lo? Karena pada kenyataannya, lo suka sama dia melebihi seorang sahabat!”             Dengan satu gerakan cepat, kedua tangan Brian sudah mencengkram kerah kemeja Alfar. Dibawanya wajah cowok itu mendekat ke arahnya dan ditatapnya mata Alfar dengan emosi yang tidak bisa disembunyikan lagi.             “Jangan. Pancing. Emosi. Gue!” Brian menekankan setiap kalimat yang dia ucapkan. “Gue sama sekali nggak punya perasaan lebih sama Amira!”             “Terus, kenapa lo harus melarang gue untuk mendekati dia?”             Brian diam. Detik berikutnya, dia menyentak tubuh Alfar hingga cowok itu mundur beberapa langkah. Alfar mengerutkan kening ketika mendengar tawa datar dan hambar milik Brian. Terlebih saat cowok itu berkacak pinggang, menundukkan kepala kemudian menggelengkan kepalanya tersebut.             Jujur saja, sikap Brian benar-benar membuat Alfar yakin dengan asumsinya barusan. Bahwa cowok itu menyukai Amira. Sungguh, dia tidak apa-apa jika Brian memang menyukai cewek itu. Amira memang cewek manis dan baik hati, bahkan terkesan polos. Toh, sejak dulu sampai sekarang, Alfar hanya menganggap Amira sebagai adiknya.             “Lo tau, Kak?”             Alfar tersadar dari lamunan dan langsung fokus pada Brian. Cowok itu menatapnya datar. Kilatan emosi itu memang masih bisa terlihat, walau tidak sebesar di awal.             “Gue sangat ingin menghajar lo detik ini.”             Alis Alfar terangkat satu.             “Tapi, gue nggak akan bikin diri gue sendiri menjadi orang b******k seperti lo.”             “Apa maksud lo?” tanya Alfar tidak terima. Jelas dia tidak terima dibilang b******k seperti itu. Brian memutar tubuh dan meraih gagang pintu. Ketika pintu kelas tersebut sudah terbuka setengahnya, Brian sedikit menolehkan kepala untuk menatap Alfar yang masih berdiri tegak di tempatnya dan menatapnya dengan tatapan tegas. Senyuman miring Brian kembali terlihat, membuat Alfar sedikit terpancing emosi.             “Brian!” seru Alfar.             “Dan untuk asumsi absurd lo tadi,” kata Brian lagi, mengabaikan seruan Alfar barusan. “Asumsi lo benar-benar nggak masuk akal. Gue bahkan menganggap Amira sebagai adik kandung gue sendiri. Adik yang harus gue jaga mati-matian. Adik yang harus gue lindungi dari orang-orang brengsek... seperti lo.”             Alfar terpaku. Tidak mengerti dengan Brian. Dia membiarkan Brian pergi dari ruangan ini dan menutup pintu kelas tersebut dengan bantingan.             Sial!             Alfar mendadak gusar dan mengacak rambutnya frustasi. Dia berkacak pinggang, menatap pintu yang sudah tertutup itu dengan tatapan kesal.             Ada apa sebenarnya?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD