SATU
Harusnya, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan untuk Amira.
Cewek dengan tinggi 168 senti meter itu kini mendengus. Rambut panjang sepundaknya dia biarkan tergerai, menyisakan poni menyamping yang dijepit ala kadarnya. Mata belo berwarna cokelat terang itu sekarang memelototi ponselnya, berharap kalimat yang tertulis di sana bisa menghilang hanya dengan sekali tatap. Namun, tetap saja hal itu mustahil. Hidung mancung Amira kini kembali mengeluarkan dengusan. Bibir tipis berwarna kemerahan itu mengerucut, menampilkan ekspresi kesalnya.
Soalnya, baru saja Amira akan duduk manis di dalam kamarnya dan membaca novel guna menghilangkan penat, tahu-tahu saja sahabatnya, Brian, mengirim SMS. Amira bahkan nyaris melempar ponselnya karena terlalu kesal. Dia sudah menunggu datangnya hari libur ini, tapi semuanya hancur hanya karena satu pesan singkat dari sahabatnya itu. Brian menyuruhnya datang ke kampus karena harus ada yang didiskusikan bersama anggota organisasi lainnya mengenai malam keakraban nanti.
Brian sendiri sepertinya senang jika harus menghabiskan waktu sebanyak mungkin di kampus. Cowok dengan tinggi 170 senti meter dan memiliki potongan rambut quiff blow ke arah atas itu sangat gemar menebar pesonanya kepada mahasiswi-mahasiswi yang berseliweran di depan mata. Brian sangat percaya diri dengan wajah bulat tampannya dan rambut yang disisir menggelembung ke arah belakang atau dibuat tinggi tersebut. Katanya, rambutnya itu membuat wajahnya nampak terlihat panjang. Belum lagi mata hitam legam Brian yang memang sanggup memberikan efek seperti tersengat listrik bagi para kaum Hawa.
Pandangan Amira kini mengarah pada langit-langit kamarnya. Pikirannya mulai menjelajah ke hal lain. Hal yang seharusnya sudah bisa dia lupakan, tapi nyatanya masih betah mengendap dalam benaknya. Sungguh, bukannya Amira tidak ingin melupakan orang itu beserta kenangannya, tetapi, setiap kali Amira mencoba melupakan semua hal yang berkaitan dengan orang itu, selalu saja ada kendalanya. Entah itu berupa mimpi atau hal-hal lain yang secara tidak sengaja akan mengingatkan Amira pada orang tersebut. Padahal, orang itu sudah tidak berada di kampusnya lagi, alias sudah lulus. Bukankah dengan lulusnya orang tersebut, Amira seharusnya bisa melupakannya dengan mudah?
Namanya Alfar. Kakak tingkatnya saat dia masih menjadi mahasiswi baru di kampusnya. Alfar memiliki sorot mata yang teduh namun tegas dibalik kacamata yang membingkai kedua matanya tersebut, hidung yang biasa saja, bibir yang selalu menyunggingkan senyum dan rambut pendek rapi dengan volume penuh di semua sisi kepalanya. Saat itu, Alfar sudah semester lima. Dia menjadi panitia ospek di kampus mereka. Pertama kali Amira melihat Alfar adalah ketika cowok itu menawarinya sebuah permen.
Sejak pertemuan pertamanya dengan Alfar, Amira merasa ada yang aneh pada dirinya. Di kampus, Amira kerap menatap Alfar dari jauh. Dia menyukai senyuman Alfar. Dia menyukai cara Alfar berbicara dengan lawan bicaranya. Dia menyukai Alfar yang sedang tertawa. Dia juga menyukai cara sepasang manik hitam itu kala menatap. Saat itu, Amira sadar bahwa dia mulai jatuh cinta. Dia jatuh cinta pada sosok tinggi berlesung pipit itu.
Tadinya, Amira berpikir bahwa perasaan cintanya pada Alfar akan cepat hilang. Kemungkinan besar, rasa cintanya pada cowok itu akan hilang saat kelulusan cowok tersebut datang. Nyatanya, sampai sekarang, rasa itu masih bertahan. Belum lagi belakangan ini, Alfar selalu menghantuinya di dalam mimpi.
Dia betul-betul ingin perasaan cintanya pada Alfar hilang sepenuhnya. Karena nyatanya, sekuat apa pun dia mencoba, sesering apa pun dia berkata pada Brian bahwa dia sudah bisa melupakan Alfar, semuanya adalah kepalsuan belaka.
Amira masih mencintai Alfar.
Dengan satu gerakan cepat, Amira bangkit dari posisi berbaringnya. Cewek itu menarik napas panjang dan membuka kedua matanya. Kedua tangannya kemudian terangkat ke udara dan menepuk kedua pipinya dengan agak keras. Sengatan rasa sakit pada pipinya membuat cewek itu meringis, kemudian detik berikutnya dia mulai menyunggingkan seulas senyum.
“Semangat, Mir!” seru cewek itu pada dirinya sendiri. Cewek itu kemudian berdiri dan berjalan ke arah lemari. Mencari pakaian yang akan dikenakannya ke kampus untuk menghadiri diskusi dadakan ini.
Lalu, ponselnya kembali berdering. Membuat Amira mengerutkan kening, lantas cewek itu mengambil ponselnya yang tadi dia letakkan di atas meja di samping tempat tidur.
Brian?
“Apa sih, Yan? Nggak sabaran banget! Ini gue lagi nyari baju, lima belas menit lagi gue jalan ke—“
“Nggak usah datang ke kampus!”
Apa-apaan sih, si Brian? Udah seenaknya nyuruh datang ke kampus, main potong kalimatnya barusan, dan sekarang menyuruhnya untuk tidak usah datang ke kampus?
“Eh, gue lagi malas bercanda, ya! Tadi lo nyuruh gue datang ke kampus, sekarang lo nyuruh gue—“
“Alfar ada di sini!”
Tubuh Amira mendadak terpaku. Cewek itu mendadak berubah menjadi patung. Kepalanya terasa berputar dan semua memori tentang Alfar menyeruak keluar. Memori tentang pertemuan awal mereka, memori tentang kedekatan mereka walau hanya sebentar, semuanya. Tanpa ada satu pun yang terlewat. Hal itu menyebabkan Amira tidak bisa berpijak dengan benar. Lututnya mendadak terasa lemas. Sudah satu tahun dia tidak mendengar kabar tentang Alfar, tidak bertemu dengan Alfar, kini cowok itu justru datang ke kampus.
“Yan,” panggil Amira, ketika cewek itu mulai mendapatkan suaranya kembali. Jantungnya berdegup kencang hanya dengan mendengar nama Alfar. Matanya mendadak berkaca hanya dengan mendengar nama Alfar. “Yan... gue....”
“Gue ke sana.” Brian segera memotong kalimat Amira, kemudian memutuskan sambungan.
Tinggal Amira yang kini menatap kosong lantai di hadapannya. Membiarkan air mata itu mengalir turun. Menyerah pada rasa sesak yang selama ini selalu disembunyikan dan dipendamnya kuat-kuat.
Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama dia berusaha kuat dan tegar memendam rasa cintanya untuk Alfar, cewek itu menangis.
###
Brian duduk di teras rumah Amira sambil menarik napas panjang.
Harusnya, Brian menyuruh Amira tidak usah datang saja dengan alasan lain. Tapi, mulutnya justru tidak bisa diajak bekerjasama. Meskipun begitu, jika dipikir-pikir lagi, lebih baik seperti ini daripada Amira harus bertemu dengan Alfar secara langsung.
“Maaf lama nunggu, Yan.”
Suara lirih itu menyadarkan Brian. Cowok itu menoleh dan seketika tertegun melihat pemandangan di depannya. Selama dua tahun bersahabat dengan Amira, Brian belum pernah melihat cewek itu menangis. Cewek itu sekarang terlihat sedikit berantakan. Brian jadi tidak tega dan akhirnya tanpa basa-basi, cowok itu memeluk Amira.
“Sorry. Harusnya, gue ngasih alasan lain buat nyuruh lo nggak usah datang ke kampus. Gue kelepasan ngomong. Maaf. Maaf udah bikin lo nangis karena harus inget lagi soal Alfar, di saat lo udah bisa ngelupain dia. Maaf.”
Amira menghembuskan napas panjang dan tersenyum dibalik bahu tegap Brian. Dia membalas pelukan sahabatnya dan menggeleng pelan.
“Sejujurnya, gue belum bisa ngelupain dia.”
Ucapan Amira itu membuat Brian mengerutkan kening dan menguraikan pelukannya. Ditatapnya manik cokelat terang milik sahabatnya itu. Cewek itu tersenyum tipis ke arahnya, kemudian duduk di salah satu kursi yang disediakan di teras rumah.
“Coba tolong ulang sekali lagi apa yang barusan lo bilang ke gue,” kata cowok itu dengan nada tegas. Setahunya, Amira sudah bisa melupakan Alfar. Cewek itu sendiri yang mengatakannya.
Dan barusan, Amira bilang bahwa cewek itu sebenarnya belum bisa melupakan Alfar? Yang benar saja!
“Pertama, gue mau minta maaf sama lo karena terpaksa ngebohongin lo. Sebenarnya, selama ini, gue masih belum bisa ngelupain Kak Alfar. Gue masih cinta sama dia. Sekuat apa pun gue mencoba untuk ngelupain dia, gue justru semakin ingat sama dia. Sama senyumannya... sama tatapan matanya... sama suaranya... semuanya, Yan. Selama ini, gue selalu berpura-pura bersikap seolah-olah gue udah bisa ngelupain dia dan udah move on. Tapi....”
Brian bisa melihat Amira mengangkat bahu kemudian tertawa getir. Kedua mata cewek itu berkaca dan Brian merasa sedih karenanya.
“Gue terpaksa bilang sama lo kalau gue udah bisa ngelupain Kak Alfar, karena gue nggak mau lo cemas sama keadaan gue. Gue mau lo tau kalau gue baik-baik aja, meskipun kenyataannya gue jauh dari kata baik-baik aja. Tapi, gue tetap berusaha untuk ngelupain Kak Alfar. Cuma, gue belum berhasil.”
Brian menarik napas dan menggelengkan kepalanya. “Gue nggak tau harus ngomong apa, Mir.”
Amira menunduk dan memejamkan kedua matanya. Kenapa cowok itu selalu menghantuinya? Apakah selamanya Amira akan terus seperti ini? Memikirkan Alfar, mencintai Alfar, sementara cowok itu mungkin akan berbahagia dengan siapa pun pilihannya nanti?
“Gue nggak suka liat lo nangis, Mir.”
Suara Brian membuyarkan semua jalan pikiran Amira. Cewek itu menghapus air mata yang mengalir di pipinya, kemudian mengangkat kepala. Brian mengulurkan tangan kanannya, menunggu Amira menyambutnya. Ragu, Amira menyambut uluran tangan sahabatnya itu dan menurut ketika Brian menariknya untuk berdiri dengan lembut.
“Gimana kalau kita jalan-jalan?”
“Jalan-jalan?” tanya cewek itu bingung. Wajahnya berantakan oleh air mata, belum lagi kedua matanya pasti tambah sembap dan memerah, dan kini Brian mau mengajaknya jalan-jalan? “Ke mana?”
“Ke mana aja. Asal lo nggak nangis dan sedih lagi.” Brian mengangkat bahu tak acuh kemudian mengerutkan kening seperti sedang berpikir keras. “Kalau gue ajak lo karaokean, gimana? Mau?”
Mungkin tidak terlalu buruk. Siapa tahu, setelah bernyanyi, suasana hati Amira akan pulih lagi.
“Ah, gue punya kabar buruk buat lo.”
Amira mengerutkan kening dan menatap Brian yang sedang menggaruk tengkuknya. Ciri khas seorang Brian kalau cowok itu sedang bingung mengeluarkan kalimat yang tepat. Kalau sudah begini, Amira jadi takut. Biasanya, kalau Brian sudah bersikap seperti ini, sesuatu yang sangat tidak disukai oleh Amira akan terjadi.
“Lo ingat sama Elang? Cowok super cuek dan dingin yang lo benci setengah mati karena nggak suka sama sifatnya yang sok keren dan sok arogan itu?”
Elang? Ah... Elang Mahendra.
Tentu saja Amira ingat siapa itu Elang. Cowok yang terkenal dengan sifat cuek dan dinginnya pada kaum cewek. Tapi anehnya, kalau sedang bersama teman-temannya sesama jenis, Elang akan bersikap ramah. Seperti bunglon, di mata Amira, Elang seperti memiliki kepribadian ganda.
“Ingat. Kenapa sama si Elang?” tanya Amira dengan nada gugup yang datang begitu saja.
“Dia... disuruh sama Kak Beno buat ikutan jadi panitia.”
Hah?
APA?!
“Dia bakalan ikut ke acara malam keakraban bulan depan sebagai panitia, Mir. Dan sialnya lagi, dia ditaruh sama Kak Beno di divisi elo.”
Nggak sekalian saja, si Beno membunuh Amira? Satu divisi sama Elang, yang mengharuskan Amira untuk berkomunikasi dengan cowok dingin itu? Ini sih, lebih parah dari sekedar munculnya Alfar di kampus!
###
Sebenarnya, Amira tidak begitu kenal dengan Elang.
Dia hanya pernah tidak sengaja satu kelompok dengan cowok itu, saat pihak kampus mengadakan acara bakti sosial, satu tahun yang lalu. Memang, sih, Amira dan Elang berbeda jurusan. Amira di jurusan Sastra Inggris, sementara Elang di jurusan Sastra Indonesia. Namun tetap saja, mereka berada dalam fakultas yang sama.
Elang memang tampan, Amira harus mengakui hal itu. Elang memiliki kulit putih pucat, tidak seperti kebanyakan cowok pada umumnya. Matanya sedikit sipit dan memiliki manik cokelat terang seperti Amira, di mana cowok itu selalu menatap orang lain dengan sorot penuh ketegasan dan ketajaman. Hidungnya mancung, bibirnya tipis berwarna merah. Jika harus dibayangkan, bibir Elang itu seperti bibir aktor tampan Ari Wibowo. Rambutnya hitam dan lebat mencapai tengkuk dan memiliki poni yang disisir berantakan atau messy. Tentu saja dengan penampilan seperti itu, meski sifatnya sangat dingin dan cuek pada sekitar, Elang memiliki banyak lawan jenis yang mengagumi dan menyukainya.
Amira memang satu kelompok dengan Brian, tapi cewek itu juga satu kelompok dengan dua mahasiswa dari jurusan Sastra Indonesia. Salah satunya, Elang. Waktu itu, mereka masih semester tiga.
Karena pada dasarnya Amira mudah bergaul, cewek itu percaya diri saja ketika menghampiri Siska, teman satu jurusan Elang yang juga satu kelompok dengan Amira. Amira berkenalan dengan Siska dan mengobrol lama dengan cewek berambut pendek itu. Bisa dibilang, mereka cepat akrab. Lalu, datanglah Elang. Lagi-lagi, dengan sikap percaya dirinya, Amira mendatangi Elang. Cewek itu tersenyum ramah dan mengulurkan tangan kanannya.
“Amira.” Cewek itu menyebutkan namanya sambil menunggu Elang menyambut uluran tangannya. Namun, apa yang terjadi malah membuat Amira melongo dan langsung tidak menyukai Elang detik itu juga.
“Maaf, gue nggak suka sama orang yang sok akrab sama gue. Gue yakin, lo udah tau siapa nama gue karena yang berbeda jurusan sama lo di kelompok ini hanya dua orang. Elo udah kenalan sama Siska, itu artinya lo udah tau siapa orang terakhir dari dua orang yang berbeda jurusan sama elo.”
Lalu, Elang pergi meninggalkan Amira. Amira juga ingat dia menumpahkan semua kekesalannya pada Brian dengan berapi-api. Dia memaki Elang di depan Brian dan yang dilakukan oleh sahabatnya itu hanyalah tertawa seraya menyuruhnya untuk bersabar.
Kemudian, Siska datang dan minta maaf pada Amira atas kelakuan teman satu jurusannya itu. Siska bahkan membongkar sebuah fakta di depan Amira dan Brian, yang membuat Amira bertanya-tanya di dalam hati bagaimana cewek berambut pendek itu bisa mengetahui fakta tentang Elang tersebut.
“Dia emang dikenal dingin dan cuek sama cewek-cewek, tapi luar biasa ramah dan gampang bergaul kalau sama cowok-cowok. Anehnya, dia justru udah punya pacar.”
Jelas saja Amira dan Brian kaget.
“Masa iya dia udah punya pacar kalau kelakuannya dingin begitu ke cewek?” tanya Brian kala itu.
“Itulah yang gue kurang paham. Tapi, ini semua kenyataannya. Gue diceritain sama Doni, teman dekatnya Elang. Doni pernah ketemu sama ceweknya Elang dan Elang kelihatan sayang banget sama ceweknya itu.”
Ingin sekali rasanya Amira membuktikan semua ucapan Siska itu dengan mata kepalanya sendiri. Di saat Siska masih sibuk menceritakan semua fakta mengenai Elang, cowok itu melintas di depannya. Ekspresi wajahnya sangat datar juga tanpa senyum. Elang sedang membawa sebuah kardus besar yang cowok itu letakkan di atas meja di sudut ruangan, ketika tiba-tiba dia menoleh ke arah Amira. Amira yang kaget hanya bisa berdeham kemudian memberikan cowok itu tatapan sinisnya.
Dan begitulah seterusnya. Sejak saat itu, kalau Amira tidak sengaja berpapasan dengan Elang di kampus, cewek itu akan mendengus lantas melirik Elang dengan lirikan dinginnya.
“Gue ajak lo karaokean buat menghibur elo, Mir. Muka lo nggak usah mendung begitu, dong. Sia-sia nih gue jadinya.”
Kalimat Brian tadi berhasil menyadarkan Amira dari lamunannya. Cewek itu menoleh dan terkekeh ketika mendapati raut wajah bete milik sahabatnya tersebut. Setelah mendengar berita dari Brian mengenai Elang yang juga diajak menjadi panitia dan berada dalam divisi yang sama dengan Amira, cewek itu jadi teringat kembali awal pertemuannya dengan Elang.
“Sorry. Gue nggak sengaja ngelamun tadi.” Amira menaruh microfon di atas meja, kemudian dia mulai mengutak-atik ponselnya.
Di tempatnya, Brian memperhatikan gerak-gerik Amira dengan seksama. Ada rasa syukur yang hinggap pada diri Brian saat menyadari bahwa sahabatnya itu sudah tidak terfokus pada berita kemunculan Alfar. Brian tahu bahwa saat ini, Amira sedang pusing dengan bergabungnya Elang dalam susunan kepanitiaan dan sedang memikirkan cara apa pun agar tidak berada dalam satu divisi yang sama dengan cowok dingin itu.
###
Tadinya, Elang ingin menolak ajakan Beno untuk menjadi panitia tambahan dalam acara malam keakraban para mahasiswa baru di Puncak bulan depan.
Namun, saat melihat raut wajah Beno yang begitu memelas, Elang jadi tidak tega. Belum lagi, Elang memang punya hutang budi pada kakak tingkatnya itu di masa lalu. Jadi, kalau sekarang Beno memintanya untuk menjadi panitia tambahan, Elang hanya bisa pasrah menerimanya. Hitung-hitung, hutang budinya lunas.
Setelah mendengar arahan Beno, Elang menerima kertas berisikan susunan kepanitiaan yang disodorkan oleh mahasiswa semester tujuh itu kepadanya. Alis Elang terangkat satu, ketika dia membaca namanya dan juga nama seseorang yang pernah dikenalnya di semester tiga lalu, berada dalam satu divisi yang sama. Kepala Elang lantas mendongak dan matanya bertemu dengan sahabat karib dari Amira Alanis.
Kenapa dia bisa satu divisi dengan cewek itu?
Kini, Elang bisa melihat tatapan agak sinis yang dilayangkan oleh Brian Pratama. Elang memaklumi tindakan Brian itu, karena dirinya memang sudah membuat Amira, sahabat karib Brian, kesal setengah mati satu tahun yang lalu. Mau bagaimana lagi? Bukannya Elang ingin bersikap sok dingin di depan Amira, tapi, dia memang tidak menyukai orang yang sok akrab seperti Amira. Memuakkan.
Dia benci dengan semua orang yang sok baik dan sok ramah di depannya. Terlebih dari kaum cewek. Elang bahkan sudah sering mendengar gosip yang berkata bahwa dirinya adalah gay, saking dinginnya sikap cowok itu terhadap kaum cewek. Masa bodoh dengan semua gosip murahan itu. Elang punya alasan yang kuat dan dia tidak perlu membeberkan semua alasan itu di depan orang lain.
Hanya ada satu cewek yang bisa membuat Elang bersikap apa adanya. Satu cewek yang selalu ada di sisinya selama ini. Cewek yang tidak berpura-pura ramah atau berpura-pura baik di depannya.
Tasya.
Sejak dia berumur sepuluh tahun, Tasya lah yang terus menemaninya. Tasya yang mengajaknya bermain. Tasya yang membantunya mengerjakan PR. Tasya yang menemaninya makan, semuanya.
Tasya adalah satu-satunya cewek yang berhasil merebut perhatiannya. Dan hanya kepada Tasya lah, Elang akan terus memberikan perhatiannya. Dia akan selalu menjaga Tasya dan bersikap hangat pada cewek itu. Karena Tasya adalah segalanya.
Mengenai Amira, Elang hanya bisa mendengus sebal dan berdecak. Brian sudah menghilang entah ke mana, sesaat setelah dia menelepon seseorang yang diduga Elang adalah Amira. Dia harus segera menyiapkan stok kesabarannya untuk menghadapi Amira.
“Apes banget gue!” gerutu Elang pada dirinya sendiri, ketika dia keluar dari lembaga kampus.
Cowok itu meremas kertas berisikan susunan kepanitiaan, kemudian melemparnya ke tong sampah terdekat. Kedua matanya terpejam dan decakan jengkel itu kembali keluar dari bibir merahnya. “Kenapa harus sama cewek berisik itu lagi, sih?”
Ketika kedua matanya terbuka, Elang kembali melanjutkan langkahnya. Cowok itu lantas meringis, ketika sebelah bahunya bertabrakan dengan bahu seseorang. Elang menoleh dan mengerutkan kening ketika bertatapan dengan cowok berkacamata di depannya saat ini.
“Maaf, gue nggak sengaja,” kata cowok itu sambil tersenyum. Elang balas tersenyum dan menganggukkan kepala. Dia membiarkan cowok berkacamata itu pergi, kemudian mengangkat bahu tak acuh.
Detik berikutnya, Elang kembali melanjutkan langkah seraya memikirkan bagaimana caranya supaya dia tidak terpancing dengan tingkah menyebalkan Amira di acara malam keakraban bulan depan.