EMPAT
Elang menghentikan motornya tepat di depan rumah Tasya.
Cowok itu mematikan mesin motornya kemudian membuka helm dan memeluk benda tersebut. Diperhatikannya raut wajah senang milik Tasya, terlebih kedua matanya yang berbinar polos bak anak kecil. Elang tersenyum dan mengacak rambut halus cewek itu.
“Senang?”
“Banget!” Tasya mengangguk antusias. “Makasih untuk jalan-jalannya hari ini, ya, Lang! Aku senang banget. Yah, meskipun menurut aku, kamu kurang menikmatinya.”
Senyuman Elang pudar, berganti dengan seraut wajah tanpa ekspresi. Tiba-tiba saja, dia jadi teringat lagi kejadian di mall tadi dengan Amira. Cewek cerewet itu menangis untuk pertama kalinya di depan Elang karena sikap dan ucapannya yang mungkin sudah kelewat batas.
Padahal, Elang ingat betul jika Amira akan selalu membalas semua ucapan nyelekitnya sebelum kejadian ini. Tahun lalu, saat acara bakti sosial itu dilaksanakan, tidak terhitung jumlahnya perdebatan sengit yang terjadi di antara Amira dan Elang. Elang yang selalu mencela dan mengomentari semua gerak-gerik Amira dan cewek itu akan membalas semua ucapannya.
“Lang?”
Satu sentuhan di lengannya terasa seperti sengatan lebah, membuat Elang tersentak dan menoleh. Tasya terlihat khawatir di depannya. Cewek itu tersenyum tipis dan sentuhan di lengan Elang berubah menjadi usapan lembut.
“Kamu kenapa? Ada yang dipikirin?” tanya cewek itu. Nada cemas terdengar sangat jelas di kedua telinga Elang. “Aku manggil kamu dari tadi dan kamu sama sekali nggak merespon, Lang.”
“Maaf.” Elang mengambil tangan Tasya dan mencium punggung tangannya. “Aku lagi banyak tugas aja.”
“Tugas?” Tasya mengerjap. “Kamu banyak tugas dan kamu masih sempat-sempatnya ngajakin aku jalan-jalan? Ah, aku juga lupa kalau kamu bela-belain nggak hadir di rapat panitia demi nemenin aku ke kedai es krim yang ternyata tutup itu.”
“Hei, kenapa muka kamu jadi sedih begitu?” tanya Elang. Dia menarik tangan Tasya pelan hingga membawa tubuh cewek itu mendekat ke arahnya. “Aku ngelakuinnya dengan senang hati, kok. Aku justru ngerasa sedikit relax karena jalan seharian sama kamu. Tenang aja, soal tugas, aku bisa menyelesaikan semuanya malam ini.”
Tasya diam. Dia menatap mata Elang dan akhirnya menarik napas panjang sebelum tersenyum lembut. Cewek itu merapikan rambut Elang yang sedikit berantakan karena tertiup angin malam.
“Kalau begitu, kamu hati-hati pulangnya, ya!” perintah cewek itu.
“Sya, rumah aku cuma beda lima rumah dari rumah kamu. You don’t have to worry about me, alright?”
Sambil tertawa, Tasya mengangguk dan melambaikan tangannya ke arah Elang yang sudah bersiap-siap. Cowok itu mengenakan helmnya kembali walaupun jarak dari rumah Tasya ke rumahnya sangat dekat.
Setelah berpamitan, Elang menjalankan motornya ke rumah. Ketika berhenti tepat di depan pagar rumahnya, ponsel cowok itu berbunyi. Satu sms diterima oleh Elang dan cowok itu mengerutkan kening kala melihat nama Beno di sana.
Dia segera membuka sms tersebut dan mendesah panjang. Decakan itu lolos dari mulutnya dan cowok itu sedang memikirkan kalimat yang pas untuk membalas sms Beno itu.
“Ampun, deh!” seru Elang pasrah. Dia segera mengetik sms balasan untuk Beno dan memasukkan ponselnya kembali ke saku celana jeans.
###
Amira memutuskan untuk tidak membeli makanan apa pun ketika insiden di mall bersama Elang itu terjadi. Nafsu makannya lenyap tak berbekas. Cewek itu akhirnya keluar dari mall, memanggil taksi dan menyebutkan alamat kampusnya.
Lebih baik dia datang menghadiri rapat ketimbang pulang ke rumah dan berpotensi menangis lagi di kamar karena ucapan dan sikap menyebalkan Elang yang sudah kelewat batas menurutnya. Entahlah, padahal sebelum ini, Amira boro-boro menangis karena Elang. Dia bahkan selalu membalas ucapan Elang dan tidak pernah sudi untuk kalah dari cowok itu. Mungkin hari ini dia terlalu sensitif.
Begitu sampai di kampus, jarum jam sudah mengarah ke angka enam. Di dalam lembaga, hanya ada Beno sendiri. Cowok itu diam dan tidak menoleh sama sekali ketika Amira membuka pintu. Ketika Amira berdiri tepat di hadapan Beno, barulah cowok itu bereaksi. Dia mendongak, menatap Amira dengan tatapan tegasnya.
“Lo udah nggak mau jadi anggota organisasi dan panitia lagi, Mir?” tanya Beno tadi dengan nada dingin. Baru pertama kali cowok itu berbicara dengan nada tersebut kepada Amira. “Dua kali lo nggak datang rapat. Lo tau itu, kan?”
Kepala Amira mengangguk kemudian menunduk. Matanya mulai panas dan cewek itu mencoba sekuat tenaga untuk tidak menangis di depan Beno. Dia tidak ingin Beno menganggapnya sebagai cewek cengeng yang hobi menggunakan air mata sebagai senjata untuk membuat orang lain merasa kasihan atau iba.
“Maaf, Kak...,” lirih cewek itu. Beno menghela napas panjang.
“Mir, tolong jangan begini. Acara kita udah semakin dekat dan semuanya harus kita persiapkan semaksimal mungkin. Kalau lo ada masalah, tolong lo jangan mencampurkan masalah pribadi lo sama kegiatan organisasi. Kasian sama anak-anak yang lain, Mir.”
Amira hanya diam. Sampai akhirnya, Beno bangkit berdiri.
“Kalau lo izin ke gue seperti Elang atau Brian, mungkin gue akan mentolerir. Lo sama sekali nggak izin dan nggak bisa dihubungi. Dua kali berturut-turut, Mir. Selama lo jadi anggota organisasi, gue baru ngeliat lo kayak gini. Dan jujur aja, gue sangat kecewa.” Beno menggelengkan kepala kemudian mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. “Tolong lo periksa lagi semua dokumen itu, Mir. Itu hukuman buat lo. Ada laptop di lemari, jangan lupa lo balikin ke tempat semula kalau lo udah mau pulang. Jangan lupa juga kunci lemari itu dan lembaga ini. Nggak apa-apa, kan, kalau gue nyuruh lo ngerjain semua itu di sini? Masih ada anak-anak kelas intensif yang kuliah malam juga, jadi lo nggak sendirian di kampus.”
Amira mengangguk. Dia melirik jam tangannya. Masih jam enam. Mungkin dia hanya butuh waktu setengah jam untuk memeriksa semua dokumen itu.
“Ah, satu lagi.”
Amira menatap Beno dengan kening mengerut.
“Ada salah satu anggota panitia yang ngasih usul ke gue. Kita akan mengadakan drama di acara makrab nanti.”
“Drama?” tanya cewek itu memastikan. Beno mengangguk.
“Iya, pementasan drama. Karena lo suka menulis cerita fiksi, gue harap lo nggak keberatan nulis skenario ceritanya. Drama yang bakal kita mainkan itu Putri Salju.”
Kedua mata Amira mengerjap. Putri Salju? Yang benar saja! Anggota panitia yang mana, sih, yang mengusulkan drama tersebut? Itu harus ada adegan ciumannya, kan? Ya ampun!
“Bisa kan, Mir?”
Amira tergeragap dan mengangguk. Oke, setengah jam tidak cukup. Dia butuh waktu satu jam paling lama.
Sebelum Beno meninggalkan ruangan tersebut, Amira memanggilnya dan menanyakan soal Brian. Cowok itu mengangkat satu alisnya kemudian menggeleng. Dia bilang, dia tidak melihat Brian sejak siang. Sama seperti Amira, cowok itu pun tidak bisa menghubungi Brian.
Mendadak, perasaan Amira menjadi tidak enak. Dia khawatir dengan keadaan Brian yang dianggapnya agak aneh itu. Tidak biasanya Brian akan memutuskan sambungan telepon seperti tadi, terlebih sebelumnya, cowok itu berbicara dengan nada datar dan terkesan emosi.
Dokumen sudah dia periksa seluruhnya, sementara skenario tentang Putri Salju baru selesai setengahnya. Cewek itu baru sampai pada adegan di mana sang Pangeran menemukan tujuh kurcaci sedang mengelilingi Putri Salju yang sudah mati karena memakan apel beracun. Dilihatnya jam yang menggantung di dinding dan cewek itu mendesah panjang. Sudah pukul tujuh kurang lima belas menit.
Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Amira terlonjak dan menoleh. Cewek itu mematung di tempat tatkala mendapati sosok Elang memasuki ruangan tersebut. Wajah cowok itu sangat datar, sedatar tatapan matanya. Dia menaruh sebuah kantung plastik berwarna putih dengan label sebuah mini market di atas meja.
“Gue ditelepon Kak Beno. Dia suruh gue untuk bantuin lo meriksa dokumen dan menulis skenario tentang pementasan drama nanti.” Cowok itu menarik kursi dan duduk di sana. Matanya masih menatap Amira yang juga bertahan menatap ke arahnya. “Kenapa malah bengong?”
Amira tersadar dan berdeham. Dia membereskan dokumen yang diberikan oleh Beno, menyimpan semua data di laptop kemudian mematikannya. Dia malas berurusan lagi dengan manusia bernama Elang itu.
“Mau ke mana, lo?” tanya Elang dengan nada dingin. Cih, coba lihat saja gaya dan dengar suaranya! Sudah seperti orang paling berkuasa di muka bumi ini!
“Pulang,” jawab Amira ketus. “Gue akan lanjutin pekerjaan ini besok dan gue nggak butuh bantuan lo sama sekali!”
Baik Elang maupun Amira tidak ada yang bersuara kembali. Hanya terdengar suara grasak-grusuknya Amira saja, ketika cewek itu membereskan semua barang di dalam ruangan. Sampai kemudian, cewek itu berjalan melewati kursi yang diduduki oleh Elang dan mendapati tangan cowok itu mencekal lengannya.
“Hadapi gue kalau lo emang benci sama gue, Amira! Jangan menghindar layaknya anak kecil!” desis cowok itu.
Amira mendengus kemudian menyentak tangan Elang yang mencekal lengannya. Cewek itu menatap dingin Elang, membiarkan cowok tersebut melihat semua emosi dan amarah yang ditunjukkan untuknya.
“Gue emang lagi menghadapi lo, Elang Mahendra. Cuma, cara gue menghadapi orang yang gue benci adalah dengan menghindarinya karena gue nggak sudi berurusan sama mereka. Paham?”
Keduanya saling tatap dalam diam, menguliti masing-masing dari lawan bicara dengan tatapan tajam. Elang bisa merasakan dan melihat semua emosi Amira, sementara cewek itu sama sekali tidak bisa menebak apa yang ada pada kedua mata Elang.
Tidak tahan dengan situasi itu, Amira memutuskan kontak mata mereka dan kembali melanjutkan langkah. Tepat di ambang pintu, cewek itu kembali berhenti. Dia menelan ludah susah payah. Rasa nyeri itu datang secara tiba-tiba, menghajar lambungnya tanpa ampun.
Kalau dipikir-pikir lagi oleh Amira, dia memang belum makan apa pun hari ini. Hanya sempat sarapan dengan roti tawar, itu pun tidak dihabiskannya. Sampai saat ini, lambung cewek itu kosong dan sekarang adalah konsekuensi yang harus dia tanggung karena belum memasukkan makanan apa pun.
Elang menyadari hal tersebut. Cowok itu berjalan mendekati Amira dan berhenti hanya beberapa senti saja di belakang Amira. “Lo sakit,” kata cowok itu tanpa diminta.
“Bukan urusan lo! Gue nggak butuh bantuan lo!” bentak Amira.
Cewek itu berniat untuk melanjutkan langkah, namun rasa nyeri itu semakin menjadi. Perlahan, tubuh Amira membungkuk karena tidak kuat dengan rasa nyerinya. Tangan kanannya ditekankan ke perut kiri dengan maksud untuk mengurangi rasa nyeri tersebut, tapi tidak berhasil. Melihat itu, Elang berdecak dan langsung memegang kedua lengan atas Amira yang ditepis oleh cewek tersebut.
“Jangan sentuh gue!” seru Amira keras. Tapi, Elang tidak mengindahkan. Cowok itu kembali memegang kedua lengan atas Amira. Kali ini lebih kuat, sehingga Amira tidak bisa menepisnya lagi.
“Gue bilang, jangan sentuh gu—“
“Lo bisa diam, nggak?!”
Amira kaget. Tidak menyangka Elang akan membentaknya seperti tadi. Cewek itu mendongak dan bertemu mata dengan Elang. Elang memapah tubuh Amira ke kursi. Dia mencari sesuatu di kantung plastik dan mengeluarkan sebungkus roti juga s**u kotak rasa vanilla.
“Makan.”
“Lo nggak berhak buat—”
“Gue bilang makan, Amira!” Lagi, Elang memotong ucapan Amira dengan tegas.
Cewek itu mengerjap dan mendengus. Diambilnya juga roti itu dan dibukanya. Bukan karena dia menuruti perintah Elang dan bukan juga karena dia takut pada cowok itu. Dia terpaksa karena penyakit sialannya itu kambuh di saat yang sangat tidak tepat.
Elang tidak lagi bersuara. Sebagai gantinya, dia mengawasi Amira yang sedang makan melalui tatapannya. Benar-benar cewek keras kepala dan juga cerewet yang sangat menyebalkan! Kalau saja dia harus mengurus cewek-cewek lain yang sifatnya sama seperti Amira, mungkin Elang lebih memilih untuk terjun saja ke sungai sss.
“Lo tau Amira?”
Suara Elang terdengar sangat jauh dan seperti menerawang. Amira yang sedang mengunyah kontan menatap cowok itu meskipun enggan. Yang ditatap hanya mengetuk jari ke atas meja seraya menunduk. Elang sama sekali tidak menatap ke arah Amira saat cowok itu sedang berbicara. “Gue benar-benar sial harus kenal dan berurusan sama lo.”
Sialan si Elang! Ucapannya itu benar-benar terbalik! Harusnya, Amira yang bilang hal itu kepada Elang, bukan sebaliknya. Ya Tuhan... entah sampai kapan Amira harus bersabar menghadapi Elang. Semoga setelah acara makrab ini, dia tidak perlu lagi berurusan dengan cowok dingin itu!
“Hal lainnya yang bikin gue yakin kalau lo adalah kutukan buat gue, saat Kak Beno bilang ke gue kalau di pementasan drama nanti, gue akan menjadi Pangeran dan lo adalah si Putri Salju.”
Jeda beberapa saat. Sampai kemudian, Elang melirik Amira yang kini batuk-batuk dengan hebohnya sambil memukul dadanya pelan guna memperlancar roti yang dikunyahnya tadi masuk ke tenggorokkannya. Cewek itu bahkan menatap Elang dengan tatapan tidak percaya dan kedua mata berkaca akibat insiden tersedaknya barusan.
###
Elang hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil mengambil helm yang ditaruh di stang motornya.
Cowok itu melirik Amira yang terlihat sangat gusar sambil sesekali berdecak dan mondar-mandir nggak jelas di tempatnya. Dari pelataran parkir saja, Elang bisa melihat tingkah Amira yang sedang menunggu taksi di depan gerbang kampus mereka dan sudah pusing dibuatnya, bagaimana jika Elang harus berada di sekitar cewek itu? Bisa-bisa, dia ikutan gila seperti Amira.
Sementara itu, Amira sedang sibuk memikirkan cara untuk berbicara dengan Beno mengenai dirinya yang dijadikan Putri Salju dan si cowok menyebalkan itu sebagai Pangerannya. Kurang ajar benar si Beno, menunjuknya sebagai tokoh utama tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. Cowok itu bahkan tidak berkata apa pun di saat Amira datang ke lembaga sore tadi!
Asyik dengan rencananya itu, Amira tidak sadar jika motor Elang sudah berhenti tepat di sampingnya. Dia baru menoleh ketika terdengar suara klakson, kemudian mengusap dadanya pelan sambil menggerutu dan mendumel.
Dasar kulkas!
“Apa?” tanya Amira nyolot. Cewek itu memberikan Elang tatapan ala Medusanya.
“Nggak kenapa-napa.” Elang mengangkat bahu kemudian menaikkan kaca helmnya. “Gue cuma mau ngasih tau elo supaya lo lebih meningkatkan stok kesabaran selama nanti kita latihan untuk pementasan drama—dan gue yakin, kita pasti akan latihan. Lo tentu tau kalau gue sebal dengan cewek kayak lo, kan?”
Cewek kayak gue?! Amira membatin.
“Apa maksud lo ngomong kayak tadi?” tanya Amira sengit. “Emangnya kenapa dengan cewek kayak gue?”
“Masih nanya?” Elang memutar kedua bola matanya. “Lo itu cewek paling berisik dan menyebalkan yang pernah gue kenal, paham?”
Amira mendengus. “Nggak sadar diri,” gumam cewek itu pelan, membuat Elang mengangkat satu alisnya.
“Apa kata lo?”
“Pulang aja sana! Lo bikin gue mual, tau?!” hardik Amira. Cewek itu langsung menggeser tubuhnya beberapa langkah kemudian bersedekap. Diliriknya sekilas Elang dan cowok itu masih berada di tempatnya semula.
Elang tidak mengatakan apa pun. Dibalik helm yang membingkai wajahnya, ada seulas senyum kecil yang terbit. Dia senang dengan kenyataan bahwa Amira baik-baik saja dan sudah bisa membalas semua ucapannya.
Wait!
Dia bilang, dia senang melihat Amira baik-baik saja? Sudah gila, kali! Dia sama sekali tidak peduli dengan apa pun yang menyangkut cewek itu! Pasti dia sudah salah makan atau kerasukan makhluk halus yang menunggu kampusnya.
Tiba-tiba, sebuah motor Ninja berwarna hitam muncul tepat di depan Amira. Cewek itu bahkan sampai mundur dua langkah dan mengerutkan kening, sementara Elang mengawasi dengan sikap awas dari tempatnya. Ini sudah malam. Sebenci dan sekesal apa pun dia pada Amira, dia tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk menimpa cewek berisik itu.
“Brian?” Kening Amira semakin mengerut. “Kok lo tau gue ada di kampus?”
Elang mencibir. Sahabatnya ternyata.
“Kak Beno tadi kasih tau gue,” jawab Brian pelan. “Ada yang harus gue ceritain, Mir. Ini soal... Kak Alfar.”
Amira membeku di tempatnya. Gestur cewek itu berubah, Brian sadar akan hal itu. Terlebih raut wajahnya. Dan ternyata, bukan hanya Brian yang menyadari perubahan air muka serta gestur tubuh Amira, melainkan juga Elang. Cowok itu bahkan sampai mematikan mesin motor dan menonton percakapan yang terjadi di antara sepasang sahabat itu.
“Bisa ikut gue?” tanya Brian.
Amira tidak langsung menjawab. Kepalanya mendadak pening. Semua hal yang berkaitan dengan Alfar selalu membuatnya kalah. Baru beberapa jam dia bisa melupakan sosok cowok itu karena disibukkan dengan tugas dari Beno, sekarang dia harus dihadapkan lagi pada kenyataan.
“Lebih baik,” sela Elang mendadak, membuat Brian menoleh sementara Amira menatap aspal di bawah kakinya dengan tatapan tidak fokus. “Lo bawa dia pulang. Dia lagi sakit kalau lo mau tau dan nyaris pingsan dua kali.”
Kini, tatapan Brian terlihat menuntut. Cowok itu bahkan tidak menyangka jika Elang bisa mengetahui hal tersebut. Brian langsung memegang lengan Amira, menyadarkan cewek itu dari lamunannya. Diberikannya seulas senyum untuk sahabatnya itu.
“Gue akan antar lo pulang,” kata Brian lembut. “Soal Alfar, kita akan bicara lagi nanti.”
Amira hanya bisa mengangguk dan naik ke jok belakang motor Brian. Sekilas, Brian melirik Amira melalui kaca spionnya dan menghela napas. Dinyalakannya mesin motor dan dibawanya cewek itu pulang. Meninggalkan kampus dan juga Elang yang masih setia bertahan di atas motornya.
“Alfar?” gumam cowok itu pada dirinya sendiri. “Siapa itu Alfar?”