Bab 2
Sejak kedatangannya beberapa bulan lalu, Elena dengan giat membantu adik dan juga iparnya, mengurus perusahaan yang di bangun papanya.
Dahulu dia dengan percaya diri menolak untuk meneruskan usaha keluarganya itu dan lebih memilih ikut suaminya, tinggal di luar negeri.
Papanya yang sudah berumur serta sakit-sakitan, akhirnya menyerahkan perusahaan mereka pada calon menantunya, waktu itu, yaitu Cristian Lazuardy, suami Zahra sekarang.
Rupaanya Cristian bukanlah orang yang tamak, dia selalu berusaha untuk mengikut sertakan dirinya berperan aktif di perusahaan dan memberinya kepercayaan untuk mengurus banyak hal di sana.
Siang ini Elena harus pergi menemui seorang client, adik iparnya mengatakan kalau dia akan di temani asisten pribadinya yang bernama Doni.
Elena hanya di minta untuk menandatangani berkas kerja sama yang mereka ajukan.
Elena meminta adiknya untuk menjemput Aline di sekolahan, karena dia terburu-buru dan tidak sempat ke sekolahan.
"Pak Doni yakin kalau orang itu akan datang? Kenapa jam segini belum muncul juga?"
Kesal karena orang yang akan mereka temui terlambat datang, Elena terus menerus ngomel.
"Pasti datang Bu El, dia yang mengajukan kontrak bukan kita,” ucap Doni santai dan juga deg degan, dia masih sedikit trauma, takut kalau sifat Elena sama seperti Zahra.
"Ck. Dan dengan bodohnya kita yang nangkring di sini, ampek p****t kapalan nunggu dia." Gerutunya.
Doni hanya nyengir mendengar ocehan Elena.
Dia bersyukur karena yang pergi bersamanya Elena bukan Zahra, walau tetap dalam mode waspada!
"Pak Doni kenapa? Malah senyam senyum gak jelas gitu?" Elena menatap Doni dengan waswas.
"Tidak apa-apa Bu! Hanya sedikit senang karena bukan adik ibu yang saya temani." Doni hanya melanjutkan kata-katanya dalam hati saja.
Tiga luluh menit berlalu akhirnya orang yang mereka tunggu datang juga.
Elena terkejut begitu melihat siapa yang datang menghampiri mereka. "Brondong tetangga Zahra? Apa dia orang yang harus gue temui?" Elena memasang wajah datar dengan tatapan mengintimidasi.
"Selamat siang Pak Doni, Bu Elena!" Wajahnya terlihat kaget begitu melihat wanita cantik di hadapannya.
"Siang juga Pak Davi,” Elena menjawab sapaan Davi dengan raut wajah kurang bersahabat.
Davi tersenyum manis. "Maaf saya terlambat, jalanan sangat macet,” ucap Davi penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa, kami cuma menunggu satu jam saja kok, iya kan, Pak Doni," Elena melirik Doni dengan tatapan tajam.
Doni tersenyum kecut dan mengangguk.
Davi salah tingkah dia tahu kalau dia salah, seharusnya tidak sampai membuat calon investor di perusahaan menunggu.
Elena mempersilahkan Davi untuk segera duduk, karena suasana hatinya sedang tidak bagus. Di tambah dia melihat wanita yang berdiri di samping Davi, wanita cantik dengan pakaian ketat, mendadak hatinya berasap padahal tidak ada yang menyalakan api.
Elena tidak mau membuang waktunya cuma-cuma, dia langsung membicarakan masalah pekerjaan. Lebih cepat lebih baik pikirnya.
Sesekali Davi melirik Elena, perempuan cantik berwajah oriental itu selalu mengenakan pakaian yang modis, untuk ukuran seorang sosialita tentulah itu sangat biasa saja.
Dalam hati Davi menebak-nebak usia Elena. Setahu dia usia Zahra sama dengan dirinya. Itu artinya usia Elena tidak jauh dari usia mereka berdua.
"Ada yang aneh di wajah saya Pak Davi?" tanya Elena dengan sedikit sinis.
Davi gelagapan karena ketahuan menatap wajah wanita di hadapannya.
"Ti tidak ada!" Davi memalingkan wajahnya yang merona, entah karena apa.
Sifatnya yang kadang judes, mengingatkan Davi pada Zahra, hanya saja Elena tidak sejudes dan secuek Zahra.
Setelah segala urusannya dengan Davi selesai, Elena menyerahkan map berisi berkas-berkas pada Doni untuk di periksa lagi.
"Sudah selesai semua, Bu, “ ucap Doni.
Elena mengangguk, setelah berbasa basi sebentar dia segera berpamitan.
Davi menatap kepergian Elena dengan perasaan tidak menentu.
Kenapa pikirannya selalu membandingkan wanita itu dengan Zahra?
"Pak Davi kenal wanita tadi ya?" Lina menatap Davi yang masih memperhatikan Elena dari kejauhan.
"Iya,” sahut Davi singkat.
"Sepertinya dia sudah tuaan ya Pak?" Lina kembali buka suara.
Davi berdecih. "Jaga ucapan dan sopan santun kamu Lin,”
Lina hanya mendengus dalam hatinya, begitu mendapat peringatan dari Davi.
Keduanya segera meninggalkan restoran. Sepanjang perjalan menuju mantor tidak sepatah katapun terucap dari mulut Davi, pikirannya teringat akan Elena yang tidak seperti biasanya.
"Kenapa juga jadi mikirin yang gak jelas! Huuuhhh...dia cuma wanita aneh." Davi menghela nafas panjang.
***
Tiba di kantor Elena Wijaya, berjalan dengan sangat terburu-buru, dia bahkan tidak menghiraukan sapaan dari beberapa karyawan yang kebetulan berpapasan dengannya.
Elena bahkan beberapa kali menekan tombol lift supaya lekas terbuka. Dan tabung berwarna silver tersebut seolah sedang mempermainkan dirinya, karena tak kunjung terbuka.
"Sabar El sabaaarrr.” desisnya sembari menarik nafas panjang.
Setelah lift terbuka, setengah melompat dia masuk dan menekan tombol angka yang ada di dinding lift.
Lift berdenting berbarengan dengan pintunya yang terbuka, Elena segera keluar dan langsung menuju ke ruangan adik iparnya.
"Bu! bu El ..." Elena mengabaikan panggilan Wina, sekretaris Cristian. “Diih si Ibu, main selonong saja!” sambung Wina, dia mengedikkan bahu lalu kembali duduk di tempatnya semula.
Tanpa permisi lagi dia langsung saja membuka pintu dan kesialannya berlanjut.
Di dalam ruangan terlihat jelas dengan kedua matanya, adik bungsunya tengah bergelayut manja bak anak koala, kedua tangannya melingkar di leher suaminya dengan posisi duduk miring di atas pangkuan.
Walaupun mata Cristian menatap layar laptop, tapi kedua tangannya terlihat mengelus-elus punggung istrinya, persis orang yang sedang menidurkan bayi.
Rasanya Elena ingin sekali menghilang ke dalam tembok saat ini juga.
"Ekheemm" Elena sengaja berdehem cukup keras berharap pemandangan di depannya berubah, adiknya kaget dan jatuh kek, biar dia bisa tertawa puas.
Tetapi jangankan terjatuh, bergeser 1 inci saja sepertinya tidak. Zahra terlihat tidur nyaman di buaian suaminya.
"Bagaimana, sudah bertemu?" Pertanyaan apa pula itu, Elena mendengus mendengar ucapan Cristian.
"Gila saja, masa iya aku yang di suruh nunggu di sana 1 jam, coba bayangin? duduk nungguin tuh Bocah, seperti orang b**o!" Oceh Elena berapi-api.
"Lalu, bagaimana akhirnya?"
"Sudah di tanda tangani, kasihan dia kalau kontraknya di tolak,” ucap Elena menggebu-gebu, andai di dalam film kartun mungkin sekarang dari kepalanya terlihat mengepul asap putih dan dari kedua telinganya keluar api.
"Kasihan apa kasihan?" Terdengar suara parau ala bangun tidur adiknya.
"Diem kamu, tidur saja sana!" Sahut Elena masih dengan wajah kesalnya.
"Mana bisa tidur kalau Kakak berisik terus!" Ucapan bernada kesal dari adiknya membuat Elena melongo.
‘Kan dia yang kesal dari tadi kenapa pula adiknya jadi ikut-ikutan.
"Aku tahu kalian ini masih pengantin baru, tapi gak usah jadikan kantor tempat nananina juga kali,” Terlanjur kesal dan emosi, akhirnya Elena nyablak sekalian.
"Kakak gak tahu apa? Kalau quick s*x di kantor itu sangat...
"Raa! ...kamu sudah ketularan m***m suami kamu ya?" Elena sampai harus berteriak, karena mendengar ucapan nyeleneh adiknya.
Bagaimana tidak terdengar aneh dan nyeleneh, adiknya yang biasa kalem dan tutur bahasanya sangat terjaga, tiba-tiba jadi serba v****r begitu. "Lagian kamu kenapa sih, Ra, gelayutan udah mirip Koala di pohon pisang!"
"Mana ada Koala di pohon pisang!" Sergah adiknya dengan suara tak kalah kencang. Tapi anehnya Cristian tetap diam tidak bereaksi, apa telinganya tidak pengeng mendengar suara teriakan istrinya.
"Terserah kalian lah, aku keluar, dari pada lama-lama kalian live adegan 21++ di sini."
Elena langsung keluar tanpa mengindahkan suara kekehan adik bungsunya.
Siapa yang tahan kalau melihat orang mesra-mesraan terus menerus yang ada jadi pengen terus ngenes karena tidak memiliki pasangan.
Double ngenes ++ jadinya.
Elena masih terus ngedumel sepertinya hari ini benar-benar sangat buruk.
***
Elena menaruh pen yang sedari tadi di pakaianya untuk curat coret di kertas.
Tatapan matanya nanar melihat hasil tulisannya sendiri, dadanya terasa semakin sesak, mengingat kisah rumah tangganya yang berantakan. Masih segar dalam ingatan bagaimana rasa kecewa dan sakit hatinya karena pengkhianatan.
Sekarang, bolehkah Elena berharap dan bermimpi. Bermimpi mendapatkan seorang pendamping yang setia, yang bisa di jadikan panutan untuk dirinya juga putri kecilnya.
Mengingat tentang Aline membuat Elena mengerang frustrasi. Putrinya yang selalu menanyakan keberadaan ayahnya dan selalu mengharapkan kehadirannya.
Namun apa daya, orang yang selalu di rindukan Aline tidak pernah peduli jangankan menemuinya menelpon saja dia tidak pernah, putrinya yang malang.
"Mamiihhh!”
Elena tersadar dari lamunan panjangnya, dia langsung mengusap wajahnya dan menarik nafas dalam-dalam.
"Yes, sweet heart,”
"may I come in? Mamih," Suara cempreng anaknya kembali terdengar dari luar.
"Tentu saja Sayang,”
Aline langsung menerobos masuk, dan menatap maminya.
"Mamih lagi apa?" Aline menaiki tempat tidur dan merangkak mendekati Elena.
"Hanya tiduran saja, kenapa anak Mami belum tidur?"
Aline mengerjapkan kedua matanya terlihat sangat lucu dan menggemaskan.
"Aline mau tidur sama Mamih,"
"Baiklah Princess, waktunya kita bobo!" Elena menarik putrinya dan memeluknya dengan sayang.
Aline tertawa karena merasa geli, begitu jari-jari Elena menyentuh kulitnya.
Setelah putrinya tidur, Elena langsung bangun dan turun dari atas ranjang.
"Maafkan Mami sayang.”Ucapnya dengan suara pelan.
Hari demi hari berlalu, minggu berganti bulan, tidak terasa Elena dan putrinya sudah hampir satu tahun tinggal di Indonesia.
Bukan hanya kehidupannya yang sudah mulai terlihat normal, tapi hati dan pikirannyapun ikut membaik.
Perlahan tapi pasti, Aline sudah jarang sekali menanyakan keberadaan ayahnya, mungkin karena seringnya berinteraksi dengan sang Opah, dan juga Omnya, yang selalu rutin mengajak dia bermain dan jalan-jalan.
Elena Wijaya, walaupun kehidupannya terlihat normal dan bahagia, tapi siapa yang tau, apa yang di rasakannya.
Orang melihatnya hidup senang bergelimang harta, walau tanpa suami, dia masih bisa bahagia.
Tetapi kenyataannya, harta yang melimpah tidak membuat hidupnya menjadi bahagia dan sempurna.
Pagi hari..
Seperti biasa Elena menyiapkan sarapan untuk putrinya dan juga membuatkan bekal untuk di bawa ke sekolah.
"Pagi Mamih," Aline datang berlari dan langsung duduk di kursi makan.
"Pagi Sayang, susunya di minum dulu ya,”
"El, adikmu tadi telepon suaminya tidak enak badan, jadi tidak masuk kantor." Tuan Wijaya menatap putri sulungnya yang masih sibuk menyiapkan makanan.
"Si Cris bisa sakit juga?" Jawab Elena tak acuh.
"Om juga manusia Mamiih!” Sahut putrinya dengan suara ketus.
Elena memutar bola mata malas. "Iya yaa!" Ucapnya dengan malas.
"Jadi, aku di suruh ngapain, Pah?" Elena menoleh pada papanya.
"Cris bilang, hari ini ada pertemuan di kantor, kamu gantikan dia, nanti ada asistennya yang nemani kamu!" Pak Wijaya menjelaskan tugas Elena hari ini, ya itu harus menemui client.
Elena terdiam sesaat, kemudian mengangguk. "Baiklah, aku ke kantor setelah mengantar Aline sekolah.”
"Berhati-hatilah. Kenapa tidak pakai sopir saja El?" Mamanya ikut buka suara.
"Ribet Mam, enakan juga nyetir sendiri,” ujar Elena, yang selalu menolak, jika di suruh pergi bersama sopir.
"Terserah kamu saja yang penting selalu berhati-hati, jangan teledor!" Mamanya kembali menaseghati.
"Iya Mam! Aline habiskan sarapannya, kita pergi pagian."
Aline hanya melirik sekilas, kemudian melanjutkan sarapan paginya.
***
Davi keluar dari rumahnya di ikuti Nisa, keponakannya.
"Cepat sedikit Nis,”Ucap Davi, yang melihat Nisa berdiri sambil bermain ponsel.
"Iya Om, bentar!" Sahut Nisa dengan suara pelan.
"Dav, lo mau berangkat ngantor ya?"
"Iya, kenapa? Lo mau ikut gue?"
"Hehe...iya, gue numpang ke kampus!"
Davi hanya bergumam mendengar ucapan tetangganya yang saban pagi selalu numpang. Tatapan matanya sekilas memandang rumah yang tepat berada di sebelah rumah keluarganya, rumah mungil bergaya minimalis yang sekarang kosong karena para pemiliknya sudah pindah beberapa bulan lalu.
Davi menghembuskan nappas pelan, kemudian masuk ke dalam mobil, di sebelahnya Nisa sudah duduk manis.
"Nis, kamu gak di anter pacar ke sekolahnya?"
Nisa memutar kepalanya ke arah belakang, dan menatap orang yang barusan bicara padanya.
"Aduh Mbak, Nisa kan di anter Om Davi, kenapa harus minta orang lain yang nganter coba?" Jawabnya agak kesal. "Harusnya mbak Avriel tuh, yang udah dewasa, nyari pacar sana buat antar jemput ke kampus." Lanjutnya sembari terus bermain ponsel.
Avriel yang duduk di kursi tengah hanya mendengus mendengar perkataan Nisa, hatinya terasa kesentil.
Bukannya Avriel tidak mau punya pacar, hanya saja dia mencari yang sesuai dengan standarisasi dalam imajinasinya, suami idaman seperti dalam drama Korea yang hampir setiap malam di tontonnya.
"Om, nanti Nisa pulangnya naik goje* aja ya."
"Iya, langsung pulang ke rumah,”
"Ok!" Nisa mengacungkan jempolnya. "Om gak pernah ketemu Tante Zahra ya?"
"Hm jarang, kenapa?"
"Kangen aja, udah lama gak liat Tante Zahra, udah gak pernah nyicipin masakannya lagi," ucap Nisa, Davi melirik keponakannya sekilas.
Keponaakannya yang jarang keluar rumah dan sangat jarang berinteraksi dengan orang orang lain mengatakan kangen pada wanita seacuh dan secuek Zahra.
Davi mengantarkan Nisa sampai di depan gerbang sekolahan. Dan sekarang harus mmengantarkan Avriel ke kampusnya.
Hatinya sangat khawatir entah karena apa. Davi ingat hari ini ada pertemuan dengan pimpinan Wijaya Group, Cristian Lazuardy. Pikirannya tidak tenang. Beberapa kali Davi membuang napas kasar mencoba menghilangkan keresahan hatinya.
"Astaghfirullah." Ucapnya sembari menghela napas dalam.
"Lo kenapa sih Dav? Gue perhatiin kayak orang gelisah gitu?" tanya Avriel keheranan melihat sikap Davi.
"Huh? Tidak apa,” sahut Davi tak acuh.
"Lo gak suka ya, kalau gue numpang mobil lo saban hari?"
Helaan napas berat dan panjang kembali Davi keluarkan dari rongga dadanya. Davi mengabaikan ucapan Avriel dan kembali fokus menatap jalan raya.
"Lo mau turun di mana?" Davi melirik Avriel dari balik spion mobilnya.
"Di halte depan kampus saja."
Keduanya kembali bungkam sampai Avriel turun di halte bis yang tidak jauh dari kampusnya. Avriel tampak menghampiri dua orang gadis lalu mereka berjalan beriringan menuju gerbang kampus.
Davi yang biasanya suka bercanda dan sesekali menggodanya, sekarang hanya membisu dan anteng dengan lamunannya.
Avriel merasa jengah melihat Davi yang hanya diam dan mengabaikan keberadaan dirinya. Bahkan saat turun tadi, Avriel tidak mengucapkan kata terima kasih seperti hari-hari sebelumnya, dia langsung turun dan mengabaikan Davi begitu saja.