bc

I Love You, Berondong

book_age16+
detail_authorizedAUTHORIZED
1.0K
FOLLOW
6.5K
READ
family
powerful
brave
CEO
drama
like
intro-logo
Blurb

Elena Wijaya janda cantik yang memiliki seorang anak perempuan berusia tujuh tahun nekat melakukan pendekatan pada seorang pria muda yang nota bene naksir adik bungsunya sendiri, Zahra. Tanpa kenal lelah Elena mendekati buruannya dengan berbagai cara. Semesta sepertinya mendukung tingkah absurd dan nyeleneh Elena, karena tanpa di duga, Aline, putri tunggalnya begitu menyukai pria yang sedang di dekatinya.

Davi Mahendra, pria yang di kenal baik dengan kehidupan lurus, tapi, entah keberuntungan atau mungkin nasib sial baginya. Tetiba di kejar-kejar janda genit beranak satu, kakak dari wanita yang di sukainya secara diam-diam. Wanita dewasa itu datang tiba-tiba dan mengacaukan hidupnya yang tenang dan damai. Membuat Davi sering melamun dan berhalusinasi bahkan memimpikan hal-hal yang sangat tabu.

Elena bukan hanya mengejar Davi, tapi, wanita itu juga berhasil merebut ciuman pertamanya yang selama kurun waktu 29 tahu di jaga oleh Davi untuk dia persembahkan pada istrinya kelak.

Namun, sikap Davi berubah saat melihat putri Elena yang masih berusia tujuh tahun. Gadis kecil mengubah sikap acuh dan tidak pedulinya. Bahkan Davi tidak mempedulikan kemarahan maminya yang tidak menyukai status Elena. Status janda merupakan sesuatu hal yang amat memalukan bagi keluarga Davi, terutama sang mami.

Bisakah Elena menaklukkan si Brondong, atau malah di kecewakan untuk kedua kalinya?

Lalu, bagaimanakah sikap Davi pada si Janda cantik, menerimanya atau tetap mengabaikannya?

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Bab 1 Pagi yang indah mengiringi hari si cantik Elena Wijaya, yang tengah berdiri di dekat mobilnya. Hari ini adalah, hari pertama putri semata wayangnya masuk sekolah, Elena menunggu si putri kecilnya dengan ekstra sabar. Karena ... Hampir setiap mata ibu-ibu menatap dirinya tidak suka. Kok bisa? Wajah cantik orientalnya sangat mencolok di antara wali murid lainnya. Di tambah penampilannya yang modis dengan segala macam brand ternama menempel di sekujur tubuhnya, plus kendaraannya yang mentereng. "Apa gue salah masuk sekolahan? Kok Eumak-eumak natap kayak ngajak perang gitu!" Elena mengusap tengkuknya yang merinding, karena terus menerus di tatap sinis ibu-ibu. "Kudu ngomong sama Papa nih, supaya si Aline pindah sekolah." Gumamnya sedikit frustasi. Suara bell sekolah berbunyi nyaring Elena tampak sumringah karena Aline akan segera keluar, pikirnya. Setelah menunggu hampir sepuluh menit Aline tak kunjung keluar, bahkan lehernya sampai kaku karena terus menerus melongok ke arah gerbang sekolahan yang bertulisakan Sekolah Dasar Negeri 1. Di sekolah itu bukan hanya Sekolah Dasar, namun ada juga sekolah SMP dan SMA. "Napa tuh Bocah sebiji kagak keluar juga? gak tau ape kalau Eumak nya udah mirip lampu stopan. Berdiri setengah harian di mari." Gerutunya, bibirnya masih terus komat kamit melafadzkan omelan tidak jelasnya. "Tadi bell apaan yang bunyi? kok anak gue kagak nongol juga!" Elena masih ngedumel sendirian. "Si Zahra sama si Elise saja sekolah dasarnya gak sampai setengah hari waktu kelas 1, kenapa si Aline sampai siang begini sih." Elena memijit betisnya yang nyut nyutan karena kelamaan berdiri, di tambah memakai heel. Pukul 1:00 WIB. Aline akhirnya terlihat keluar dari gerbang sekolah. "Mamih!" teriakan cempreng Aline terdengar nyaring dan memekakan telinga. "Anak Mami, kenapa lama sekali?" Elena tersenyum manis menyambut putrinya yang berlari menghampiri. "Aku tadi main dulu sama temen-temen Mih, seru deh ... main perosotan!" Ujar Aline tanpa dosa. Elena hanya bisa menarik napaa dan mengucapkan kata sabaaarrrrr dalam hatinya. "Ayo kita pulang, ada tante Zahra di rumah Omah." Aline berjingkrak kegirangan. Untuk anak seusia Aline, kehadiran tantenya bak malaikat. Karena maminya yang sangat cuek. Sedangkan tantenya sangat perhatian dan tentu saja penyayang. "Ck, giliran dengar nama Tantemu langsung jingkrak, Mami yang siang malam sama kamu kayak gak di anggep!" Gerutu Elena, bukan dia marah atau cemburu karena putrinya bersikap seperti itu. "Tante sama Mamih kan beda," ucap Aline dengan wajah serius. "Iyalah, serah kamu." "Mih lapar, kenapa kita masih diam di sini?" Elena memutar bola mata jengah. "Giliran lapar saja Aline minta pulang cepat, teruuss ... dari tadi ke mana ajah?” Aline nyengir mendengar ocehan maminya. Elena dan Aline memasuki mobil sport yang sedari tadi terparkir cantik. "Mih, besok-besok bawa mobil yang biasa saja, ‘kan malu di liatin orang terus, Aline gak mau ya kalau sampai kena bully gara-gara Mamih." Aline membuang muka ke arah samping, wajah imutnya terlihat merengut kesal. "Uluh-uluh anak Mamih ngambek sampai segitunya," "Habisnya Mamih nganter sekolah masa pake mobil begini, Tante aj... "Gak usah banding-bandingin sama Tante kamu deh." Sergah Elena, dia mulai sebal kalau putrinya mulai membandingkan dirinya dan adik-adiknya. Aline tertawa melihat sang mami kesal. "Mih, Aline kok gak pernah ketemu Papih lagi ya? Kan udah lama banget, Papih juga gak pernah telepon," Elena melirik putrinya suaranya dan juga ekspresi wajahnya, terlihat kekecawaan di sana. "Mungkin Papi Aline sibuk, Nak!" Ucapnya lembut, tangannya meraih tangan mungil Aline dan menggenggamnya erat. "Aline jangan dewasa dulu ya, mami tuh sukaaa....kalau Aline imut-imut dan lucu seperti ini," Mendengar ucapan maminya, wajah Aline langsung memerah dia tersenyum dan berbalik. "Iya dong, Aline gitu loh!" Ucapnya dengan wajah yang di buat seimut mungkin. Elena tertawa walaupun dalam hatinya menangis pilu. Putri kecilnya yang malang, bahkan tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ayah kandungnya sendiri. Mobil sport yang di kendarai Elena memasuki halaman sebuah rumah yang cukup megah dengan halaman luas. "Line, Aline, kamu tidur ya? Jangan tidur dong, mami mana kuat gendong kamu!" Aline menggeliat dan membuka matanya. "Iya Mih ini udah bangun." Elena menatap putrinya yang keluar terlebih dahulu. Ibu mana yang tidak merasakan sakit di saat anaknya dewasa sebelum waktunya, begitu juga dengan Elena. Aline putri kecilnya, bahkan pikirannya bisa lebih dewasa dari dirinya. Terakadang bertingkah dengan menasehatinya. Ada rasa bangga sekaligus terluka, putrinya yang malang, yang seharusnya masih mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya harus hidup seperti ini. Beruntunglah keluarganya sangat memperhatikan dirinya. Menyayangi serta membantu menjaga putrinya. Akan tetapi, semua itu tidaklah cukup, Aline tetap saja membutuhkan sosok seorang ayah. Apakah Elena egois, karena sudah memisahkan Aline dari ayahnya?. Tapi, siapa yang tahan, jika kehidupan yang di impikan berbanding terbalik dengan kenyataan? "Mamiih!” Lamunan Elena langsung buyar begitu mendengar teriakan sang putri. "Iya, ayo kita masuk,” Elena menggandeng tangan Aline, dan membawanya msuk kedalam rumah. Aline sangat gembira, karena akan segera bertemu dengan tante cantiknya. Di tambah, tantenya selalu membawakan mereka makanan enak untuk mereka semua. Seperti ucapan Elena tadi di rumah orang tuanya memang ada adiknya yang datang berkunjung. Aline sangat senang begitu melihat tantenya sudah ada di dalam rumah bersama sang Omah. "Tante Zahra!" Teriaknya sambil berlari menghampirinya. "Hai jangan lari dong, nanti kesandung!" Teriak Zahra pada keponakannya. "Enggak, Aline kan jagoan." Ucapnya dan langsung menghambur ke pelukan tantenya. "Aline udah masuk sekolah dasar ya, gimana tadi pelajarannya?" "Seru banyak temennya, tadi saja aku main perosotan dulu!" Alin menceritakan pengalaman pertamanya di sekolahan tadi, bagaimana serunya dia bermain dan bertemu dengan teman-teman barunya. "Waah ...senangnya!" Elena hanya mendesah lelah melihat kelakuan anak dan adiknya yang sok akur menurutnya. "Kalian berdua lebay banget," Ujar Elena. "Tuh Mami kamu cemburu Lin," Sahut Zahra. "Aline ganti baju dulu gih, jangan lupa cuci kaki sama tangan dan muka juga yaa! tante ada bawa makanan buat kamu.” "Siap tante.'' Aline menghampiri omahnya dan mencium pipinya, kemudian berlari menaiki tangga rumah menuju kamarnya. "Kak, jangan terlalu kaku begitu sama Aline," saran Zahra pada kakaknya, menurut dia kakaknya terlalu kaku dalam mendidik anak. Elena memutar bola mata jengah mendengar perkataan adiknya yang itu lagi, itu lagi. "Nanti kalau kamu punya anak, baru bisa ngerasain gimana tuh ngedidik bocah!" Ucap elena. "Itu bukan kaku Ra, aku gak mau ya, anaku jadi manja nantinya." "Iya kak iya, do'ain supaya aku cepet punya juga." "Aamiin" "Makanya usaha yang giat dong, Ra, ajak suami kamu liburan kek, jangan kerja melulu. Duit udah banyak juga buat apaan lagi sih,” "Mereka menikahnya juga baru kemarin El, belum bertahun-tahun," Sahut mamanya yang sedari tadi hanya menyimak obrolan kedua putrinya. "Ya ‘kan gak papah Mam kalau mereka cepet punya anak,” "Iya semoga saja.Zahra sama Cris secepatnya ngasih Mama sama Papa cucu,” "Ra, kamu bawa makanan apa tadi?" Zahra berdecap. "Soal makanan ajah cepet tanggep." Ucapnya dengan wajah cemberut. "Suami kamu gak di bawain bekal, Nak?" Nyonya Wijaya menatap Zahra. "Udah kok Mam, tadi sekalian Zahra antar.” Melihat mama dan adiknya membicarakan iparnya, rasa-rasanya d**a Elena sesak dan nafasnya mulai tidak teratur. Adiknya langsung bungkam begitu melihat ekspresi aneh di wajahnya. "Maaf Kak," "Kenapa minta maaf? bukan salah kamu." Bukan Elena cemburu atau iri dengan keharmonisan keluarga kedua adiknya. Hanya saja, terkadang dia masih merasakan sakitnya di khianati oleh mantan suaminya dulu. Elena sangat bersyukur kedua adiknya hidup sejahtera dan bahagia. "Kak," elusan adiknya menyadarkan Elena dari bayang-bayang masa lalu. "Iya gak papah Ra,” "Kakak makan dulu, aku tidak bisa lama-lama di sini!" "Kamu mau pergi?" "Iya mungkin sebentar lagi Mom datang jemput aku, dia sudah di perjalanan ke sini." Elena tersenyum bahagia, walaupun mereka bukan saudara biologis, tapi rasa sayangnya pada adik bungsunya sama seperti pada adiknya yang lain. "Kakak kenapa?" "Tak apa, semoga kamu bahagia selalu," Ucapnya tulus. "Aamiin, Kakak juga," Sebuah pelukan membuat tubuh Elena seolah beku, adiknya memang terkenal judes dan cuek jika di luaran, tapi di rumah sikapnya akan berubah menjadi adik kecilnya yang perhatian dan sangat pengertian. "Terima kasih,” "Aku pergi dulu, Kak, salam buat Aline," Adiknya mengurai pelukan dan menghampiri mama mereka. Setelah berpamitan dia pun langsung pergi. "El, apa kamu masih memikirkan mantan suamimu itu?" Tanya Mamanya. "Eh, apaan sih, Mam? Enggaklah ngapain juga," Elena tampak salah tingkah. "Mama cuma tanya, El, hidup harus terus berjalan kedepan, jangan hanya memikirkan orang lain, pikirkan dirimu sendiri dan Aline," Lanjut mamanya. "Iya Mam, aku mengerti! O iya lupa, nanti Mama mau ikut gak?" "Ke mana?" "Nyari baju buat Aline, sekalian kita jalan," "Kalian pergi saja, kaki Mama udah gak kuat jalan-jalan begitu,” "Ok. Apa Mama mau di belikan sesuatu?" "Tidak usah El, belanja keperluan kalian berdua saja,” Elena mengangguk. *** Sebuah mobil memasuki area parkir gedung perkantoran, tidak berapa lama keluar seorang pria berpakaian formal. Dengan langkah kaki lebarnya dia berjalan. "Siang Pak Davi." seorang security yang berada dekat pintu masuk menyapanya. Pria yang di panggil Davi hanya tersenyum dan melanjutkan langkahnya, memasuki gedung. Melihat postur tubuh dan wajah rupawannya, membuat beberapa wanita yang berpapasan melempar senyuman genit. Davi hanya tersenyum samar, seolah enggan untuk menanggapi mereka. Davi masuk ke dalam sebuah lift dan langsung menuju ke atas, di mana kantornya berada. Sampai di lantai yang di tujunya, lift berdenting, dia pun segera keluar dan menuju ruang kerjanya. "Siang Pak," seorang wanita berpakaian lumayan seksi menghampirinya dan menunduk dengan sopan. "Lina, apa tadi ada orang yang datang?" "Iya Pak, tapi dia hanya menitipkan map saja," "Tolong nanti bawa ke ruangan saya!" "Baik Pak,” Davi meninggalkan wanita bernama Lina yang menjadi sekretarisnya dan memasuki ruang kerjanya. Begitu memasuki ruang kerjanya dan melihat tumpukan map, helaan nafas terhembus dari rongga dadanya. Davi membuka beberapa map dan menyalakan laptopnya. "Apa mereka menerima kerja samanya ya?" Davi hanya bergumam sendiri, sembari memeriksa berkas-berkas yang menumpuk dan mulai membaca serta menandatanganinya, satu persatu. "Ini namanya pamer tanda tangan. Untung bagus, coba kalau modelnya seperti cakar ayam, gak lucu banget." Davi bermonolog dan terkadang senyum-senyum sendiri. Pintu ruangannya di ketuk, Davi mendongak dan menatap ke arah pintu. "Masuk!" ucapnya. Pintu terbuka, sekretarisnya masuk dan menyerahkan sebuah map. "Ini map yang Bapak minta tadi," Lina meletakan sebuah map di hadapan Davi. "Iya Lin, terima kasih,” "Ada yang lainnya Pak?" "Tidak ada, kamu boleh keluar!" Bukannya tidak perlu apa-apa, hanya saja Davi agak risih jika melihat perempuan berpakaian ketat, bukan munafik, dia suka melihat perempuan berwajah cantik dan bertubuh bahenol, tapi dia tidak menyukai yang mengumbar-umbarnya pada khalayak seperti itu. Lina sekretaris pribadinya yang tergolong cantik dan bertubuh molek. Dan dia pun bukan sekali dua kali menggoda dirinya. Davi selalu mengabaikannya tidak pernah sekalipun meladeni godaan sang sekretaris. Walaupun beredar gosip kalau mereka menjalin hubungan, karena seringnya dia membawa Lina untuk mengikuti rapat di luar kantor atau bertemu client, pada kenyataannya tidak lebih hanya untuk urusan kantor saja. Setelah menerima map dari Lina, Davi kembali fokus pada pekerjaannya dia tidak mau ambil pusing dengan kelakuan para bawahannya. Belum selesai dengan urusan map yang menumpuk di hadapannya, tiba-tiba sekretarisnya memberi tahu, kalau ada panggilan telepon dari Wijaya Group. Tanpa pikir panjang Davi langsung menerima sambungan telepon. "Halo, selamat siang" "Siang pak Davi, saya Doni dari Wijaya Group! Saya hanya ingin mengabarkanbahwa kontrak yang bapak ajukan, sudah kami terima, tapi pimpinan saya ingin bertemu langsung dengan bapa," "Baik pak Doni, dengan senang hati!" Davi sangat antusias, begitu mendengar pimpinan Wijaya Group ingin bertemu dengannya. "Baiklah pak Davi, untuk jadwal pertemuannya kemungkinan besok siang, saya berharap bapak meluangkan waktu karena dalam pertemuan ini kita juga harus menyelesaikan penanda tanganan kontrak kerja samanya pak!” "Baik pak Doni, tolong share loc saja ke wa saya, tempatnya." "Baik Pak, selamat siang,” "Selamat siang." Panggilan telepon terputus, Davi tersenyum tidak menyangka kalau kontrak yang di ajukannya langsung di terima. "Kira-kira siapa yaa, yang akan datang besok, apa Zahra atau suaminya?" gumamnya sembari menopang dagu dengan kedua tangannya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Takdirku Menjadi Lelaki Kaya

read
4.1K
bc

TAKDIR KEDUA

read
29.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
218.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
201.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
18.9K
bc

My Secret Little Wife

read
115.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook