Bab 3
Setelah mengantarkan Aline ke sekolah, Elena langsung berangkat menuju kantor.
Namun di perjalanan tiba-tiba saja ban mobilnya kempes.
Elena merutuki kemalangannya, padahal dia tengah terburu-buru, ehh malah jadi terlambat.
Elena memgambil ponsel dan tas tangannya, kemudian segera keluar dari mobilnya.
"Gara-gara itu Bocah, pake nyuruh ganti mobil segala macem, akhirnya begini kan?" Dengan rasa dongkol, Elena menendang ban mobil menggunakan kakinya sekuat tenaga. "Aduuhhh...!" Teriaknya, karena kerasnya tendangan kaki yang mengenai ban mobil, akhirnya kakinya sampai berdenyut nyeri.
"Naik goje* aja kali ya? Biar cepet!" Sebelum memesan ojek online, Elena melirik penampilannya sendiri, hanya mengenakan span rok pendek, bagaimana caranya naik ojek?.
"Okeh, gocar!"
Elena membuka salah satu applikasi taksi online. Belum sempat Elena memesan taksi, tatapan matanya sekilas melihat sebuah mobil yang di tumpangi oleh orang yang di kenalinya.
"Bukankah itu si Nadine sama Gery? Mereka ada di sini?" Elena meremas dadanya sendiri, merasakan nyeri yang kembali datang.
Tubuhnya terasa lemas bahkan tungkai kakinya pun seperti tidak memiliki tulang.
"Ya Tuhan jangan sekarang, jangan di sini." Elena menggapai body mobil mencari pegangan.
Elena akhirnya duduk di atas aspal badannya masih gemetar karena menahan emosi.
"Kenapa, kenapa sakitnya masih ada di sini?" Teriaknya sembari memukul-mukul dadanya.
Elena menangis sejadi-jadinya di pinggir jalan, tanpa mempedulikan keadaan di sekitarnya.
Lelah menangis Elena duduk bersandar di mobilnya dengan kedua lutut di peluknya erat.
Suara deringan ponsel miliknya terus menerus berbunyi tapi Elena mengabaikannya. Kesadarannya seolah enggan pulih dan dia hanya diam memeluk kedua lututnya.
Suara deringan ponsel kembali terdengar Elena melirik tas miliknya yang tergeletak di atas aspal.
"Ha halo ...
"Kakak ada di mana?" Terdengar suara panik adiknya dari seberang telepon
"Di mana? Di jalan, mereka ada di sini, mereka ada di sini,” ucapnya dan tangisannya kembali pecah.
"Kak, tolong beri tahu aku, Kakak ada di mana?" Suara panik adiknya yang kembali terdengar, sedikit demi sedikit membuat kesadarannya pulih.
"Di jalan dekat sekolah Aline!" Ucapnya di sela suara isakan.
"Kakak diam di sana saja ya.”
Panggilan langsung terputus tapi Elena tidak mempedulikannya, dia hanya diam dengan tatapan kosong.
***
Davi tiba di kantornya lebih pagi dari biasanya, dia pun langsung menyiapkan beberapa berkas yang akan di bawanya untuk pertemuan siang nanti.
Setelah semua siap, dia segera keluar ruangan dan meminta Lina, sekretarisnya, untuk mengikuti dirinya.
Belajar dari pengalaman sebelumnya yang membuat calon investornya menunggu, akhirnya diapun berangkat lebih cepat.
Davi yang di temani Lina tiba di kantor Wijaya Group tiga puluh menit sebelum jadwal meeting.
Dia hanya di sambut Doni, asisten Cristian. Walaupun dalam hati bertanya-tanya dan mencari keberadaan CEO mereka, tapi Davi tidak berani menanyakannya secara langsung.
Sampai tiba waktu yang di jadwalkan tidak terlihat tanda-tanda kedatangan Cristian ataupun Zahra.
Doni datang menghampiri Davi dengan wajah terlihat cemas.
"Maaf pak Doni, apa pak Cris belum datang?" Davi langsung bertanya pada Doni, tanpa menunggu pria itu mendekat ke arahnya.
"Saya minta maaf sebelumnya, ini di luar kehendak kami, pak Cristian tidak datang ke kantor hari ini," Davi terlihat sangat kecewa, begitu mendengar keterangan Doni. "Pak Cristian kurang sehat, dan seharusnya yang akan menemui anda adalah Bu Elena, tapi...
"Ada apa?" Davi melihat kecemasan di raut wajah Doni.
"Bu Elena mengalami sedikit masalah di jalan, dan sekarang Bu Zahra sedang menjemputnya ke sana!"
"Zahra? Bukankah Cris sedang...
"Iya, tadi Bu Zahra juga sedang dalam perjalanan ke sini, tapi akhirnya menjemput Bu Elena dulu," Doni menghela napas berat, kemudian melanjutkan ucapannya. "Kami minta maaf, karena sudah membuat anda menunggu."
Setelah menyampaikan permintaan maaf, Doni meninggalkan ruangan.
"Pak Davi kenapa gak komplain sih? Masa kita di suruh menunggu begini seperti orang tidak ada kerjaan saja." Lina, sekretaris Davi, terlihat beberapa kali mendesah karena di haruskan ikut menunggu.
"Jangan bicara sembarang kamu Lin, saya kan sudah bilang, jaga ucapan kamu baik-baik." Sergah Davi, walaupun yang di katakan Lina ada benarnya, akan tetapi Davi masih memakluminya, begitu mendengar Elena ada masalah di jalan.
Bosan menunggu, Davi akhirnya bangkit dari tempat duduknya, sekedar ingin meluruskan kaki yang terasa pegal.
Langkah kakinya membawa dia ke depan sebuah ruangan yang pintunya separuh terbuka.
Davi mendekati ke arah pintu, dan menatap seseorang yang berada di dalam ruangan.
"Kak, Akan ada waktu di mana seseorang yang terlihat kuat, terlihat bisa melalui segalanya dengan baik, terlihat tenang dalam berjuang, tiba-tiba ia menghadapi situasi di mana ia ingin kabur saja, ingin menyerah, merasa lelah, ingin menghilang sebentar saja dan hal frustrasi lainnya yang datang secara bersamaan, itu wajar Kak! tapi Kakak juga harus ingat, bukan cuma Kakak yang merasakan kesakitan, di abaikan dan di kecewakan, ada Aline juga!"
Davi mendengar dengan jelas suara itu, setiap kata demi kata yang di ucapkan oleh mantan tetangganya.
“Siapa Aline?"
"Kakak tahu kan, aku juga mengalaminya, Detik itu aku menyadari, ketika perasaan-perasaan negative datang padaku, itu adalah saatnya aku berhenti sejenak, duduk diam meluangkan waktuku berdua saja antara aku dan Allah, kemudian menangis sepuasnya, It's okay to cry, Kak, Bahkan langitpun sesekali juga menangis. Tangisan langit adalah tetesan air penuh berkah dari Allah untuk seluruh hamba-Nya di dunia. Tangisan kita juga sama. Tetesan air mata mengalirkan segala bentuk emosi yang kita rasa. Biarkan mengalir, biarkan mengalir keluar. Turun perlahan beriringan dengan untaian doa yang kakak panjatkan kepada-Nya saat meminta pertolongan. Rasakan air mata turun dan biarkan Allah menghapus air mata kakak dengan cara-Nya."
Bukan salahnya jika kini kedua kakinya bagai terpaku dengan lantai, dan mendengar setiap perkataan Zahra yang di tujukan pada kakaknya.
Samar-samar terdengar suara isak tangis yang sangat memilukan.
Jadi, siapa yang di ada di hadapan Zahra itu, apakah benar Elena?
"Allah hears every cry. He knows how hard you try."
Davi mengusap wajahnya dengan kasar, mendengar ucapan terakhir Zahra.
Dalam hati terbersit ribuan tanya, apa benar wanita yang di semangati dan di nasehati Zahra adalah Elena? Tapi kenapa? Bukankah Elena wanita yang selalu terlihat ceria dan bahagia? Setelah tidak sengaja menguping Zahra, dengan susah payah, akhirnya kaki Davi bisa di ajak gerak, dan kembali menuju ruang meeting.
Beberapa saat sebelumnya..
Elena yang masih duduk bersandar di pinggir jalan raya, kembali menangis, begitu melihat adik bungsunya datang.
"Kak, ada apa?" tanya Zahra. Berjalan cepat menghampiri sang kakak yang masih duduk di aspal.
"Mereka, mereka ada di sini!"
"Mereka? Siapa?"
"Gery sama Nadine, mereka ada di sini,”
"Kak, sebaiknya kita pulang ya?"
"Tidak. Jangan pulang ke rumah, nanti Mama sama Papa tahu!"
"Ya sudah, Kakak ikut ke kantor dulu."
Elena berdiri dengan bantuan adiknya.
"Kak, apa sebaiknya pulang saja?"
Elena menggeleng. "Ke kantor saja."
"Baiklah."
"Ra, rasanya sakit sekali."
"Ikhlaskan Kak, jangan menyiksa diri Kakak seperti ini. Aku tahu, menjalaninya memang tidak semudah mengucapkannya. Tapi Kakak harus berusaha bangkit dan move on, lihatlah diri Kakak? Mereka tertawa di luar sana, sedangkan Kakak seperti ini." Ujar Zahra menasihati kakaknya. Elena menatap wajah adiknya dengan sendu.
Perlahan tangisannya reda. "Apa aku terlihat payah?" Tanya Elena pada sang adik.
"Bukan payah lagi, tapi sangat menyedihkan! Ayolah Kak, jangan seperti abege labil di tinggal pacar. Kakak itu cantik, buat apa memikirkan laki-laki seperti dia, masih banyak yang lebih dari dia, masih banyak orang baik di luaran sana!"
Elena terdiam mendengar perkataan adik bungsunya. Apa benar dirinya seperti itu? Sangat menyedihkan seperti yang di katakan adiknya barusan.
Sepanjang perjalanan akhirnya Elena hanya memikirkan dirinya sendiri. Tiba di kantor Elena langsung di bawa ke ruangan adik iparnya.
Elena duduk diam dengan wajah sembab dan pakaian yang berantakan, jangan di tanya make-upnya seperti apa karena adiknya saja sampai bergidik pada saat melihatnya.
Bahkan ketika dia di suruh menatap cermin sempat terkejut dan terheran-heran karena di toilet kantor iparnya ada demit. Ternyata bukan demit yang di lihatnya tetapi wajahnya sendiri yang terkena lelehan eyeliner serta bedak.
Setelah membersihkan wajahnya dan meminum sebotol air mineral Elena langsung mendengarkan siraman kalbu ala adik bungsunya yang panjang kali lebar muter-muter persis obat nyamuk beroda tiga ukuran jumbo.
Bukan Elena tidak suka di menasihati seperti itu hanya saja moodnya sedang tidak bagus, sampai-sampai setiap ucapan adiknya hanya beberapa patah kata saja yang nyantol di otaknya, lainnya masuk telinga kiri bablas keluar langsung lewat telinga kanan.
Puas menceramahi dirinya Zahra pun undur diri, katanya mau meeting.
Elena baru ingat kalau dirinyalah yang di tugaskan untuk menemui seseorang hari ini.
Elena membuka tas miliknya dan mengeluarkan peralatan tempur untuk memoles wajahnya yang masih terlihat sembab.
Selesai memoles wajahnya Elena mengambil kaca mata dan memakainya. Dia keluar dari ruangan iparnya dan menyusul sang adik ke ruang meeting.
Belajar dari pengalaman sebelumnya Elena mengetuk pintu dahulu, dia kapok kalau di dalam ternyata ada adik dan iparnya saja. Elena membuka pintu perlahan dan memasuki ruangan.
Hal pertama yang di lihatnya adalah si Brondong yang tengah mencuri-curi pandang pada adiknya, padahal di sebelahnya sudah ada wanita cantik dengan pakaian pas-pasan dan belahan d**a rendah, tapi matanya masih saja jelalatan.
"Kak, apa sudah baikkan? Kenapa pakai kaca mata hitam segala?" Adiknya langsung berdiri dan menghampiri dirinya.
Elena mengangguk. "Sudah agak mendingan. Silau.” jawabnya ngasal.
Keduanya duduk bersebelahan. Sedangkan di sebelah Zahra tampak Doni duduk dengan wajah tegang.
Elena menatap Davi yang di anggapnya kurang ajar karena menatap adiknya terus menerus.
"Ra, jaga pandangan kamu, ingat dosa menatap yang bukan haknya!" Celetuk Elena, sudut matanya menatap tajam ke arah Davi.
Adiknya hanya bengong tidak mengerti apa maksud dari ucapannya. Sedangkan orang yang berada di hadapan mereka terlihat gelagapan dan salah tingkah.
Meeting yang hanya membutuhkan waktu tak kurang dari satu jam, tapi gara-gara dirinya terlambat akhirnya berimbas pada orang lain.
Selesai membahas kerja sama antar kedua perusahaan, Elena meminta maaf karena sudah membuat tamunya menunggu begitu lama.
Setelah meeting usai Elena termangu sendirian. Adiknya bahkan meninggalkan dia di kantor, Zahra beralasan suaminya sedang tidak enak badan jadi harus segera pulang.
"Banyak alasan, bilang saja mau senang-senang di rumah, pake alasan inilah itulah, padahal tinggal ngomong mau buat cicilan." Elena ngoceh sendirian.
Davi yang meninggalkan gedung Wijaya Group berbarengan dengan Zahra yang di temani asisten suaminya, Davi terus mencari-cari celah untuk sekedar bertegur sapa dengan wanita judes itu.
"Ra," Zahra berbalik dan menatap dirinya. "Apa kabar?"
"Alhamdulillah baik,”
Davi hanya menarik napas dan tersenyum kecut mendengar jawaban simpel dan datar Zahra.
"Cris sakit apa?"
"Tidak apa-apa, dia hanya harus istirahat saja," Suaranya dan juga ekspresi wajahnya tetap tidak berubah, dingin dan datar. Davi terkadang heran kenapa dia selalu memikirkan wanita aneh seperti ini.
"Maaf, saya harus segera pergi." Davi mengangguk dan menatap Zahra yang masuk ke dalam sebuah mobil, yang sudah menunggunya di depan lobi.
"Dia itu siapa Pak? Cantik sekali.” Lina yang melihat Davi, terus menerus menatap wanita cantik tadi, merasa panas hati.
Davi hanya melirik dan mengabaikan pertanyaan Lina, toh tidak penting menjabarkan siapa wanita tadi pada Lina pikirnya.