Tadinya Fenia ingin melepas rindu dengan cara memeluk lelaki dewasa itu. Tapi naas, jarangkan memeluk. Mendekati lelaki itu saja Fenia tidak mampu.
Fenia menghapus air matany, gadis itu berusaha untuk tetap tersenyum demi untuk menutupi luka basah dihatinya.
"Meskipun Kak Marvin masih membenci diriku, sampai kapanpun aku tidak akan pernah berbalik membenci dirinya. Karena sebesar apapun ia membenci diriku maka sebesar itu pura rasa cintaku padanya." Fenia tersenyum sambil menghela nafasnya.
Gadis itu kembali menghubungi ponsel sang Daddy, sayangnya ponsel Alvaro sepertinya sedang tidak aktif.
"Daddy kemana ya? Euhm. Apa Daddy lupa menjemputku?" Pikir Fenia yang memang sejak tadi menelpon tapi ponsel sang Daddy selalu berada di luar jangkauan, itu yang ucapkan oleh sang operator.
Fenia memilih duduk di kursi panjang, gadis itu sama sekali tidak marah justru sebaliknya Fenia paham akan kesibukan sang Daddy.
Kesibukan Alvaro tidak jauh-jauh dari pekerjaannya sebagai pemilik perusahaan yang tidak jauh berbeda dari perusahaan Archelaus.
Dilain sisi, tanpa Fenia sadari jika mobil yang Marvin tumpangi sudah kembali terparkir manis di ujung jalan sana.
Di dalam mobil Marvin memperhatikan sosok Fenia yang duduk seorang diri.
"Kenapa dia tidak pulang? Apa dia tengah menuju jemputan?" Tanya Marvin pada hatinya sendiri.
Marvin menatap jam di pengelangan tangannya dan menatap ke arah Fenia yang masih betah duduk di kursi panjang itu.
Marvin menatap langit-langit yang nampak sekali sudah sangat malam.
"Apa dia sudah gila. Kenapa bisa ia pulang di jam seperti ini. sebenarnya apa tugasnya, kenapa bisa ia lembur sampai jam seperti saat ini." Omel Marvin. Sebenci-bencinya Marvin sampai kapanpun Marvin adalah Marvin yang tidak bisa melihat seorang Fenia dalam keadaan susah. Sedendam-dendamnya Marvin sampai kapanpun Marvin adalah Marvin. Pria yang memiliki jiwa seorang malaikat. Tapi mungkin untuk saat ini jiwa malaikat Marvin, tengah ditutupi oleh awan gelap hal itulah yang membuat Marvin tetap pada pendiriannya.
Yaitu menjauhi Fenia. Cinta dari masa lalunya, sudah setengah jam Marvin menatap Fenia dari kejauhan dan sudah setengah jam pura Fenia menunggu tidak kunjung ada yang menjemput dirinya.
Hal itu membuat Marvin mengepalkan kedua tangannya.
"Apa pria tua itu masih saja membedakan Fenia dan Fenny? Sungguh keterlaluan tua bangka satu itu." Gerutu Marvin menyumpahi sosok Alvaro. Sejak dulu sampai sekarang Marvin tentu masih ingat akan perlakuan Alvaro pada kedua putrinya.
Marvin jelas masih ingat pada ucapan Fenia bahwa Alvaro sama sekali tidak menyayangi dirinya, hal itu pura yang membuat Marvin mengingat kembali masa lalunya itu.
Tit! Tit! Tit!
Suara klakson mobil membuat Marvin menoleh ke arah mobil sport bewarna hitam.
Disana turun seorang pria seusia dirinya.
"Kak Stevan!" Fenia tersenyum senang sambil berlari ke arah Stevan. Sang Kakak ipar.
"Hei. Sudah menunggu lama ya?" Tanya pria yang tidak lain adalah Stevan. Suami dari Kakak perempuannya itu.
"Lumayan," Jawab Fenia sambil memasuki mobil Stevan.
Disisi lain Stevan kembali masuk kedalam mobilnya hingga mobil Stevan melaju meninggalkan perusahaan Archelaus.
Melihat kepergian Fenia dan Stevan membuat Marvin menatap sinis pada mobil milik mantan sahabatnya itu.
"Jalankan mobilnya," Perintah Marvin hingga sang supir melajukan mobilnya sesuai instruksi sang majikan.
Di lain sisi, Fenia dan Stevan sesekali akan mengobrol hal tentang pekerjaan atau lainnya.
"Oh iya. Ngomong-ngomong dimana Daddy, Kak. Kok Daddy gak jemput dan malah Kakak yang menjemput Fenia?" Tanya Fenia ingin tahu.
"Tadinya Daddy yang mau menjemput dirimu, tapi setelah Kakak mengatakan jika Kakak saja pada akhirnya Daddy gak jadi deh menjemput dirimu. Lagian, Kakak kasihan sama Daddy. Daddy pasti lelah karena habis meeting sama beberapa investor. Jadi Kakak yang mengajukan diri untuk menjemput dirimu. Fenia gak apa-apa kan kalau Kakak yang menjemput?"
"Gak apa-apa dong. Lagian, Fenia tahu kok kalau Daddy itu memang lagi sibuk-sibuknya. Mengingat Daddy kan berencana membangun resort di Belanda." Ucapan Fenia membuat Stevan mengangguk." Tapi ngomong-ngomong Kak Stevan habis dari mana kok bisa telat jemput Fenia?"
"Hehehe. Sebenarnya tadi Kakak mampir ke rumah teman dulu. Makanya telat deh jemput kamunya." Jujur Stevan dengan wajah bersalah hal itu membuat Fenia mengangguk paham." Oh iya. Kalau boleh tahu Fenia sudah bertemu dengan Marvin belum?" Pertanyaan Stevan dibalas anggukan lemah dari Fenia.
"Loh. Kok wajahnya begitu? Bukannya senang baru ketemu pujaan hati?" Goda Stevan dengan Kekehannya.
"Gimana mau senang kalau cuman ketemu doang."
Ucapan Fenia membuat Stevan menoleh pada adik iparnya.
"Maksudnya gimana?" Tanya Stevan sedikit bingung.
"Maksudnya tuh cuman ketemu tapi gak saling berbicara. Jarangkan berbicara, baru mau mendekat saja Kak Marvin sudah menjauh. Mungkin Kak Marvin masih benci sama Fenia," Jujur Fenia membuat Stevan menatap kasihan pada adik iparnya itu.
Seharusnya kebencian Marvin tidak pada Fenia. Fenia jelas gak bersalah disini. Yang bersalah disini adalah dirinya. Ialah yang membuat segalanya menjadi rumit dan kini justru berimbas pada Fenia. Gadis kecil yang tidak tahu apapun.
"Maafin Kakak ya. Gara-gara Kakak kamu jadi terkena imbasnya." Perkataan Stevan dibalas gelengan kepala dari Fenia.
"Gak. Ini bukan kesalahan Kakak saja kok. Ini kesalahan Daddy dan Kak Fenny juga. Andai saja mereka mau jujur mungkin semuanya gak bakal jadi kayak gini."
Stevan mengangguk sedikit membenarkan ucapan adik iparnya. Andai saja dulu dirinya dan Fenia mau berkata jujur mungkin keadaan waktu itu tidak akan seburuk saat ini.
Bahkan dendam Marvin dan keluarganya tidak mungkin akan sebesar saat ini. Jarangkan Fenia yang sama sekali tidak ingin Marvin lirik. Dirinya dan keluarga kecilnya jika bertemu dengan Marvin maupun Alex di jalan pun. Keduanya pasti akan langsung membuang muka seakan dirinya dan keluarga kecilnya hanya sebuah kotoran yang tidak pantas untuk dilihat.
Miris memang, tapi apa yang bisa Stevan perbuat. Kesalahannya memang sudah sangatlah fatal dan entah kapan ia bisa memperbaiki semuanya.
Harapan Stevan hanya ada pada Fenia. Stevan berharap adik iparnya mampu untuk menyentuh hati sahabatnya kembali. Meskipun itu tidaklah mudah, tapi Stevan akan terus berdoa demi untuk melihat kebahagiaan kedua keluarganya.
"Vin. Andai saja kau tahu jika aku benar-benar menyesali semuanya. Maafkan aku, seharusnya sejak awal aku mengatakan semuanya setidaknya dengan begitu kau tidak akan terluka seperti saat ini." Batin Stevan menahan rasa pedih dihatinya. Sudah 10 tahun lamanya ia kehilangan persahabatannya dengan Marvin. Padahal dulu saat remaja ia dan Marvin sering kali bertengkar tapi tidak separah saat ini.
Lain hal dengan Fenia yang hanya bisa terdiam merenungi segalanya. Jujur, Fenia rindu sekali pada pujaan hatinya tapi mau bagaimana lagi. Fenia jelas sadar bahwa Marvin saat ini begitu membenci dirinya dan juga anggota keluarga lainnya.
*****
Sesampainya Marvin di kediamannya. Pria itu turun saat pintu mobilnya dibuka oleh sang supir, Marvin melangkah masuk ke kediamannya. Rumah yang amat besar dan mewah. Pria itu terlahir sebagai anak seorang pengusaha kaya raya, ialah pewaris satu-satunya dari keluarga Archelaus. Hanya ia harapan kedua orang tuanya kelak. Tapi sampai saat ini. Hati pria itu masih tetap membeku seakan ada tembok tak kasat mata yang membantunya untuk tetap menutup hatinya.
Marvin melangkah dengan jas yang berada di lengannya. Lelaki itu nampaknya kelelahan, bahkan Marvin tanpa kata langsung menghempaskan bokongnya di sofa empuk milik kediamannya.
Tidak lupa Marvin sesekali akan memijit sisi kepalanya yang nampak berdenyut-denyut.
"Vin. Kau baru pulang. Sayang?" Pertanyaan itu datang dari seorang wanita paruh baya yang baru saja melangkah keluar dari arah dapur.
Marvin dengan cepat menoleh ke asal suara yang memanggil dirinya, senyum manis terbit dari bibir manisnya.
"Mama!" Wanita itu tidak lain adalah Rosalind yang datang membawa segelas jus untuk putra kesayangannya itu.
"Minum dulu Sayang." Perintah Rosalind dan tentu saja Marvin akan dengan senang hati meminum jus buatan sang Mama tercintanya.
Marvin menghabiskan jus itu hingga hanya menyisakan sedikit saja. Diletakkannya gelas itu disisi meja.
Kini fokus utama Marvin adalah Rosalind yang tengah sibuk mengusap puncak kepalanya.
"Terima kasih Mah!"
Anggukan Rosalind membuat Marvin tersenyum sambil bersandar di pangkuan sang Mama.
"Ada apa Vin. Apa ada masalah di kantor?" Tanya Rosalind yang tidak kunjung menghentikan usapannya di puncak kepala Marvin.
"Gak ada kok Mah. Semua nampak baik-baik saja, Oh iya. Dimana Papa? Tidak biasanya Papa meninggalkan Mama di jam seperti ini. Biasanya juga lengket kayak permen karet," Kekeh Marvin yang hanya di tanggapi senyuman tipis dari wanita itu.
"Tadi sih Papa ada. Cuman saat menerima telepon, tiba-tiba Papa meminta izin buat keluar sebentar. Katanya ada urusan dan sampai sekarang belum balik." Cerita Rosalind dibalas anggukan mengerti dari Marvin.
"Mah. Euhm. Apa Mama menyesal memiliki Marvin di hidup Mama?" Pertanyaan itu membuat Rosalind tersenyum kecil di usapnya wajah tampan Marvin penuh rasa cintanya.
"Sayang. Jika kamu mau tahu Mama menyesal atau tidak. Jawabannya adalah, Mama tidak pernah menyesal memiliki anak sebaik dan setampan dirimu. Seharusnya Mama bersyukur, karena kamu masih mau dilahirkan oleh seorang wanita penyakitan seperti Mama. Jika saja kamu gak ada di hidup Mama. Entah bagaimana Mama bisa hidup dan juga entah bagaimana Mama bisa kembali pada Papamu yang keras kepala itu. Dan perlu Marvin tahu, bahwa kehadiranmu adalah anugerah terindah bagi Mama dan juga Papa. Jika kamu gak hadir di tengah-tengah Papa dan Mama. Maka mungkin Mama gak akan berani untuk bersanding dengan Papamu yang begitu sempurna itu."
Ucapan Rosalind membuat Marvin memeluk perut ramping sang Mama. Dikecupnya kedua tangan mungil sang Mama. Itu sebagai tanda bahwa Marvin begitu menghormati dan menyayangi Rosalind lebih dari hidupnya.
"Mama salah. Seharusnya Papa yang beruntung memiliki Mama. Karena Mama adalah sosok wanita tangguh yang mampu melahirkan anaknya meskipun dalam keadaan sakit. Seharusnya Marvin dan Papa beruntung bisa bertemu dan dilahirkan oleh wanita sekuat Mama." Ucapan Marvin membuat Rosalind meneteskan air mata harunya.
"Yang dikatakan Marvin itu benar, Sayang. Kami berdua sangat beruntung memiliki kamu di dalam hidup kami," suara Alex yang datang tentu sama mengejutkan Rosalind.
Wanita itu segera menoleh dan saat ia menoleh sebuah kecupan manis mendarat di keningnya.
"Aku mencintaimu!" Alex mengucap hal itu dengan nada begitu lembutnya.
"Aku pun mencintaimu Alex." Rosalind dengan kedua mata berkaca-kaca, menatap wajah tampan suaminya. Melihat interaksi kedua orang tuanya, sudut hati Marvin begitu tenang. Setidaknya ia bisa dilahirkan di keluarga yang amat begitu harmonis, meskipun dulu kedua orang tuanya pernah saling melukai satu sama lain.
Tapi Marvin tahu, bahwa akan ada saatnya takdir tidak akan mempermainkan kedua orang yang saling mencintai itu.
"Pah. Tadi Mama bilang Papa ada urusan? Memangnya urusan apa?" Tanya Marvin menatap wajah Alex yang nampak ada sesuatu yang mungkin tengah lelaki paruh baya itu tutupi dari keluarga kecilnya itu.
"Tidak ada. Tadi Papa hanya ingin mengecek hotel kita saja."
Marvin menatap Alex penuh selidik, Marvin jelas tahu bahwa Alex tengah berbohong saat ini.
"Pah?"
"Kau tidak perlu ikut campur tentang persoalan yang tengah Papa lakukan ini Marvin. Lebih baik kau urus hal lain dari pada kau mengurusi urusanku!" Nada suara Alex mulai mendingin membuat Rosalind tahu bahwa ada yang tidak beres pada suaminya.
Begitupun Marvin seketika terdiam. Marvin jelas tahu ada sesuatu hal yang membuat hati Alex kembali panas, tapi persoalan apa? Marvin jelas penasaran.
"Alex?" Rosalind memanggil membuat Alex menoleh menatap wajah lembut Rosalind." Jangan membawa kekesalan mu ke rumah ini. Dan juga, jangan melampiaskan amarahmu pada Marvin. Putra kita tidak tahu apapun jika kamu ingin melampiaskan amarahmu maka padaku saja. Jangan putraku," Perkataan Rosalind membuat Alex menghembuskan nafas kasarnya.
Alex menarik Rosalind dalam pelukannya.
"Maafkan aku. Maaf, aku tidak bermaksud untuk menyakiti dirimu maupun putra kita." Alex menatap ke arah Marvin yang juga tengah menatap dirinya." Maafkan Papa, Vin. Papa hanya sedang emosi saja. Maafkan Papa," kata Alex yang mulai menyadari kesalahannya itu.
Marvin berdiri dan tersenyum ke arah Alex.
"Gak apa-apa Pah. Marvin tahu. Papa gak bermaksud marah pada Marvin. Hanya saja jika Papa ingin marah. Marahnya jangan di depan Mama karena Marvin gak ingin Mama sedih. Lagian, kalau Papa ingin melampiaskan kekesalan Papa sama Marvin saja ya." Marvin mengatakan hal itu dengan amat begitu tulus. Sehingga Rosalind mendongakkan kepalanya untuk menatap suaminya.
"Jangan. Jangan marah pada putraku, marah padaku saja." Rosalind tidak akan pernah rela jika putranya dimarahi atau dipukuli oleh suaminya. Sampai kapanpun Marvin adalah permata terindahnya dan sampai dunia kiamat pun Rosalind tidak akan pernah ikhlas jika melihat putranya menderita.
"Tidak. Pada Marvin saja," Kekeh Marvin.
"Gak. Pada Mama saja," Rosalind tetap bersikeras membuat Alex memutar kedua bola matanya dengan jengah. Sejak dulu, ia akan selalu di nomor duakan oleh istrinya.
"Kalian berdua bersatu saling menjaga satu sama lain. Lalu siapa yang akan menjagaku disini," Kesal Alex yang mulai cemburu bila istrinya lebih memprioritaskan Marvin ketimbang dirinya.
Mendengar protes Alex seketika tawa Rosalind dan Marvin terdengar. Hal itu bukannya membuat Alex senang justru sebaliknya kekesalan yang saat ini Alex rasakan.
Tbc,