Chapter 6 ~ tidak akan kembali

1381 Words
02.34 Lelaki berpakaian serba hitam dengan topi bermasker berjalan di lorong icu rumah sakit. Langkah nya terlihat ringan namun sedikit mencurigakan. Kaki panjang itu terus berjalan mencari tempat yang akan ia tuju. Tubuhnya bersembunyi ketika melihat seseorang keluar dari ruang yang ia cari. Setelah melihat perawakan itu menjauh, ia pun melangkah memasuki ruangan tersebut. Dengan pelan menutup pintu kemudian berjalan mendekati gadis yang tengah berbaring tak berdaya di antara selang-selang yang terpasang, dia membuka topi beserta masker nya. Nam Ki Jung!!! 'Ji Eun-ah Kenapa masih hidup sih, kalo lu mati 'kan pernikahan gue akan tetap aman.' Jung membungkuk kemudian berbisik, "Gue gak tau lu udah ngasih tau dia atau belum, yang pasti hubungan gue harus anteng-anteng seperti sebelum nya tanpa pengacau kayak lu. Jadi lebih baik susul keluarga lu ya, itu akan lebih baik lagi." Detik selanjut nya Jung meraih bantal lalu membuka selang oksigen kemudian membekap wajah Ji Eun. Keadaan tak terkendali, tubuh Ji Eun kejang-kejang membutuhkan oksigen sedangkan Jung yang tengah melakukan kejahatan itu hanya tersenyum lebar menikmati perbuatan nya. Namun kegiatan harus terhenti mendengar keributan mendekati ruangan tersebut. Tak ingin ketahuan, ia dengan cepat menaruh bantal pada di bawah kepala Ji Eun. Krieek!! Para dokter pun masuk dan mereka terkejut melihat… monitor parameter jantung Ji Eun berbunyi dentingan panjang. Dokter segera melakukan pertolongan pertama mereka dengan melakukan push hard push fast. Di luar sana, tuan Jeon menautkan kedua tangan nya berdoa untuk Ji Eun. "Shin-ah, kumohon biarkan aku merawat putri mu lebih lama lagi. Jangan biarkan putri ku sedih dengan kau memanggil sahabat nya, ku mohon berikan kami kesempatan sekali lagi." Mata beliau berkaca-kaca berharap sang sahabat di atas sana mendengarkan permohonan nya. Kembali ke dalam ruangan, dokter masih pertolongan pada semampu mereka. "100 Joule sudah siap. Bersih." Kali ini, dokter melakukan kejut jantung dengan alat Defibrilator. "Suntik kan epinefrin. 150 Joule, isi daya. Bersih." Sekali lagi dokter melakukan kejut jantung tapi monitor parameter masih berbunyi dentingan panjang. Sedangkan di bawah tempat tidur Ji Eun Jung menikmati setiap momen dentingan monitor, walau tetap waspada kapan saja ia bisa ketahuan. Sekali lagi dan lagi mereka melakukan kejut jantung pada Ji Eun. Tak lama kemudian, parameter jantung Ji Eun kembali normal. Bahkan gadis itu melewati masa kritis nya dan dokter benar-benar bersyukur. "Dia kembali." Seru sang perawat. Dokter dengan cepat memeriksa nya."Denyut nadinya normal. Bagaimana dengan tekanan darahnya?" Tanya dokter. "Tekanan darahnya juga normal dokter." "Syukurlah, pasien sudah melewati masa kritis." Jung mengepalkan tangan menahan amarah mendengar kata dokter. "Tapi dokter, pasien belum sadar?" Ujar salah satu perawat. "Pantau untuk beberapa jam lagi, mudah-mudahan besok pasien akan sadar." mereka saling menatap kemudian mengangguk, "Baiklah, ayo keluar." Ajak dokter dan mereka pun keluar. Merasa dokter sudah keluar, Jung ikut keluar dari persembunyian. Ia sejenak menatap Ji Eun tajam kemudian berjalan ke arah pintu berharap calon mertua nya tidak disana. 'Sial.' "Bagaimana dok, Ji Eun baik-baik saja 'kan?" Tanya tuan Jeon melihat dokter keluar. "Syukurlah Tuan, pasien telah melewati masa kritis nya." Tuan Jeon mendesah senang, "Syukurlah Tuhan." Ucap nya. "Tapi pasien masih belum sadar, mudah-mudahan besok dia akan segera sadar." Tuan Jeon mengangguk mengerti. "Apa Tuan bisa ikut keruangan sebentar, ada yang perlu saya bahas." Kata dokter. "Tentu." "Mari Tuan." ajak dokter, "Tolong pindahkan pasien ke ruangan nya." Perintah nya. "Baik dokter." Mereka pun melangkah pergi dari ruangan ICU. Sebelum menjauh, tuan Jeon sejenak memutar punggung nya ketika merasa melihat seseorang baru saja keluar dari ruangan Ji Eun. "Mungkin perawat." Gumam nya mengikuti langkah dokter. 08.00 Keesokan harinya, Titania sudah berada di lorong rumah sakit ingin keruangan ICU. Ketika sampai, ia tak melihat siapa-siapa disana membuatnya khawatir. Dia pun segera mencari sang papa dan disanalah beliau yang baru saja keluar dari toilet. "Papa." Panggil Titania begitu sampai tiba di samping sang papa. "Sayang, ini masih pagi sekali." Ujar tuan Jeon. "Udah gapapa. Tapi Ji Eun kemana, kok gak ada di ruangan ICU?" "Ah papa lupa ngasih tau, kalau masa kritis Ji Eun sudah lewat." Titania menjerit senang sampai memeluk sang papa. "Beneran? Huaaa syukurlah hiks… " Tuan Jeon tersenyum menepuk pelan punggung Titania. "Iya syukurlah. Tapi kata dokter— " belum selesai mengatakan yang sebenar nya pada Titania, dokter dan perawat yang merawat Ji Eun berlari ke ruangan gadis itu. Kedua nya melepaskan pelukan dan ikut berlari mengikuti dokter. Tuan Jeon merangkul Titania menangkan sang anak, keduanya menunggu di luar. Tak lama terdengar suara teriakan dari dalam, dan itu suara jeritan Ji Eun membuat mereka saling menatap sendu. Tak tahan mendengar suara Ji Eun yang menangis, Titania pun menerobos masuk namun langkahnya terhenti melihat Ji Eun memukul-mukul kedua kaki nya. "Ji Eun-ah… " Ji Eun mendongak sesenggukan melihat Titania dan tuan Jeon. "Ti-titan hiks… kaki gue kenapa hiks… paman hiks… Ji Eun kenapa, kenapa kaki Ji Eun gak bisa gerak hiks… " Tuan Jeon berpaling tak tahan melihat kondisi gadis yang sudah ia anggap putrinya terluka seperti sekarang. "Titania jawab please hiks… ja-jangan diem aja hiks… JAWAB SIALAN!!" Tak ada yang bisa Titania lakukan selain memeluk Ji Eun, sedangkan dokter dan perawat keluar di ikuti tuan Jeon. "Dokter, apa Ji Eun masih bisa berjalan? Beritahu saja, apa yang harus kami lakukan agar dia bisa berjalan lagi dokter." Dokter sejenak menunduk menghirup udara lalu menatap tuan Jeon, "Maaf Tuan, kami harus mengatakan jika Nona Ji Eun lumpuh total." Dokter menahan tuan Jeon ketika pria paruh baya itu akan terjatuh. Tuan Jeon duduk di kursi tunggu, mengusap kasar wajah penuh kerutan nya sedikit kasar. Dokter pun membungkuk meminta maaf begitu juga perawat disana. "Sekali lagi, maafkan kami Tuan." Setelah itu dokter pun berlalu pergi diikuti para perawat. Tuk!! Krish mendongak menoleh dan tatapan terkunci melihat Daniel yang terdiam mematung. Lama terdiam, Daniel merasakan lutut na lemas tak bisa menopang tubuhnya sendiri menjatuhkan b****g di keramik dingin. Nafasnya mulai tak beraturan, dia sampai membuka tarikan jaket guna bernafas dengan baik. Air mata Daniel pun tak bisa ia tahan untuk tetap berada di pelupuk mata nya. Ia menengadah terisak mendengar suara tangisan keras di dalam ruangan Ji Eun. Tidak sedikit perawat ataupun pengunjung rumah sakit melihat tuan Jeon dan Daniel yang tengah menangis. Dan juga suara tangisan di dalam sana. Lelah menangisi keadaan, Titania merasakan pelukan nya sedikit berat. Ia menunduk melihat wajah pucat Ji Eun, gadis itu tertidur dengan sesenggukan. Titania mengusap air mata nya, lalu membaringkan Ji Eun. Jari-jari nya mengatur helaian rambut sahabat nya, 'Maafin gue Ji, gak tau kenapa gue ngerasa kalau ini semua karena gue.' Batin Titania menyelimuti Ji Eun. Daniel dan tuan Jeon berusaha berdiri melihat pintu terbuka, mereka hanya diam melihat Titania berjalan ke lain arah. "Niel, kamu masuk jagain Ji Eun dulu. Papa mau ke ruangan dokter sebentar." Daniel hanya mengangguk dan Krish berjalan pergi. Dengan berat hati Daniel mendekati Ji Eun yang tengah tertidur. "Ji Eun-ah," Daniel mengusap air mata nya, "Aku disini buat kamu." Untuk pertama kalinya dia memanggil nama gadis itu. Daniel meraih kursi lalu duduk di samping Ji Eun, tangannya perlahan meraih tangan Ji Eun dan mengecup nya pelan. Dengan tangan masih memegang tangan Ji Eun, tangan satu nya mengusap pipi gadis itu. Daniel tersenyum tipis, "Jangan sedih karena keadaan ini, aku bakalan jagain kamu. Jadi jangan sedih ya," ucap nya memberanikan diri mengecup kening Ji Eun. Sedangkan di Rooftop Titania berteriak dengan keras tak peduli jika ada yang terganggu dengan teriakan nya. Titania ingin mengeluarkan semua rasa sesak nya yang sudah bercampur tak bentuk itu. Dengan tangan memegang sesuatu, Titania terus berteriak bahkan tak sedikit ia menangis seperti sekarang. Ia berjongkok memeluk yang tadi di pegang nya. Suara deringan ponselnya menghentikan tangisan Titania, ia berdiri mengusap pipinya kemudian berjalan ke samping vending machine di mana tempat sampah berada lalu membuang diary dan juga undangan pernikahan nya beserta… Cincin!!! Titania kembali meraih box ring lalu dibukanya, mengusap pelan cincin tersebut. Tes… Titania menengadah tak ingin menangis lagi, ia pun segera menutup box ring itu lalu membuang nya kembali. Dengan langkah berat, Titania berjalan meninggalkan Rooftop dan juga beberapa barang yang telah ia buang. 'Yang lu lakuin sudah benar Titan, jangan pernah berharap kesini cuma pengen mereka kembali lagi karena sampai kapan pun itu tidak akan pernah kembali.' Batin nya tanpa berbalik sedikit pun. Bagi Titania, mereka semua telah menjadi sampah termasuk kenangan nya bersama Nam Ki Jung calon suami nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD