Chapter 5 ~ Sama-sama bodoh

1122 Words
21:23 Sepuluh menit yang lalu Jung pamit untuk kembali. Saat ini, Titania tengah mengaduk-ngaduk makanan nya begitu juga Daniel. "Hei, ini pada kenapa? Kok makanannya di aduk-aduk doang. Emang gak kasihan sama mereka, udah jadi kebutuhan tapi malah di sia-sia in gitu aja." Kedua nya mendongak menatap sang ayah. 'Seperti gue/Seperti kakak!' Batin kedua nya saling melirik. "Kenapa, omongan papa salah?" Tanya tuan Jeon bingung. Sedangkan nyonya jeon hanya menggeleng pelan. "Udah, sekarang kalian makan biar bisa nungguin Ji Eun." Mendengar ucapan sang mama, mereka pun segera makan. "Ya udah papa tinggal dulu, kebetulan kita ada disini jadi sekalian nanya ke dokter soal Maria." Titania terdiam melihat tuan Jeon perlahan menjauh. Ia beralih menatap sang mama, "Mam kalau seandainya mama harus merelakan sesuatu yang mungkin akan menyakiti hati mama, apa mama tetap merelakan nya?" menatap sang mama. Kini giliran Daniel yang terdiam, melirik sang mama. Dia ingin tau jawaban apa yang akan beliau berikan. "Kalau sakit, lepaskan jangan menahan atau membuat dirimu tersiksa. Ingat nak, kamu memulai untuk bahagia, kalau pada akhirnya tidak, lebih baik lepaskan." Titania meremas jemarinya, ia sangat tahu betul tanpa mengatakannya pun sang mama mengerti perasaannya. "Ada apa, kalian baik-baik aja kan? Cincin kamu mana, kok gak di pake?" Titania pun merogoh ring box yang diberikan Jung."Ini," ia mengangguk melihat sang mama terlihat senang. Nyonya Jeon tersenyum membuka Box tersebut, beliau terpesona melihat cincin pernikahan putri pertama nya. "Titan cuma berharap mama selalu senyum, walau mungkin mama akan menangis nanti nya. Menangis melihat kebodohan putri mama dan Titan cuma memohon maaf sebesar-besar nya membiarkan air mata seorang ibu kembali menetes." Daniel berbalik memunggungi sang mama yang tengah memandang Titania bertanya-tanya sekaligus bingung. "Hehe, bukan apa-apa. Gimana pa, mereka udah dapat belum?" Mama tau Titania mengalihkan pembicaraan mereka. Tuan Jeon duduk menghela nafas, "Belum ada kabar dari rumah sakit pusat, kita masih harus nunggu lagi." Ujar nya berusaha tersenyum. "Udah pa, gapapa yang penting Maria tetap minum obat. Titan yakin pendonor untuk Maria bakalan datang." Mengusap lengan sang papa. "Cih, dasar bego!!" Gumam Daniel. Titania hanya membantu mama membereskan bekal Yang ia bawa untuk nya dan Daniel. "Lebih baik kalian pulang, biar papa aja yang jagain Ji Eun. Terutama kamu Titan. Ingat nak, seminggu lagi pernikahan kalian, Jadi lebih baik pulang istirahat sama mama dan adik kamu." "Tapi Pah— " "Nak, Papa ngerti kamu khawatir tapi kamu harus istirahat. Besok bisa kesini lagi kalau Papa ke kantor." "Papa benar sayang. Udah yuk, ini udah tengah malam banget. Niel juga harus kuliah 'kan besok," Titania mengangguk mau tak mau harus pulang dan mereka pun meninggalkan rumah sakit. 45 menit kemudian, mereka telah sampai di rumah. "Niel, nginep di rumah aja gak usah ke apartemen." Tutur Nyonya Jeon melihat Daniel yang ingin pergi lagi setelah mengantar mereka. "Tapi Mah— " "Niel, jangan ngebantah. Kenapa pada tapi-tapian sih." tegasnya berjalan masuk tak lupa merebut kunci mobil sang anak. "Aish… gue lagi malas di sini kalo ujung-ujung ketemu setan gak tau diri." Plak!! Mendengar itu, Titania memukul lengan Daniel membuatnya meringis mendelik kesal. "Sakit gila!" sentak nya. Titania memutar bola mata kesal. "Mulut lu minta disumpal ya, gimana kalo mama denger bego!" Masuk ke rumah meninggalkan Daniel yang tengah mencibir. "Salah sendiri jadi orang kok— " "Diem atau gue sumpel beneran!" Daniel bungkam. " Ingat, rencana gue gak boleh gagal. Ini demi— " "Rencana apaan nih?" Maria muncul dari arah dapur dengan botol di tangan nya. Daniel pergi begitu saja tidak ingin melihat Maria. "Dia kenapa?" Tanya Maria bingung. "Udah gapapa, dia cuma khawatir sama Ji Eun." "Ah ngomong-ngomong soal kak Ji Eun, gimana keadaan dia sekarang?" Titania tersenyum kecut, "Dia kritis. Yaudah gue ke kamar dulu, lu jangan lupa istirahat." Berlalu pergi di angguki Maria. "Kakak kamu mana," Maria berbalik menatap sang mama, "Udah ke kamar." Ucap nya. "Ya sudah kamu juga ke kamar gih, papa di rumah sakit jagain Ji Eun." Mama mengusap pipi Maria lalu berjalan ke kamar. "Mama istirahat ya," "Iya sayang, kamu juga." "Pasti." Maria mengeluarkan ponsel dan menghubungi Jung. Sialnya ponsel laki-laki itu malah sibuk. "Sial. Dia nelpon siapa malem-malem gini sih." berjalan menaiki lantai dua. Sebelum masuk kamar, kakinya melangkah ke depan kamar Titania menajamkan pendengarannya. 'b******k! Jadi Jung nelpon kak Titan." pergi dari sana dan masuk ke kamar dengan perasaan kesal. Tak lama, Titania keluar dari kamar. Dia tahu Maria menguping, jadi dia sengaja membesarkan volume suaranya. /Iya, besok aku hubungi lagi. Dah./ Titania memutuskan panggilan dari Jung. Tok tok tok Daniel menoleh berdecak kesal melihat Titania masuk ke kamar nya begitu saja. "Heh, gue cuma pake boxer ya, gak ada malu-malu nya lu jadi cewek." Gerutu Daniel. "Ck, gue juga gak nafsu sama lu setan." Decak Titani berbaring di kasur. "Apalagi gue bego." "Lu emang bego, makanya sampai sekarang gak peka sama perasaan Ji Eun." "Apa sih, ngapa jadi bawa-bawa Ji Eun." Daniel mencoba menutupi kegugupan nya. "Lagian ya," menatap Titania dari cermin, "Gak usah sok nasehatin, kalo lu sendiri milih jadi orang bego." Mengelak saat Titania melempar boneka cookie ke arah nya. Titania duduk menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur. Ia kembali melamun dengan memainkan jari manis nya yang sudah tak dihiasi cincin. "Gue cuma pengen belajar dengan benar terus kerja. Habis itu baru mikir buat dekat sama dia." Ungkap Daniel melirik Titania berharap sang kakak tidak melamun lagi. Dan benar, Titania langsung menatap nya. "Jadi itu planning lu selama ini, dan alasan lu selalu nolak niat baik dia gitu." Daniel mengangguk kemudian duduk di samping Titania. "Lu tau sebelum kejadian itu, dia senyum lebar ngelambaikan tangan. Di saat itu gue ngerasa… " Daniel nunduk meremas tangan, "Gue ngerasa bodoh gak pernah ngasih dia perhatian seperti yang ia lakuin ke gue." Suaranya bergetar. Titania tersenyum mengusap pipi sang adik, "Lu masih bisa ngelakuin itu sekarang." "Gue takut. Gue takut perhatian gue ke dia malah di salah artikan." "Maksudnya?" "Ya gue takut kak Ji Eun menganggap perhatian gue itu adalah rasa kasihan." Beralih menatap Titania. Gadis itu menghela nafas mengerti membuat Daniel kembali menunduk. "Iya sih, kalo gue di posisi Ji Eun juga pasti ngerasain itu. Secara lu sok keren nolak dia mulu, dengan kata-kata cih… nyebelin." Pluk!!! "Auh!!" Jerit Titania setelah dia kejungkang ke depan karena ulah Daniel yang memukul bagian belakang kepalanya dengan bantal. "Sialan lu ya! Dasar— " "Keluar lu sono. Ngeselin amat jadi kakak." Bukan nya keluar, Titania malah berbaring memeluk boneka Daniel erat tak ingin keluar. "Astaga kak, keluar dong. Gue mau tidur— " "Malam ini gue tidur sama lu ya, dek!" "HEH, APAAN!! Gak ya, enak aja!!!" "Dek," memelas menatap Daniel. Daniel mengacak rambutnya frustasi, "Ck, ya udah iya." Mana bisa dia nolak kalau Titania jika sudah memelas seperti itu. "Yes, hehe. Night bontot." "Sialan." Kedua nya tertawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD