Setelah sadar, Ji Eun sama sekali tak ingin mengeluarkan suara. Ia bahkan mengabaikan Titania dan Daniel saat bertanya.
Ji Eun hanya diam netranya menatap kosong keluar jendela.
Titania ikut diam menatap keluar menopang kepala nya di samping tempat tidur Ji Eun.
Daniel menghela nafas memecahkan keheningan, namun sama sekali tak ada yang merespon kalau dirinya tak suka situasi sekarang.
"Gue mau balik."
Daniel dan Titania beralih memandang Ji Eun yang masih seperti sebelum nya.
"Kata dokter, lu belum bisa pulang. Keadaan— "
"Mau gue berobat seperti apapun, kaki sialan ini gak akan pernah jalan lagi. Jadi buat apa di rawat, mending di buang."
"Kak Ji… jangan kayak— "
"Dan gue gak butuh kasihan lu!" Ji Eun beralih menatap Daniel dingin dan menusuk.
Deg!!
Titania menatap kedua nya, kini ia membenarkan ketakutan sang adik semalam jika niat nya akan salah di mata Ji Eun.
"Ji Eun-ah, kita balik ke rumah ya, tapi belum sekarang. Kondisi lu belum pulih, dan jangan berpikir— "
"Gue bakalan di sini sampai pulih kalo itu mau kalian, tapi gue gak akan kerumah kalian. Gue punya rumah sendiri." lagi-lagi Ji Eun menyela ucapan Titania. Ia pun menekan tombol memanggil perawat.
"Ji Eun biar kita yang— "
"Gak perlu, ada perawat." tak lama perawat datang, "Saya mau istirahat." Ujar nya pada sang perawat dan perawat tersebut membantunya berbaring.
"Saya butuh sendiri, tolong ajak mereka keluar dong."
"Tapi Ji— "
"Nona, lebih baik kalian keluar dulu ya, biarkan Nona Ji Eun istirahat."
Daniel dan Titania bersitatap menghela nafas.
"Ya udah kita keluar ya, kalau ada apa-apa panggil aja, kita di luar kok. Ayo Niel."
Dan Titania pun keluar di ikuti Daniel dan perawat tadi.
Tepat pintu tertutup, air mata Ji Eun kembali turun dan ia mulai terisak.
Kedua kakak adik itu duduk menunduk di depan pintu ruangan Ji Eun.
Tuan Jeon sudah kembali setelah keruangan dokter untuk istirahat.
Kebisuan melanda kedua nya, tak ada yang ingin memulai perbincangan.
Tak lama kemudian suara langkah kaki mendekat membuat mereka mengangkat wajah lalu memandang Nyonya Nam dan sang mama mendekati mereka diikuti Maria.
Tapi satu benda yang membuat tatapan Titania terkunci, yaitu sebuah cincin di jari manis Maria. Ia tau betul jika cincin itu sangat-sangat mirip dengan cincin pernikahan nya dengan Jung.
'Jadi sejauh ini hubungan kalian,bahkan tanpa rasa bersalah sekalipun masih tetap berhubungan. Baiklah, lagipula aku telah menyerah atas cinta dan nama nya. Lu menang lagi dek, selamat.'
Batin Titania mengusap sudut air mata nya kemudian menyambut mereka.
Layla memeluk Titania dan mendapat usapan dari Nyonya Nam.
Nyonya Jeon hanya bisa menenangkan Titania yang mulai menangis, wanita paruh baya itu merasa jika tangisan sang anak memiliki arti lain.
Ia yakin, ada sesuatu yang disembunyikan Titania, tapi dia tak ingin memaksa anak nya untuk mengatakan yang sebenar nya.
"Sabar ya sayang, Ji Eun pasti bisa melewati semua ini selama kamu ada di samping dia." Tutur Nyonya Nam.
Jujur, Maria iri melihat perhatian Nyonya Nam pada Titania dan berpikir, bagaimana jika dirinya lah yang berada dalam posisi tersebut. Apakah ibu dari kekasih nya itu akan melakukan hal yang sama atau malah tidak melirik. Apalagi dia hanya orang kedua dari hubungan Titania dan Jung.
Daniel berdiri saat Maria duduk di samping nya, membuat gadis itu bertanya-tanya ada apa dengan adik bontot nya itu.
"Udah ya, kasian Ji Eun. Kita harus kuat biar dia lebih kuat lagi." Nyonya Jeon melonggarkan pelukan Titania, lalu mengusap pipi sang anak. Ia tersenyum begitu juga Nyonya Nam.
"Ya udah kalian ke kantin aja dulu, biar mama sama Nyonya Nam yang nungguin Ji Eun."
"Benar sayang. Udah sana, kalian bertiga ke kantin aja dulu." Timpal Nyonya Nam.
Titania mengangguk meraih lengan Daniel dan juga Maria.
Setelah kepergian mereka, Nyonya Jeon dan Nyonya Nam masuk keruangan Ji Eun. Mereka melihat gadis itu tertidur dengan sesenggukan.
Layla mendekati Ji Eun dan mengecup kening gadis itu.
"Bibi tau ini berat buatmu nak, jangan merasa sendiri karena kami disini buat kamu sayang." Bisik Nyonya Jeon lalu menyimpan bungkusan yang ia bawa untuk Ji Eun.
"Titan pasti sangat sedih melihat sahabat nya terpuruk. Jangan merasa sendiri ya cantik, sahabat kamu akan selalu ada apapun yang terjadi." Lirih Nyonya Nam membelai rambut Ji Eun lembut.
Sembari menunggu Ji Eun tidur, kedua nya duduk di sofa dan mulai membahas tentang pernikahan anak-anak mereka.
***
Disisi lain, Titania hanya diam memainkan sedotan nya begitu juga Daniel.
Sedangkan Maria tengah memainkan ponsel nya tersenyum lebar. Sesekali gadis itu mengabadikan cincin di jari manis nya untuk di mempost di sosial media milik nya.
"Cantik. Dari pacar kamu ya," Titania tersenyum melihat cincin Maria.
"Ah ini," Marian semakin memamerkan telapak tangan nya di depan Titania. "Kakak tau, kata nya dia bakalan ngelakuin apapun biar bisa sama aku terus. Makanya kemarin dia ngajakin aku nyari cincin ini, hehe." Ia bersemangat men cerita kan tentang kekasih nya.
Daniel tersenyum remeh berdecak kesal.
"Lu kenapa sih, dari semalem ngeselin banget sumpah." Ketus Maria melihat kelakuan Daniel.
"Masalah buat anda. Lagian, jadi perebut kok bangga."
Deg!!
"Ma-maksud lu apaan, hah!"
Daniel mencondongkan dirinya mendekati Maria, "Katanya cantik bisa ngelakuin apapun, tapi kok jadi jalang!" Bisik nya membuat Maria murka dan menamparnya.
Plak!
"Maria!"
Maria menyentak Titania yang menahan nya menunjuk Daniel.
"Lu makin kurang ajar ya, gue ini kakak lu sialan! Kotor banget ya tuh—"
"Widih santai Miss, kalo emang gak bener ya ngapain sewot. Situ ngerasa kah?"
"b******k— "
"BISA DIAM GAK LU BERDUA!! Gak malu diliatin orang-orang, hah! Kalo mau berantem di luar sana, kalo perlu noh di sana ada pisau kalian ambil gih. Gak ada otak lu berdua."
Jika sudah seperti itu, Titania benar-benar marah.
"Ngapain lu marah ke gue, noh adik lu yang mulai."
"Gue emang cuma adik dia, bukan adik wanita kayak— "
"Niel diem. Dan lu, kalo emang yang di omongin dia gak bener, ngapain marah." Sela Titania.
"Dia ngatain gue kak, harus nya lu gak mihak dia aja dong. Selalu aja kayak gini, gue terus yang di salah— "
"Selalu, Oyah? Jadi menurut lu karena kak Titan ngebela gue, lu berhak merebut semua yang dia punya termasuk— "
"JEON DANIEL!!"
BRAAK!!
Daniel menggebrak meja kantin rumah sakit, kemudian beranjak dari sana meninggalkan Maria yang terdiam kaku.
Gadis itu merasa Daniel mengetahui sesuatu tentang dirinya.
'Gak mungkin! Gak mungkin anak itu tau soal gue dan Jung.'
Batin nya berharap-harap cemas, karena Jung akan sangat marah jika orang lain mengetahui hubungan mereka.
Diam-diam Titania mengamati tingkah Maria yang terlihat ketakutan.
Beberapa menit mereka saling diam, dan Jung datang entah dari mana.
"Sayang, aku hubungi kok gak diangkat sih." mengecup kening Titania lalu duduk. "Ini kok pada diem sih, ada apa sayang? Kalian berantem atau— "
"Ah itu, biasa si bontot lagi sensi." Titania melirik Maria kemudian tersenyum tipis. "Kamu ngapain di sini, emang gak kerja?" Tanya nya.
Jung menggeleng pelan mengusap pipi Titania lembut, "Lima hari lagi pernikahan kita, jadi aku lagi ngambil cuti selama beberapa hari. Itu juga di saranin sama papa." Ucap nya sangat-sangat lembut seakan menjerat Titania, agar semua kesalahan nya di lupakan.
Seperti itulah pikir Titania. Netra gadis itu menatap lamat-lamat wajah calon suami nya, "Jung,"
"Hem, ada apa sayang."
Tak peduli dengan keberadaan Maria, kedua nya saling bertatapan.
"Mari kita… "