Bian mengajak Belva ke rumahnya. Awalnya Belva ragu, karena meskipun Bian terlihat ramah, tapi dia agak misterius. Sedangkan Virgo, dia sudah terlihat Garang dan jahat, Belva bisa langsung melihatnya. Pada akhirnya dia tetap mengikuti Bian. Sebenarnya karena Bian memaksa.
"Kakak, masih jauh kan?" tanya Belva karena sudah lelah berjalan.
Bian memarkirkan mobilnya di depan semua minimarket. Setelahnya mengajak Belva berjalan hingga puluhan meter. Jalan tikus yang melewati banyak rumah penduduk.
"Cepet!" teriak Bian karena Belva tertinggal jauh.
"Capek, kak!" Belva merasa kakinya sangat pegal.
"Jangan manja!" Bian melanjutkan langkahnya, padahal dia tahu Belva memang terlihat kelelahan.
Seperti dugaan Bian. Belva anak orang kaya. Dia tidak biasa berjalan kaki. Pipinya sudah memerah terkena panasnya sinar matahari.
Beberapa orang terlihat menyapa Bian akrab dengan logat bahasa daerah. Belva tidak begitu mengerti. Apalagi mereka mengucapkannya dengan pelafalan yang sangat cepat.
"Oi, Bian. Anak gades siapo cantek nian!" sapa seorang ibu-ibu yang sedang menjemur pakaian di depan rumah.
"Biaso lah!"
Belva agak mengerti dengan yang terakhir itu. Dia mengusap dahinya yang basah oleh keringat. Dengan wajah tanpa make-up dan penampilan berantakan dia dibilang cantik. Belva jadi agak senang.
"Jangan senyum-senyum!" tegur Bian melihat sekilas Belva yang tersenyum mendengar dirinya dibilang cantik.
"Senyum salah. Nangis salah!" gerutu Belva yang bisa didengar oleh Bian.
Hingga akhirnya mereka sampai di rumah Bian. Rumah panggung yang sangat berantakan, berbeda sekali dengan penampilan Bian yang terlihat rapi. Apakah benar rumah ini milik Bian?
Belva saja jijik menginjak lantai terasnya, sangat kotor. Terlihat jika tidak pernah di sapu. Dia jadi berpikir, apakah Bian dan Virgo adalah orang yang tertukar? Virgo terlihat berantakan dengan banyak tato menghiasai kulitnya, tapi ternyata rumahnya sangat bersih dan rapi. Sedangkan Bian, dia rapi dan bersih, tapi rumahnya sangat kotor.
"Ayo masuk!" ajak Bian yang berdiri memegang daun pintu.
Belva mengangguk takut. Dia seorang diri di tempat asing. Bersama orang asing. Jelas saja, dia jadi berpikir negatif.
"Kak, kok kosong?" tanya Belva tak percaya, karena rumah ini seperti rumah tak berpenghuni, hanya ada sedikit perabotan.
"Gue jualin. Udah sana cari tempat duduk dulu. Gue beli'in minum di warung depan!" Bian pergi, Belva mengamati sekeliling.
"Kakak, siapa?" tanya seorang anak mengejutkan Belva.
Jika bukan karena wajah tampannya, mungkin Belva akan mengira itu anak tuyul. Apalagi anak itu berwajah datar.
"Aku menunggu kak Bian di sini. Kamu yang siapa?" Belva memperhatikan tatapan menyelidik dari anak itu.
"Aku pemilik rumah ini. Kamu maling ya?" tuduhnya dengan suara lucu.
Belva dan anak itu saling menatap hingga Ares kembali, dan agak terkejut melihat kehadiran anak itu.
"Hei, kau kemari bersama siapa?" tanya Bian menghampiri Belva, mengulurkan botol air mineral. Melewati anak itu.
"Ayah, dia siapa?" anak itu membulatkan matanya dengan wajah imut.
Belva merinding saat mendengar anak Ir memanggil Bian, Ayah. Dia mengamati keduanya, dan membandingkannya. Dari mata, tidak mirip. Bibir juga tidak. Tapi kemudian saat melihat caranya tersenyum, barulah terlihat sangat mirip.
"Ayo perkenalkan dirimu. Panggil dia kakak!" pinta Bian sambil menggendong anak itu.
Mereka berkenalan. Ternyata anak laki-laki itu masih berusia lima tahun. Dan tidak tinggal serumah dengan Bian. Terlihat ada kerinduan di mata anak tersebut.
"Lian, ayo ayah antar kau pulang!" Bian akan bangkit dari duduknya.
Lian nampak sedih. Dia melirik Belva dan kemudian kita berdiri dan berjalan ke pintu bersama ayahnya. Anak yang malang.
"Kau ingin berdiri saja si situ?" Belva langsung bangkit berdiri dan mengikut langka mereka dari belakang.
Lian tadinya ke sini diantarkan oleh pamannya. Biasanya kalau seperti itu, pamannya sedang sibuk. Dan menginginkan Bian menjaga anaknya sendiri.
Belva menyimak percakapan mereka sepanjang perjalanan. Dia hanya diam, karena tidak tahu ingin bicara apa. Sesekali Lian akan menoleh ke arahnya. Tapi sepertinya anak itu senang karena Belva tidak mengganggunya.
Sadar diri, Belva konsisten pada keterdiamannya. Lian dan Bian juga tidak menganggap kehadirannya.
Belva bingung saat mereka bukannya mengantar lian ke rumah, ini malah ke rumah sakit. Dalam diam dia hanya terus mengikuti langkah keduanya.
"Ayah, aku ingin bersama ayah saja!" Lian mengeluh, tapi Bian terlihat tidak memperdulikannya.
Mereka memasuki ruangan. Ada seorang wanita cantik terbaring dinl sana dengan banyak selang terpasang di tubuhnya. Belva melihat Bian mencium keningnya, dan duduk di sebelahnya tanpa bicara.
Lian duduk di pinggiran tempat tidur dimana wanita itu terbaring, lalu ikut merebahkan badannya di sana.
Wajahnya cemberut melirik Bian.
"Apa?" tanya Bian karena merasa Lian menatapnya agak kesal.
"Ayah jarang melihat bunda. Lian jadi kesepian. Paman juga hanya sesekali main ke sini kalau tidak ada pasien!" keluhan Lian sepertinya bukan hal yang baru, karena Bian menanggapi dengan biasa saja.
Belva bisa melihat mata Lian yang berkaca-kaca. Dia sepertinya sangat berharap Bian mau meresponnya.
"Kakak," Belva memanggil, karena Bian masih saja diam.
"Kau bosan. Ayo pergi!" ajak Bian membuat Belva tidak enak, karena Lian langsung melihatnya menuduh.
Bian berlalu pergi lebih dulu. Belva terpaksa mengikuti langkahnya, berusaha mengabaikan tatapan tajam dari Lian. Seakan dia sedang merebut ayahnya. Padahal, Belva juga tidak berdaya di sini. Dia hanya korban penculikan yang pasrah dibawa kemanapun oleh sang penculik.
"Kak, istri kakak sakit apa?" tanya Belva penasaran, dia kasihan saja melihat anak kecil seumuran Lian harus melihat ibunya terbaring di ranjang rumah sakit. Dia masih ingat, ketika dia harus melihat orang tuanya terbujur kaku di ranjang rumah sakit. Padahal dia sudah enam belas tahun. Hal itu sangat menyakitinya.
"Bukan istri. Hanya teman!" jawab Bian menyunggingkan senyumnya.
"Dia sakit kanker. Tapi yang membuatnya terbaring di sana bukan penyakit itu. Dia mencoba bunuh diri dengan lompat dari lantai tiga apartemennya. Tulang belakangnya bermasalah, dan kepalanya juga mengalami benturan keras yang menyebabkan kerusakan parah pada jaringannya!" jelas Bian panjang, membuat Belva melongo dibuatnya.
Bunuh diri? Apa yang membuat wanita itu ingin bunuh diri? Padahal dia memiliki anak usia balita. Apa karena penyakitnya? Belva, meskipun dalam keadaan terdesak, dia tidak pernah akan berpikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
"Anak tadi bukan anak kandung kakak?" Belva berpikir Bian baik karena mau dipanggil ayah oleh anak itu. Tapi, jawaban Bian kemudian membuat Belva menarik kembali pikirannya yang sempat berpikir Bian baik.
"Dia anak kandung gue!"
Jika anak kandung, Bian terlihat tidak begitu peduli. Sungguh kejam, padahal Lian hanyalah anak kecil. Dia butuh seseorang untuk memperhatikannya.
"Tidak perlu mengasihani orang lain. Hidupnya btudak jauh lebih mengenaskan dari pada hidupnya!" Seakan Bian tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Belva.
Hal tersebut mencubit perasaan Belva. Benar kata Bian, dia juga memiliki hidup yang sama mengenaskannya. Mengikut kemana permainan takdir membawanya.