Belva duduk diam di atas tempat tidur Virgo. Dia diantarkan oleh Bian ke rumah itu lagi. Lalu ditinggalkan begitu saja. Pintu rumah dikunci dari luar. Bahkan Belva juga dikuncikan di dalam kamar itu.
Bosan, itulah yang dia rasakan. Karena tidak tahu akan menghabiskan waktu untuk melakukan apa, dia melihat-lihat sekeliling.
Awalnya mencari buku bacaan di rak buku. Lalu berpindah melihat-lihat disekitar tak panjangan. Tanpa sengaja dia menyenggol sesuatu. Robot mini yang ditaksir jutaan rupiah.
Belva membuka mulutnya terkejut. Segera saja dia berusaha menempelkan salah satu kaki yang copot. Tapi tidak bisa. Mampus saja, dia takut. Keringat membasahi keningnya.
Untunglah, meskipun kakinya terlepas, tapi Belva berhasil membuatnya bisa berdiri di rak kembali. Meskipun saat diangkat jelas terlihat kaki itu hanya menempel saja. Bibirnya terangkat membentuk lengkungan, dia mengusap keningnya lega.
Karena tidak mau mengacau, Belva memilih untuk kembali merebahkan badannya saja. Dia bosan, ingin bertemu teman-temannya. Main ke mall atau setidaknya nongkrong di cafe.
Menghitung apa saja yang ingin dia beli saat nanti terbebas dari sini. Belva akhirnya tertidur. Dia lelah karena pergi bersama Bian, membuat kakinya pegal-pegal.
Pukul dua belas malam, Virgo baru sampai dirumahnya. Dia terlihat lelah dan sedikit mengantuk. Membuka pintu rumahnya, Virgo langsung menuju dapur untuk mengambil air minum.
Melihat meja pantry yang kosong, dia jadi teringat oleh gadis yang dia bawa pulang. Bian tadi mengabarinya kalau sudah menguncikan Belva di kamarnya.
Virgo menegak habis air dalam gelasnya. Lalu beranjak untuk membuka kunci pintu kamarnya. Di sana, dia melihat Belva susah tertidur lelap masih dengan balutan seragam sekolahnya. Dia lupa untuk membelikannya pakaian, dan melihatnya menggunakan seragam seperti itu membuatnya merasa jahat. Seharusnya, Belva masih sekolah, terbesit pikiran untuk menyekolahkannya saja di sini.
Masuk ke kamarnya. Dia langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Tidak butuh waktu lama, karena dia juga sudah sangat lelah. Keluar dari kamar mandi sudah dengan bokser dan kaus yang melekat di badan kekarnya, dia melihat Belva masih meringkuk seperti posisinya tadi.
Virgo melirik pintu kamarnya bergantian dengan tempat tidurnya. Kakinya melangkah mendekati tempat tidur, ikut merebahkan dirinya di sana. Toh, itu adalah tempat tidurnya.
Mereka berbagi tempat tidur. Belva tidak menyadarinya, dia malah semakin mendekatkan dirinya pada badan Virgo. Mencari kenyamanan.
"Lagi?" Virgo merasa tidak nyaman dengan tangan Belva yang melingkar di atas perutnya. Tapi bagaimana lagi, dia lelah dan ingin segera terlelap.
Jika saja Virgo tahu, kalau Belva belum mandi setelah berjalan-jalan dengan Bian siang tadi, laki-laki itu pasti akan menendangnya dari tempat tidur.
Betapa Belva ingin segera pulang, tapi dia seperti sebatang kara, karena tidak ada keluarga yang berusaha mencarinya.
Rumah Belva sangat besar, dihuni oleh beberapa pelayan yang ikut tinggal dirumah itu. Para pelayan kebingungan karena nona mudanya tidak pulang sudah lebih dari dua hari. Ingin melaporkan ke polisi, tapi paman dari Belva tidak mengijinkannya.
Laki-laki itu memanfaatkan situasi. Dia jadi bebas menguasai rumah itu dan mengajak keluarganya berpindah ke sana. Tuan putri menghilang, maka seharusnya ada yang memegang tombak kekuasaannya.
Perusahaan milik orang tua Belva yang di jalankan oleh orang-orang kepercayaan almarhum papanya juga ikut diambil alih olehnya. Dengan alasan, Belva sekolah di Singapore dan sementara kekuasaan atau apapun itu diwakilkan padanya.
"Maaf tuan, kamar nona muda tidak boleh dimasuki oleh orang lain. Jikapun anda memaksa, maka semua alarm akan berbunyi. Tidak bisa dimatikan, kecuali nona muda sendiri yang mematikannya!" Kepala pelayan mencegah dengan ancaman, meskipun rumah ini dikuasai, dia tidak akan membiarkan kamar nona mudanya dimasuki oleh lain.
"Kau lancang sekali. Angkat kakimu dari rumah ini. Aku tidak memerlukanmu bekerja di sini!" marah paman Belva, beliau tampak murka karena dilarang memasuki kamar paling mewah di rumah itu.
"Saya tidak bisa dipecat, karena nyawa saya terikat oleh nyawa nona. Hanya kematian yang bisa melepaskan saya dari pekerjaan ini. Dan nyawa saya dilindungi kuat oleh hukum!" Kepala pelayan itu tetap sopan, tapi ucapannya adalah bentuk ancaman.
Paman Belva yang geram hanya bisa diam, dia langsung pergi dari sana dengan wajah marah. Rahangnya mengeras dengan mata yang menyorot tajam.
Diusianya yang baru menginjak kepala tiga, dia memang tidak memiliki apapun selain pekerjaannya. Itupun hanya sebagai direktur di perusahaan milik orangtua Belva. Memiliki istri yang doyan belanja membuatnya sesak nafas tiap kali dimintai uang.
Memiliki putri yang masih berusia dua tahun, dia sangat kesulitan dalam keuangan. Dia adalah parasit dalam keluarga Alkase. Kini, keturunan utama Belva Alkase juga tidak diketahui keberadaannya.
"Sayang, kau berhasil meminta kamar itu. Aku ingin kamar itu!" rengek sang istri, Dima tak buka suara.
"Dima!" panggil istrinya lagi.
"Diamlah Tia! Aku pusing mendengar rengekanmu!" Dima berlalu pergi menuju kamar mandi, menyegarkan kepalanya yang memanas.
Dima sebenarnya juga sedang memastikan keberadaan Tia. Seandainya gadis itu mati, dia juga yang akan diuntungkan. Karena tidak perlu bersusah payah, hanya saja dia memang harus mencari tahu hal tersebut.
Gadis cantik itu menghilang. Tapi tidak ada yang akan mencarinya, karena keberadaannya dipalsukan. Pihak sekolah juga tidak akan mencarinya, karena ada catatan kalau Belva pindah dari sekolah itu.
Keberadaannya benar-benar menghilang tanpa jejak. Karena dia berada ditangan seorang Virgo, gembong n*****a yang juga menjabat berbagai komandan dalam kepolisian. Sungguh, mereka tidak akan bisa menebak keberadaan Belva. Palembang, tempat yang tidak akan disangka-sangka oleh Dima.
Belva menggeliat karena perutnya terasa lapar. Dia bahkan merasa perih di bagian lambungnya. Saat matanya terbuka, dia melihat wajah tampan tepat berada di depannya.
Memundurkan kepalanya, Belva membalikkan tubuhnya perlahan. Dia tidak tahu sejak kapan berada sangat dekat dengan laki-laki itu. Bahkan dia juga tidak tahu kapan Virgo kembali.
"Apa yang harus kulakukan?" Belva mencoba berpikir keras, dia tidak tahu harus melakukan apa.
Aroma maskulin merasuk dalam indera penciumannya. Padahal saat tidur tadi dia tidak merasakannya. Sedikit, demi sedikit dia menggeser tubuhnya. Karena jaraknya terlalu dekat.
"Berhenti bergerak!" suara bariton mengejutkannya.
Belva memang membuat guncangan dengan gerakannya. Dia tidak melanjutkan usahanya untuk bergeser, menunggu malam menjemput fajar. Belva sudah tidak lagi bisa tidur, karena lapar juga posisinya yang saat ini terlalu dekat dengan Virgo.
Virgo sendiri mengetahui kalau Belva merasa tidak nyaman, karena tubuhnya terlihat kaku tidak bergerak. Memang dia memerintahkannya agar tidak bergerak, tapi bukan menjadi batu.
Tangannya meraih pundak gadis kecil itu. Hingga posisinya terlentang. Terlihat raut ketakutan di wajah Belva. Virgo mengabaikannya dan menutup mata Belva dengan tangan besarnya.
"Tidurlah!"
Tidak ada jawaban, tapi suara perut Belva mewakilinya. Sungguh, Belva ingin sekali menenggelamkan tubuhnya dalam selimut. Wajahnya memerah malu dan tidak berani membuka suara.