Ian langsung menutup buku tebal yang tengah dibacanya saat kuletakkan piring berisi mie yang digoreng langsung dengan telur ceplok ke atas meja. Bawang merah agak kegosongan bertaburan di atasnya. Aroma lezat dan bau sangit menguar kuat di udara. Tak usah pedulikan tampilannya, yang penting rasanya ... le-zaaat. Ian terus memerhatikan mie sambil membekap mulut. Bahunya berguncang pelan. Kenapa sih dia? Ian memotong mie dengan tangan, menyuap pelan ke mulut, lalu meringis. Aku duduk di depannya. Mulai menyantap punyaku. Sungguh hambar. Tapi, telurnya malah keasinan. Ian memandangku, sudut matanya basah. "Kenapa? Nggak enak, ya?" Ian menggeleng. "Enak, kok." Ia menjawab sambil mengusap sudut mata. Tiba-tiba saja, Ian terisak lirih. Satu tangan bergerak menutupi mata. Perlahan mulai terse