POV Ian Sambil menata makanan di meja, aku menghela napas panjang berkali-kali. Sabar, Ian. Itu kan hanya foto. Tapi, bagaimana kalau dengan foto itu Lutfi jadi tahu segalanya? Tak bisa kubayangkan kalau sampai ia menerka-nerka kejadian yang sebenarnya lewat foto itu. Bisa kacau semua urusan. Bisa kupastikan gadis itu akan marah besar. Sekaligus merendahkanku seperti yang lainnya. Sudah. Lupakan. Kataku pada diri sendiri, dengan langkah pelan berjalan menuju kamarnya. Pintunya sedikit membuka. Kuketuk pelan. "Can," panggilku. Tidak ada sahutan. Apa mungkin ia sedang tidur atau menangis? Melihatnya yang tadi begitu sedih membuatku tak tega. Kasihan juga gadis itu. Harus berpisah dengan keluarganya gara-gara si nakal itu. "Aku minta maaf. Aku gak bermaksud bersikap seperti tadi," kataku