Satu
Tanganku terkepal kuat saat ujung pisau yang runcing perlahan merobek permukaan kulit. Nyeri. Dengan mata terus terpejam, kembali kutekan benda ini ke pergelangan tangan, sesekali menggigit bibir menahan pedih. Mungkin, ini yang terbaik. Lebih memilih meregang nyawa, daripada menanggung sakit hati dan perasaan malu yang tak berkesudahan. Lelaki itu ....
Air mata bergulir turun. d**a terasa sesak saat mengingat Mas Aswin lebih memilih uang 2 ratus juta yang ditawarkan abah timbang terus mempertahankanku. Dasar mata duitan! Pengecut!
Gigitanku pada bibir semakin kuat. Sakit. Pergelangan tangan berdenyut ngilu. Aku harus mati. Sudah tak sanggup lagi menanggung semua ini. Putus cinta, lalu dipaksa menemui lelaki pilihan abah.
Melalui beberapa foto yang diperlihatkan umi, aku sudah bisa menebak ia lelaki seperti apa. Selalu mengenakan serban, juga baju terusan sampai mata kaki yang nampak kedodoran di tubuhnya. Pasti, ia lelaki sok suci. Jadi daripada bertemu dengannya lalu melangsungkan pernikahan seperti yang diharapkan abah, lebih baik mati!
Aku bergidik ngeri saat melihat darah mengalir dari pergelangan tangan, sebagian mengotori bunga-bunga kecil di jilbab yang kukenakan, saat mata terbuka karena mendengar dering HP. Foto Mas Aswin yang sedang tersenyum lebar, terpampang di layar.
Baru saja membuka mulut hendak mengumpat, ia sudah lebih dulu berkata, "Dek, cepat berkemas. Mas tunggu di depan."
Aku membisu, mencoba mencerna ucapannya.
"Dek, ayo kita kabur. Bawa semua perhiasan dan tabunganmu. Ayo, kita pergi jauh dari sini."
Aku mendongak menatap jam dinding. Pukul 11 malam. Apa kata Mas Aswin barusan? Kabur? Apa ia sudah sinting? Di depan mataku, ia menerima segepok uang dari abah. Lalu sekarang ... sungguh tak masuk akal.
"Dek, jangan salah paham. Aku terima uang dari ayahmu, sebenarnya untuk bekal kita minggat. Kamu tahu sendiri aku tak punya apa-apa. Cepat, Dek. Keburu ketahuan."
Klik.
Sambungan diputus sepihak. Kabur? Jika mengajak pergi jauh, bukankah artinya Mas Aswin masih mencintai dan ingin mempertahankanku? Mas Aswin pasti tahu konsekuensi yang harus ditanggungnya jika sampai ketahuan abah.
Seolah tersadar, sambil meringis menahan sakit, kutarik kasar pisau yang menancap di urat nadi, lalu membebat tangan bersimbah darah ini menggunakan jilbab putih segi empat yang tergeletak di samping tubuh.

Aku mondar-mandir dengan gelisah. Perasaan tidak tenang. Kabur? Aku menggeleng ragu. Sama sekali tak pernah terlintas secuil pun pergi meninggalkan rumah.
Aku terus bergerak ke sana-kemari sampai HP kembali berdering. Kuraih cepat, tapi tak mengangkatnya, hanya menatap foto Mas Aswin sampai benda pipih dalam genggaman mati sendiri.
Haruskah pergi? Satu sisi mengatakan iya, sisi lainnya melarang keras. Abah pasti akan mencari kami. Tapi jika tetap di rumah ... aku menggeleng kuat, terisak saat menyadari kenyataan aku hendak dinikahkan dengan anak kawan karib abah.
HP menyala terang. Tekan. Mas Aswin berkata tak sadar begitu sambungan terhubung.
"Cepat, Dek! Kamu ingin aku ketahuan berada di sekitar sini lalu dipukuli abah?!" Suara Mas Aswin terdengar panik.
Aku menghela napas. Abah tak sekejam itu. Tapi, abah juga tak pernah main-main dengan perkataannya. Abah pernah mengancam akan memberi perhitungan pada Mas Aswin jika kembali menemuiku.
Haruskah pergi? Atau tetap tinggal lalu menikah hanya dengan proses taaruf? Menikah tanpa cinta ....
Lekas kubuka lemari lalu menjejalkan pakaian, jilbab, dalaman, perhiasan, juga kartu ATM ke dalam ransel sambil menggigit bibir menahan ngilu. Beres. Haruskah pergi? Hati digelayuti ragu. Perasaan campur aduk. Ibarat dihidangkan makanan pemicu alergi dalam keadaan sangat lapar. Dimakan salah, tak dimakan ... lapar.
Ah, sudahlah. Mungkin ini pilihan terbaik. Yang akan terjadi nanti, pikirkan saja belakangan. Sambil menoleh ke kanan dan kiri dengan jantung berdetak kencang, aku berjingkat menuju ruang tamu. Sunyi. Gelap. Abah dan umi pasti sudah lelap dalam mimpi. Perlahan, tangan memutar kunci. Aman.
"Deek, cepaat!"
Lelaki semampai berambut jabrik itu melambai-lambaikan tangan di bawah lampu jalan yang terang benderang, persis di depan gerbang. Wajah putih mulusnya tampak riang. Bibir tipis kemerahannya mengembang lebar, memperlihatkan dua gigi gingsul yang membuat ia semakin tampak manis.
Agak ragu, aku melangkah mendekat. Bagaimana kalau abah dapat menemukan kami? Pasti akan marah besar, apalagi Mas Aswin sudah menerima sejumlah uang darinya. Bagaimana kalau umi terus menangis begitu menyadari sang putri tak lagi di rumah? Bagaimana kalau semua orang berpikir jelek tentangku? Masa, lulusan pesantren kabur dari rumah.
Aku menggeleng bingung. Serbasalah. Tetap tinggal lalu menerima takdir, atau pergi dengan kekasih tercinta.
"Ayo, Dek."
Aku menunduk, menggigit bibir. Dalam hati meyakinkan niat, bahwa ini yang terbaik. Yang akan terjadi nanti, biarlah menjadi urusan nanti. Aku mempercepat langkah, menyusuri jalan pedesaan yang sunyi. Maaf, bah, umi, anakmu memilih pergi.