Kepala terasa pening saat aku membuka mata dan menatap sekitar sambil sesekali mengernyit. Ngilu di pergelangan tangan mulai reda. Jilbab yang semula membelit luka, kini diganti dengan perban putih yang nampak kecokelatan di bagian yang tersayat.
Aku refleks duduk saat melihat lelaki asing bersandar di pintu, tengah memandangku sambil tersenyum, lalu dengan kedua tangan di saku jas putih panjangnya melangkah mendekat.
"Hai," sapanya sambil duduk di bibir ranjang yang kududuki. Ia tersenyum lebar, terus menatapku tanpa kedip.
"Syukurlah, setelah 18 jam-an gak sadar, akhirnya kamu siuman. Kamu kehabisan banyak darah. Oh, ya kenalkan, aku Ardian. 29 tahun. Panggil aja Ian," ucapnya sambil mengulurkan tangan yang hanya kubiarkan terus mengambang di udara. Ia tersenyum kecil, perlahan menurunkan tangan.
Delapan belas jam? Aku menatapnya takut-takut. Tubuh tinggi tegap, mata sendu, rambut sedikit keriting, kulit sawo matang, dengan wajah tirus yang terlihat ramah. Ia memiliki dua gigi gingsul dan lesung pipi, membuatnya terlihat menawan saat bibir tipisnya mengembang lebar. Juga nampak ramah. Jika umurnya 29 tahun, berarti ia sepantaran dengan Mas Aswin. Selisih dua tahun lebih tua dariku.
"Lelaki yang bersamaku ... mana?"
Aku menatap sekeliling. Ruangan lebar bercat biru ini tak banyak diisi perabot. Hanya ada lemari transparan berisi botol-botol kecil, meja, dan beberapa kursi. Juga ranjang kecil yang kini kami duduki.
Langsung kubekap mulut saat perut tiba-tiba bergejolak. Ini pasti karena aku belum makan, ditambah pendingin ruangan yang menusuk, menguarkan harum bunga yang berkontaminasi dengan bau menyengat obat-obatan. Jam berapa sekarang? Aku menatap arloji di pergelangan tangan. Pukul 5 sore.
"Siapa? Oh, Aswin? Hmmm. Dia ...." Sambil menatapku ragu, tangannya bergerak pelan merogoh saku celana putih panjangnya.
"Bacalah." Ia mengulurkan sebuah kertas putih agak kusam yang dilipat asal.
Aku tersentak. Membaca? Kenapa Mas Aswin melakukan ini padaku? “Aku sedang nggak ingin membaca."
Ian menggelengkan kepala, tangannya bergerak pelan mmembuka lipatan kertas.
“Kalau begitu dengarkan.” Lirihnya.
"Dek, yang bersamamu sekarang adalah Rian, dia teman dekat Mas sejak kecil. Untuk sementara waktu, kamu ikut dulu sama dia, ya. Mas di desa. Biar bapakmu tak curiga mas yang mengajakmu pergi. Nanti jika situasi sudah aman, Mas nyusul kamu. Turuti apa saja kemauan dia dan jangan pernah ke mana-mana ya, Sayang.
Uang, perhiasan, ATM-mu aman di tangan Mas. Mas akan mencoba merintis usaha, nanti jika sudah sukses, Mas akan lamar kamu. Mas jamin, orang tuamu pasti setuju."
Mataku melebar. Segera kusambar kertas di tangan Ian. Sungguh, yang dilakukan Mas Aswin benar-benar tak bisa diterima akal sehat. Amarah seketika memuncak, berdenyut di ubun-ubun. Tangan mengepal kuat.
Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa dicurangi. Kuremas kuat kertas dalam genggaman sampai kuku-kuku menusuk kulit. Sakit. Namun, sama sekali tak sebanding dengan rasa kecewa yang menyeruak perlahan dalam d**a. Bisa-bisanya mas Aswin menitipkanku pada lelaki asing. Seperti barang saja!
Astaghfirullah. Aku menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosi yang kian membuncah.
Apa ini teguran dari-Nya karena telah berbuat diluar batas? Durhaka kepada orangtua, juga mengambil jalan pintas dengan mencoba mendahului takdir Allah. Bukannya saat hendak bunuh diri tak memikirkan dosa, tapi, karena malam itu perasaan sangat sedih dan semerawut, terluka, juga merasa dibuang. Ilmu yang pernah kukenyam di pesantren, malam itu menguar begitu saja, digantikan oleh nafsu yang membara. Mati. Mati! Hanya itu yang terlintas dalam kepala.
"Dua jam setelah sampai sini, dia pulang. Dia sangat khawatir," kata Ian dengan suara pelan. Tatapannya seolah sedang mengasihaniku. Apakah lelaki ini bukan orang jahat? Ia terlihat ramah.
Aku menggigit bibir. Mata memanas. Sesaat kemudian, butiran hangat terasa lembut mengalir di pipi.
Ah, sudahlah, kenapa harus cengeng? Menangis, bukan cara tepat menuntaskan masalah. Lebih baik aku lekas pulang daripada berlama-lama dengan lelaki asing ini. Iya. Lebih baik pulang kemudian menemui Mas Aswin, mengajaknya pergi ke tempat yang jauh. Aku beranjak berdiri, meraih ransel di lantai, lalu melangkah cepat menuju pintu.
"Mau pergi ke mana, Cantik?"
Aku berbalik, menatapnya sebal. Kenapa ia memanggil nama orang semaunya?
"Namaku Lutfiah. Panggil aja Lut—"
"Aku tau, kok, namamu," ujarnya sambil melipat tangan di d**a. Matanya memerhatikan tubuhku dari atas ke bawah. Huh! Wajah terlihat ramah, tapi matanya jelalatan. Dasar mata keranjang!
"Mau ke mana?" Ia menatap dengan wajah sungguh-sungguh.
"Pulang!"
Ia sekarang menahan senyum. "Memangnya ... punya uang?" tanyanya dengan tatapan mencemooh.
Sungguh menyebalkan. Kukira, ia lelaki ramah. Ekspresi wajah dan mata sendunya sungguh menipu.
"Aku bisa jalan kaki!" Lalu, kembali aku melangkah. Terdengar suara sepatu mendekat. Ian mendahuluiku, berbalik, kemudian merentangkan kedua tangan dan tersenyum lebar.
"Ya-kin, ke Mesuji hanya jalan kaki? Coba, aku cek!" Serta-merta tangannya bergerak menyentuh jidatku. "Hmmm, gak panas. Berarti ... kamu gak gila."
Gila? Mulut langsung menganga. Seumur hidup, baru kali ini kutemui orang yang lebih menyebalkan dari abah. Aku menatap Ian dengan pandangan tak suka. Dasar ganjen! Sentuh orang sembarangan.
Dan ... apa katanya barusan? Ke Mesuji jalan kaki? Memangnya, ini bukan di Mesuji? Lalu, di mana?
Aku refleks mundur saat tiba-tiba tangan Ian mengepal, lalu bergerak cepat ke arah mulutku. Orang ini kenapa, sih, aneh sekali. Aku melayangkan pandangan jengkel.
Ian tergelak. "Tutup mulutmu. Tanganku saja seakan ditarik masuk. Awas, nanti ada lalat masuk." Ia kembali tergelak.
Aku mengatupkan mulut dan melotot, menatapnya galak, kemudian berjalan menuju jendela transparan berukuran besar. Di luar sana, tak begitu jauh dari sini, ada banyak bangunan menjulang tinggi.
Mata kubelalak-belalakkan. Perasaan mulai tak tenang. Ini di mana, sih? Tak mungkin di kampung. Rasa takut tanpa bisa dicegah merayap dalam d**a.
"Gak usah heran. Kamu ada di Jakarta. Apartemenku," ucapnya yang tahu-tahu sudah berdiri di sampingku, menatapku sambil tersenyum kecil.
Apa? Tempat tinggalnya?
Kutatap lagi situasi di luar. Bangunan raksasa menjamur di area sekitar, nampak beberapa orang melangkah sambil bersenda gurau di jalanan. Beberapa kendaraan melaju tenang.
"Gak usah pasang tampang kayak mau ketabrak kereta api begitu, Can. Tenang aja, aku cowok baik-baik. Tapi, mungkin bisa khilaf." Ia melangkah maju, membuatku refleks mundur.
"Jangan terlalu tegang, Cantik. Aku hanya bergurau. Tenang aja, aku bukan orang jahat, kok. Dan, kamu bukan tipeku. Jadi, meskipun kita hanya tinggal berdua, aku dapat pastikan kamu aman dari perbuatan tercela. Dan, satu lagi, kita satu desa. Jadi, buang ekspresi jelekmu itu. Buang semua buruk sangka."
Aku memandangnya dengan d**a bergemuruh. Hanya berdua? Satu desa? Astaghfirullah. Mas Aswiiin. Bagaimana bisa menitipkanku pada lelaki asing seperti dia?
Tahu begini .... kepala menggeleng tegas, merasa sedih saat ingat harus menikah dengan lelaki tak dikenal. Tapi tinggal di sini bersama lelaki asing .... juga bukan pilihan.
Aku menatap Ian dengan wajah kubuat sememelas mungkin.
"Pinjami aku uang untuk pulang."
Ian langsung melambai-lambaikan jari telunjuk ke udara, bibirnya menyungging senyum kecil.
"Ooh, gak bisa, Caan. Aswin udah menitipkanmu padaku. Meskipun begitu, kamu harus ingat, ya, kamu tinggal di sini gak gratis. Kamu harus masak, ngepel, beresin pekerjaan rumah."
Aku lagi-lagi dibuat terkejut. Masak? Ngepel? Seumur-umur, tak pernah tangan ini melakukan pekerjaan itu. Selalu saja, bibi yang diandalkan di rumah. Pernah suatu hari mencoba membantu bibi, tapi umi tegas melarang.
Kata umi, yang perlu dilakukan putri tunggalnya hanyalah belajar. Belajar. Terus belajar baik sekolah maupun mengaji. Umi ingin sang anak berprestasi di sekolah, juga pintar dalam urusan agama. Maka, selepas SMP aku dimasukkan ke pesantren cukup lama. Begitu mukim, abah main menjodohkan saja. Sungguh menyebalkan!
Aku mengembuskan napas kuat, malas mengingat sifat egois abah. Sudah tahu sejak dulu aku mencintai Mas Aswin ... ah, ssudahlah. Mengenangnya hanya akan membuat d**a kian sesak.
"Jangan bengong! Nanti, lalatnya benar-benar masuk ke mulutmu!"
Suara keras Ian langsung menyentakku dari lamunan. Ia menatapku sambil menggelengkan kepala, tangannya bersidekap di d**a.
"Karena tanganmu masih sakit, maka, kamu boleh melakukan tugasmu satu minggu kemudian. Jadi sementara, biar aku yang masak. Ayo, ikuti aku."
Aku mengikutinya dengan langkah ragu. Semoga, Ian lelaki baik.
"Ini kamarmu."
Aku mengangguk kecil. Berdua dengan orang asing, rasanya sangat tidak nyaman. Apalagi Ian sebentar-sebentar menatapku.
"Istirahatlah. Dan ingat, jangan berani masuk kamar itu. Kamarku!" tegasnya, menunjuk kamar tanpa pintu yang terletak tak begitu jauh dari kamar ini.
Aku membisu. d**a berdebar keras. Jantung berdetak tak beraturan. Sungguh, Mas Aswin sangat keterlaluan. Awas saja kamu, Mas, jika bertemu nanti. Sudahlah, lebih baik segera masuk kamar lalu menelepon Mas Aswin, memintanya segera datang menjemput.
"Tidur aja dulu. Nanti kubangunkan jika udah matang," ucap Ian pelan, menatapku sekilas, tersenyum, lalu melangkah pergi.
Aku bergegas masuk dan membuka tas. Dompet, ponsel, semuanya raib kecuali KTP. Tanganku terkepal. Perasaan marah dan sedih menerjang bersamaan. Air mata kembali luruh. Kenapa kamu tega padaku, Mas? Bukan ini yang kuinginkan. Bukan bersama lelaki itu. Duh Gusti Allah, apakah ini balasan karena berbuat tanpa pikir panjang? Aku merebah, lalu menangis keras.
Kenapa Mas Aswin tega? Apa ada maksud tersembunyi? Semua pikiran buruk tentangnya langsung kuberantas habis saat ingat sikap Mas Aswin selama ini. Mas Aswin lelaki baik dan penyayang. Tak pernah ingkar. Sebelum aku masuk pesantren ia berjanji akan selalu setia, dan ia membuktikannya. Jadi tidak mungkin jika Mas Aswin sengaja membuangku.
Aku menarik napas, jangan berburuk sangka, Lutfi. Selalulah ingat, Allah tak menykai orang yang cepat berburuk sangka.
Aku merebah. Semoga usahamu sukses, Mas. Lalu datanglah untuk menikahiku.
***
"Udah matang, ayo, makan dulu."
Suara lembut Ian langsung membuatku beranjak bangun, bergegas mengikutinya menuju ruangan tak terlalu besar. Hanya ada meja bundar dari kaca dan kursi, juga lemari berisi buku-buku.
"Duduk."
Ragu-ragu aku duduk di hadapannya. Hanya berdua saja, berhadapan pula, membuat diri amat gugup dan d**a berdebar tak nyaman. Keringat dingin menetes. Kuseka cepat.
Aku menarik napas, mencoba rileks dengan bersikap sok kenal.
"Ini ... makanan apa, Ian?"
Aku bertanya dengan gugup. Keringat dingin terasa di tengkuk dan telapak tangan. Sungguh menegangkan. Bayangkan, kami tak saling mengenal. Tapi duduk begitu dekat seperti sepasang kekasih.
"Menurutmu?" Mata Ian terpicing. Menatapku dengan pandangan tak percaya.
"Mie." Pelan aku menyahut. Sungguh begitu grogi. Ayo, Fi. Cairkan suasana.
"Itu, tau."
Ian tersenyum sambil menggelengkan kepala. Aku mulai menyendok. Menggigit bibir. Sungguh pertanyaan yang bodoh. Ini kan memang mie, hanya diberi tambahan irisan wortel dan telur. Duh, malunyaa. Ternyata, tegang bisa membuat pikiran jadi semrawut. Yaa sudahlah, lebih baik makan saja.
"Enak. Kamu jago masak ternyata," gumamku bermaksud memujinya.
Ian berdeham kecil. "Apa kamu sedang menghinaku? Semua orang, pasti bisa jika hanya masak mie instan, Can. Jangan bilang ... kamu gak bisa—" Ian menatapku lekat.
"Bisa, dooong, maa-sa hanya masak mie instan aku nggak bisa. Cemen, doong," sahutku cepat.
Padahal, memang tidak bisa. Atau lebih tepat dibilang, belum pernah melakukannya.
Ian berdeham lagi.
"Bukan itu maksudku. Maksudku, jangan-jangan, kamu gak bisa bedakan mana mie instan dan mie yang mengolah sendiri. Membuat bumbunya sendiri."
Wajah terasa menghangat. "Oh, i-tuu. Bisa, kok."
Dan, itu dusta. Maafkan aku, Allah. Sudah durhaka, mencoba bunuh diri, sekarang malah berbohong. Di pesantren, semua keperluan mengenyangkan perut sudah ada yang urus, tugas para santri hanya belajar dan belajar. Jadi wajar jika hanya memasak mie saja aku tak pernah.
Ian mengangguk-angguk, melanjutkan makan. "Apa kamu ingin kuajak jalan-jalan di sekitar sini?"
Aku menarik tisu di tengah meja, mengusap mulut, lalu menatap sembarang arah. Merasa gerah karena Ian sebentar-sebentar menatapku. Kenapa, sih, dia? Ian bilang aku bukan tipenya, tapi, kok, terus memandang kemari? Apa mulutku belepotan? Apa ada kotoran di mata?
"Jika mau, besok sore sepulang dari rumah sakit kuajak jalan-jalan. Kamu boleh melihat-lihat apartemenku, tapi, jangan ke ruangan tadi, ya? Itu tempat praktikku."
“Yang tadi?” Aku bertanya dengan suara pelan, sedikit heran.
“Kenapa? Ada yang aneh?”
“Hanya ... merasa aneh.” Aku memandangnya takut-takut.
“Emang ada pasien yang datang di ruangan tadi? Begitu tertutup,” kataku lagi, masih dengan suara pelan. Ian tersenyum sinis.
“Jangan salah. Banyak, kok, pasienku. Mulanya ruangan itu kusediakan untuk penghuni apartemen kalau-kalau ada yang sakit. Tapi lama-lama banyak yang datang. Ya, udah, buka praktik sekalian aja. Tempatnya juga strategis.” Ian memandangku sekilas.
“Ooh.” Aku mengangguk-angguk. Sungguh tak nyaman.
Ian mengusap mulut dengan tisu lalu menggeser kursi ke belakang, menyeruput sisa tehnya, kemudian berjalan ke arah depan. Aku menarik napas panjang, merasa begitu lega.