Ransel di punggung terasa semakin berat. Pergelangan tangan berdenyut ngilu, sakitnya mulai merambat area sekitar, lebih menusuk dari sebelumnya.
Disinari cahaya rembulan yang nampak begitu bulat dan keperakan, juga bintang gemintang yang berpijar indah, kami terus berjalan dalam keheningan. Aku bersidekap saat angin dingin berembus dari arah hamparan kelapa sawit di kiri-kanan setapak jalan yang kami lewati.
Kurapatkan switer, berusaha menahan lelah dan hawa dingin yang terus menerjang tubuh.
"Mau istirahat dulu, Dek?" Mas Aswin menoleh. Suaranya terdengar cemas.
"Nggak usah, Mas." Aku semakin kuat memeluk tubuh. Badan terasa panas dingin. Kaki juga pegal. Kepala berdenyut, rasanya begitu berat dan pening.
"Sebentar lagi sampai rumah temanku, nanti, kita istirahat di sana. Besok pagi, baru kita lanjutkan perjalanan." Mas Aswin menoleh.
Aku mengangguk pelan. Kepala seakan berputar. Tubuh semakin kuat menggigil. Pergelangan tangan terasa menebal, sakit sekali saat digerakkan. Apa jangan-jangan tetanus? Apa kematian yang beberapa menit tadi begitu diharapkan, akan segera menghampiri?
Air mata bergulir turun saat membayangkan kemungkinannya. Ketakutan perlahan merayap menyungkupi hati. Jika terjadi apa-apa padaku, pastilah Mas Aswin yang dikambing hitamkan.
"Kamu sakit?" Mas Aswin kembali menoleh. Di langit, bintang berkerlap-kerlip.
"Nggak, kok. Aku nggak sakit," sahutku berusaha terdengar riang.
"Syukurlah."
Aku mencoba mengimbangi langkah panjang-panjang Mas Aswin. Mengacuhkan rasa lelah, juga gigil yang membuat tubuh berkeringat dingin dan gemetar. Rasa berat di kepala tambah menjadi. Berdenyut. Seakan berputar.
Begitu keluar dari jalan terobosan, tubuh seperti melayang. Mas Aswin dengan sigap merengkuh lalu mendudukkanku di bibir jalan berbatu. Ia menyusul duduk di sebelahku.
"Minum." Ia mendekatkan air mineral 500 ml ke bibirku. Aku menyedotnya hingga kandas.
Mas Aswin menarik napas panjang. Dari pancaran sinar bulan, wajahnya terlihat sangat khawatir. Tatapannya berganti-ganti pada wajah dan tangan yang semakin membatu ini. Jilbab putih yang membelit luka telah berganti warna, samar menguarkan bau anyir.
"Kamu sakit, Dek? Itu ... tanganmu kenapa?" Mas Aswin menatap tanganku.
"Nggak papa, Mas. Tenang aja, ah, nggak usah ketakutan gitu wajahnya."
Aku berusaha menghiburnya dengan suara yang diriang-riangkan. Jangan sampai gara-gara ini malah tak jadi pergi. Tak bisa kubayangkan andai kembali ke rumah, Mas Aswin pasti dihajar, dan aku harus menikah dengan lelaki asing itu. Sudah terlanjur memberontak, maka harus dilanjutkan sampai akhir.
Mas Aswin menggeser tubuhnya mendekat. Lalu menempelkan telapak tangan ke keningku. Aku langsung menyentaknya.
"Jangan pegang-pegang, Mas! Kita belum menikah."
Mas Aswin tak menyahut. Bergegas ia berdiri, lalu melepas ransel di pundakku, tergesa membukanya.
"Cari apa, Mas?" Aku memandangnya penasaran.
"Dompet. Semua uangku sudah kutabung. Berapa pin ATM-mu?"
Aku memandangnya cukup lama. Merasa heran. "Di dompetku ada uangnya, Mas."
"Berapa pin ATM? Buat jaga-jaga."
Aku mengernyit. Untuk apa pin ATM? Malam-malam begini, mana ada mesin ATM yang buka? Uang di dompetku pun lumayan banyak.
“Kamu tak percaya padaku?” Mas Aswin memandangku lekat.
“Aku takut kamu kenapa-napa, Dek. Ini untuk jaga-jaga seandainya kamu sakit parah. Aku tinggal menggesek punyamu, juga punyaku.”
Walau ragu, akhirnya kusebutkan. "Tanggal jadian kita."
Mas Aswin mengangguk kecil. "Tunggu di sini, Dek. Aku pergi cari obat dulu."
Mataku refleks melebar, menatapnya tak habis pikir. Aku ditinggal sendirian? Ya Allah ....
"Jangan ke mana-mana, ya?"
"Mas tega tinggalin aku di sini sendirian?" tanyaku tak percaya sambil memerhatikan sekitar. Lengang. Di depan dan belakang kami duduk, berdiri kokoh perkebunan kelapa sawit, butuh sekitar 20 menit berjalan kaki untuk sampai ke perkampungan penduduk.
"Badanmu panas sekali, Dek. Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana."
Dada bergemuruh. Kepala menggeleng tegas.
"Nggak mau! Jangan tinggalkan aku, Mas. Aku takut. Bagaimana kalau ada apa-apa? Ada orang jahat. Ada ...."
“Nggak akan ada apa-apa, Dek. Kamu terlihat sangat lemah. Tunggu saja di sini, aku akan segera kembali.”
Aku hampir menangis saat Mas Aswin beranjak berdiri, lalu melangkah setengah berlari membelah jalan berbatu yang lengang. Ia sempat membalikkan badan dan melambaikan tangan, memberi isyarat agar aku tak ke mana-mana.
Angin dingin menerjang dari arah belakang. Tubuhku gemetar. Gigil kian mengganas. Kuusap peluh yang terasa dingin di telapak tangan, lalu mendongak memandang langit. Terang, tak ada riak awan. Bulan bundar bersinar keperakan, sementara di sekitarnya, ribuan bintang memancar cemerlang.
Tubuh kembali diserang gigil. Kepala dan tengkuk memberat. Sedetik kemudian, tubuh seakan melayang ringan. Pandangan berputar. Pekat. Seakan terbang.