"Ibu ... mari coba sekali lagi!" kata Rimpu, "kali ini aku akan lebih berusaha! Tolong bu, sekali lagi." Pintanya.
"Baiklah!" sahut Unyis X terlihat senang dengan semangat besar yang dimiliki anaknya tersebut. Unyis X kembali mengeong dan mengeram, mengaktifkan kembali warpzone di sekeliling ruangan.
Lagi-lagi Rimpu merasa tertekan. Bagian depan tubuhnya kembali menunduk dan ia kembali memiringkan kepalanya. "s**l! s**l! Aku ... tetap ... tidak bisa ... ber ... gerak," gumam Rimpu sembari menahan tekanan dan kuatnya intimidasi meongan dari Unyis X yang dirasakan oleh tubuhnya.
"Jangan berhenti ibu ... aku ... akan mencobanya!" Rimpu kembali berusaha bergerak namun tubuhnya benar-benar tak berdaya di dalam warpzone, sama sekali tidak bisa digerakkan. Bagaimanapun Rimpu berusaha ingin menggerakkannya, terlihat percuma. "s**l ... tubuhku ... ayo bergerak ... lah ...." Rimpu masih berusaha keras.
"Cih! Kenapa aku harus melihat hal konyol semacam ini." Gumam Rimpam sembari memejamkan matanya.
Melihat betapa kerasnya Rimpu berusaha namun tetap tidak bisa keluar dari jerat intimidasi meongannya—Unyis X juga hampir berpikir bahwa ini mungkin adalah hal yang mustahil. Dia tetap diam fokus kepada Rimpu yang masih kuat berusaha.
"Siaaaal...!!" teriak Rimpu.
Tiba-tiba sesuatu yang mengejutkan terjadi! Unyis X melihat Rimpu sedikit mulai bisa berdiri dan bangkit dari keadaan tertekannya walaupun itu hanya untuk sesaat dan Rimpu kembali bersimpuh dan kepalanya merunduk, tidak bisa menahan intimidasi meongan Unyis X yang terlampau kuat.
Unyis X hanya menatap Rimpu nanar, ia belum sekalipun mematikan warpzonenya ataupun menurunkan kualitas meongannya. Kemudian ... hal itu terjadi lagi. Rimpu mulai bisa bergerak perlahan, sedikit demi sedikit dan mulai mampu menggerakkan tubuhnya. "Bergeraklah! Lawanlah rasa menekan dan menakutkan ini!" gerutu Rimpu sembari mulai menggerakan kaki-kaki depannya dan bersiap untuk berdiri tegak. Kepalanya masih tertunduk dan mulutnya menyeringai menahan kuatnya tekanan warpzone.
Rimpam sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bahwa akhirnya Rimpu ternyata bisa menggerakkan tubuhnya di dalam medan warpzone. Mata Rimpam mengintip sebelah sembari ia masih dalam posisi tidur santainya. Bagaimana bisa?! Pikir Rimpam.
"Berusahalah—menghampiri ibu walaupun bagimu itu terasa mustahil." Pinta Unyis X tepat berada di hadapan Rimpu yang berjarak sekitar dua meter.
Sesuatu yang mengejutkan kembali dilihat oleh Unyis X. Rimpu tiba-tiba mampu tegak berdiri sepenuhnya walaupun dengan sekuat tenaga ia menahan tekanannya. Sedikit demi sedikit Rimpu mulai melangkahkan kaki depannya untuk menghampiri Unyis X namun ia kembali memundurkan langkah karena kuatnya arus intimidasi meongan Unyis X.
Rimpam mulai tertarik dengan perkembangan yang ia lihat dari Rimpu. Kepalanya langsung tegak, matanya terbuka lebar, Rimpam masih dalam posisi tiduran santai tetapi ia dikejutkan dengan apa yang dilihatnya sekarang. Rimpan masih tak menduga.
Rimpam terpaku pada usaha Rimpu yang mulai ingin melangkahkan kaki depannya menghampiri Unyis X. Dia seakan tak percaya, bagaimana bisa kucing tanpa meongan seperti Rimpu, mampu mengatasi intimidasi meongan Unyis X yang bahkan begitu kuat dalam dimensi warpzone.
Sedikit demi sedikit kaki depan Rimpu mulai maju melangkah namun lagi-lagi ia urungkan. Rimpu masih berjibaku dengan intimidasi kuat meongan Unyis X yang menggerogoti tubuh dan sanubarinya. Rimpu mencoba melawan sementara Unyis X tetap mengerang di hadapannya.
"Ayolaaah ... aku bisa ...." gumam Rimpu, ia akhirnya mulai mampu melangkahkan kaki depannya. Setelah coba melangkahkan kaki depan kanannya, ia lalu mulai melangkahkan kaki kirinya. Rimpam dan Unyis X sama-sama terperanjat dan kaget dengan progres Rimpu yang cepat.
"Kemarilah Rim," perintah Unyis X. Rimpu mulai perlahan menghampiri Unyis X namun sesekali kembali ia urungkan dan melangkah mundur. Sesekali dia kembali mencoba melangkah ke depan—sedikit demi sedikit mulai maju mendekati Unyis X.
Unyis X terus mengeong halus dan mengeram, menambah kualitas meongannya sedikit demi sedikit tanpa Rimpu sadari. Setiap kali kualitas meongan Unyis X ditingkatkan, kaki dan tubuh Rimpu tertarik hebat ke belakang, memundurkan kembali posisinya, namun Rimpu tetap berusaha maju melangkah. Setiap kali kualitas meongan di medan warpzone itu Unyis X tambahkan, Rimpu tertarik mundur namun lagi-lagi ia tetap dapat melangkah maju perlahan. Unyis X kembali meningkatkan kualitas meongannya, terus dan terus meningkatkannya tapi Rimpu tetap dapat melangkah maju kedepan dengan mantap secara pelan dan perlahan. Sesekali Rimpu terseret hebat kembali ke belakang dan lantai ruangan itu berdecit karena gesekan cakar Rimpu di lantai.
Tanpa kenal menyerah Rimpu terus mencoba melanjutkan maju ke depan menghampiri Unyis X.
Rimpam yang melihat itu dibuat terkesan. Semakin kuat dan semakin besar daya tekanan dan intimidasi yang dihasilkan oleh Unyis X, tetap membuat Rimpu dapat melangkah maju. Rimpu memang terus saja tertarik mundur namun dengan cepat ia perlahan bergerak maju kembali.
"Majulah, anakku!!!" teriak Unyis X, menyuntikkan semangat.
"Baik...!" sahut Rimpu melangkah maju menghampiri Unyis X dengan melawan tekanan yang kuat.
"Sedikit lagi...! Majulah ... majulah!" kata Unyis X.
"Baaaik ... Laaah...!!!" sahut Rimpu. Dia telah hampir sampai di hadapan Unyis X.
"Majulah, RIMPU!!!" teriak Unyis X kembali.
"AAAAAAA...!!" Rimpu berteriak mencoba dengan sekuat tenaga maju menghampiri Unyis X namun lagi-lagi ia gagal dan kembali tertarik mundur. Rimpu terus kembali mencoba maju.
Kemarilah nak, gumam Unyis X dalam hatinya, diam-diam dia tidak segan-segan lagi menghasilkan kualitas terbaik meongannya dan menambah tekanannya di dalam warpzone. Keadaan dan tensi semakin meningkat.
Medan terasa jauh semakin berat dirasakan oleh Rimpu tetapi ia tetap dapat melangkah maju. Sampai pada akhirnya.
"MAJULAH ... RIM...!" teriak Unyis X. Rimpu melangkah dengan ringan dan mantap kedepan, maju tanpa ragu seraya mengeram keras. "NGIAAAW!!" Rimpu mengayunkan cakaran kanannya tepat di hadapan Unyis X. Kumis Unyis X berhembus karena aliran cakaran Rimpu dan hampir saja—cakaran Rimpu itu mengenai kepala Unyis X andai ia tadi tidak refleks menghindar dengan sedikit memundurkan kepalanya kebelakang untuk mengelak.
Secara mengejutkan Rimpu telah tepat berada di hadapan Unyis X! Siapa yang menyangka bahwa Rimpu akan bisa melakukannya. Sesuatu yang sebenarnya hampir mustahil bagi seekor kucing tanpa meongan untuk dapat beradaptasi di dalam warpzone.
Rimpam terpaku melihatnya, begitu pula Unyis X. Mereka berdua benar-benar takjub tak percaya.
"Aku berhasil, ibu." Rimpu nampak senang.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Unyis X pada Rimpam melalui telepati pribadi seraya tersenyum.
"Hmm ...." gumam Rimpam singkat tak bisa berkata-kata, matanya tertuju dan fokus pada Rimpu yang nafasnya sedang terengah-engah.
"Kau sendiri bisa melihatnya, kan. Anak ini berbeda. Dia punya tekad!" kata Unyis X sambil memandangi Rimpu yang agak kelelahan.
"Cih!" sahut Rimpam, masih tetap dengan arogansinya. "Itu hanya kebetulan saja."
"Bagaimana tuan Rimpam? Apa menurutmu nantinya aku bisa bertahan di dalam warpzone?" tanya Rimpu, dia hanya ingin minta pendapat Rimpam saja sebenarnya.
"Diamlah nak!" Sahut Rimpam ketus. "Ini hanya awal, jangan senang dulu dan menganggap kau telah menaklukkan warpzone sepenuhnya tanpa meongan." Rimpam bangkit dan duduk tegap.
"Jangan keras seperti itu kepadanya." Sahut Unyis X, masih bicara lewat telepati pribadi yang tidak bisa didengar oleh Rimpu.
"Ma ... maaf! Tuan Rimpam." Kata Rimpu, yang takut dengan bentakan Rimpam yang memang memiliki suara yang berat dan garang itu.
"Usaha yang bagus, Rim!" kata Unyis X. "Nanti siang, kau telah siap untuk melatih cakarmu. Dan Rimpam juga akan melatihmu untuk teknik mencakar. Benar kan, Rimpam yang hebat?" Unyis X melirik Rimpam.
"Woy, woy. Kenapa kau melibatkanku." Kata Rimpam menyeringai tak suka.
"Benarkah itu tuan Rimpam? Hebat...!!" Rimpu sangat senang mendengar itu. Dia merasa senang karena bakal memiliki dua guru hebat yang akan melatihnya nanti. Unyis Rida dan seekor balam raja di Batu Kunawa.
"Guruku adalah seorang balam raja. ini benar-benar hebat!" katanya. Rimpu nampak bersemangat.
"Diam kau ... aku tidak pernah berkata seperti itu. Aku tidak akan menjadi gurumu atau pelatihmu." Kata Rimpam, ia menolehkan pandangan dengan sombongnya. Rimpu hanya diam dengan polos tak bergeming. Dan Unyis X hanya tersenyum mendengar ucapan sombong Rimpam tersebut.
"Kalau begitu, ibu seorang saja yang akan melatihmu, Rim. Itu saja sudah cukup. Bukankah ibu adalah Unyis Rida?" celetuk Unyis X. Rimpu tersenyum dan mengangguk.
Kemudian Ahmad Rida muncul dari balik tangga. Dia naik keatas dan melihat ketiga kucingnya sedang bersama. "Rimpam...!" ucap Rida tersenyum nampak senang sambil menghampiri Rimpam. "Darimana saja kau? Beberapa hari ini aku jarang melihatmu kesini." Tangan Rida mengelus kepala dan pundak Rimpam. Rimpam terlihat sangat manja dan menanduk-nandukkan kepalanya ke tangan Rida lalu berdiri dan menanduk-nandukkan kepalanya lagi ke kaki Rida.
Pemandangan ini ... terasa sangat aneh, gumam Rimpu dalam hati. Wajahnya mengernyit. Memang seperti inilah para kucing. Segarang dan sebengis apapun tuan Rimpam, ia nampak hanya sebagai kucing biasa yang manja dan jinak ditangan manusia yang disayanginya, pikir Rimpu.
Rimpam kemudian berbaring di dekat kaki Rida sambil menggesek-gesekkan tubuhnya ke lantai. Ini adalah bentuk ekspresi manjanya di hadapan Rida. Tangan Rida masih mengelus Rimpam sambil berjongkok. "Apa kau sudah makan? Aku senang kau bisa akur dengan kucing kecil ini." Kata Ahmad Rida terus mengelus-elus kucing preman, bengis dan arogan tersebut.
Ekspresi wajah Rimpu masih memperlihatkan ekspresi aneh dan speechless karena melihat seekor kucing berwibawa, bengis dan nampak sebagai kucing berandalan sejati seperti Rimpam—yang adalah seekor balam raja, bisa bersikap manis jika sudah dihadapan owner kesayangannya.
"Baiklah ... Unyis, Rimpam, Rimpu. Aku akan segera mengambilkan makanan untuk kalian. Tunggu ya." Kemudian Rida turun kembali, ia berniat membuatkan makanan untuk mereka bertiga.
"Apa kau sudah lama jadi kucing tuan Rida tuan Rimpam?" tanya Rimpu.
"Jangan mengajakku bicara kucing kecil!" bentak Rimpam membuang muka. "Kau harus ingat bicara dengan siapa."
"Kau harus memaklumi dia, Rimpu. Sifat Rimpam memang seperti itu karena ia dulu merupakan mantan kucing garong sebelum bertemu tuan Rida." Kata Unyis X.
"Cih! Kau juga diam saja, Unyis X." Rimpam kembali buang muka dan menyeringai.
"Tapi aslinya dia baik kok. Walaupun terlihat bengis dan kejam." Ledek Unyis X seraya sedikit tertawa. "Rimpam sangat menyayangi dan menghormati tuan Rida begitu pula dengan tuan Rida, juga menyayangi Rimpam. Kau harus menghormati tuan Rimpam karena dia merupakan salah satu dari 4 balam raja di kampung ini."
"Baik ibu." Jawab Rimpu.
"Di Batu Kunawa ini ... sekarang ada 4 ekor balam raja yang berkuasa dan disegani, yaitu Rimpam, Blapam, Rog dan Hiruk. Rimpam adalah yang terkuat dan yang wilayah teritorial kekuasaannya paling luas diantara mereka berempat." Papar Unyis X.
"WOW!" kata Rimpu berdecak kagum.
"Cih!" Rimpam terlihat menyeringai kesal bercampur malu dengan sanjungan itu.
"Dengan kata lain, Rim. Rimpam adalah pejantan terkuat di kampung ini." Lanjut Unyis X.
"Luar biasa!!! Kucing tuan Rida semuanya memang kucing-kucing hebat!" decak Rimpu terkagum-kagum. Rimpam terlihat sedikit tersenyum di sela-sela seringai kesal dan sikap arogannya.
"Maka dari itu, sebagai kucing Rida, kau juga harus berusaha anakku. Jangan menyerah!" kata Unyis X. "Nanti siang kita akan mulai latihan kita dan ibu akan benar-benar membuatmu menjadi seekor kucing yang kuat walau tanpa meongan." Unyis X sangat yakin dan serius. Matanya menatap tajam ke arah Rimpu.
"Baik ibu! Aku akan berusaha lebih keras lagi." Jawab Rimpu.
Unyis X mengangguk dan tersenyum. Ada keyakinan dan optimisme terpancar dari matanya terhadap masa depan anaknya itu.
Rida kemudian datang membawa makanan untuk mereka bertiga, tentu saja dengan tiga wadah makanan yang berbeda. "Kalian makanlah," ucap Rida. Setelah ia memberi makan dan mengelus Unyis, Rimpu serta Rimpam, Rida kembali turun bersiap untuk kuliah. Rida tipe manusia yang terbilang cukup sibuk dan penuh jadwal.
"Makanlah yang banyak nak. Setelah ini, siang nanti kita akan benar-benar latihan untuk cakarmu." Kata Unyis X sambil melahap makanan di depannya. "Kau butuh energi untuk itu."
"Baik ibu. Aku sudah tak sabar." Rimpu juga melahap makanan di dalam mangkok dengan lahap.
Mereka bertiga menyantap makanan yang telah Rida hidangkan. Mereka memakan nasi yang dicampur dengan ikan. Seperti itulah Rida biasa memberi makan mereka. Rida tidak pernah memberi makan dengan makanan khusus kucing bermerek. Bukan hanya karena kondisi keuangan Rida tidak memungkinkan untuknya memberi makan dengan makanan berkualitas setiap hari melainkan juga karena sedari kecil, Rida terbiasa memberi makan kucing dengan cara tradisional seperti itu. Cara memberi makan yang sama yang ia pelajari dari Almarhum kakeknya, Habib Darmawan Al Kadzim.
"Tuan Rimpam? Aku benar-benar penasaran, kapan anda mulai tinggal di rumah ini?" Rimpu menanyakan hal yang sama kembali.
"Diamlah dan makan saja!!!" bentak Rimpam dengan suara lantang. Ia juga sedang asyik melahap makanannya.
"Seperti yang ibu bilang Rim, secara teknis Rimpam tidak tinggal disini. Rimpam kebanyakan tidur dan tinggal di luar, hanya saja ... Rimpam telah dianggap oleh tuan Rida juga sebagai kucingnya dan selalu diberi makan jika kebetulan datang kemari." Jawab Unyis X. "Mungkin sudah sekitar lima tahunan Rimpam berdiam dan tinggal di kampung ini. Dulu ia merupakan salah satu kontestan saat musim kawin ibu yang pertama."
"Benarkah itu ibu...?"
"Ya, itu sudah lama sekali. Waktu ibu masih sangat muda. Kami berdua masih sangat muda." Kata Unyis X mengenang kembali. "Kelak, kau juga pasti akan ikut dan menjadi kompetitor musim kawin dari salah seekor betina saat waktunya sudah tiba."
"Aku tidak terlalu mengerti hal itu ibu." Kata Rimpu polos.
"Cih, apa dia punya kesempatan nantinya di musim kawin?" sahut Rimpam. Mengingat Rimpu bahkan tidak memiliki meongan.
"Maka dari itu aku akan mengajarkannya cakaran. Agar kelak ia juga bisa menjadi pejantan yang kompetitif." Jawab Unyis X.
"Sungguh terlalu naif." Gumam Rimpam dengan sikap skeptis.
"Lagipula, kau sudah kenal dan akrab dengan Milka, ya kan, Rimpu?" tanya Unyis X.
"Iya ibu, dia juga salah satu teman yang kumiliki di kampung ini."
"Itu sudah cukup. Kelak dia akan memberimu peluang lebih besar nak. Dia dan beberapa betina muda di kampung ini yang seumuran denganmu—akan tiba masa produktif mereka semua mekar." Rimpu mendengarkan ucapan Unyis X namuni dia tidak terlalu mengerti apa yang sedang ibunya itu bicarakan. Wajar saja, Rimpu masih terlalu muda untuk memahami semua itu.
Setelah mereka bertiga lahap menyantap habis makanan mereka dan Rida benar-benar telah keluar rumah untuk pergi kuliah. Baik Unyis X, Rimpu dan Rimpam kembali tiduran setelah sebelumnya mereka mandi dengan enzim mereka. Masing-masing mencuci bulu, badan dan anggota tubuh mereka agar bebas dari kuman dan bakteri.
"Apa kau tidak keluar rumah, Rimpam?" tanya Unyis X.
"Malas." Jawab Rimpam singkat sambil terpejam dan tiduran santai, kepalanya menyender di kaki bagian depan sebelah kanan.
"Apa itu hanya alasanmu saja? Kau ingin melihat progres Rimpu dalam latihannya hari ini, iya kan? Bilang saja." Sindir Unyis X.
"Cih, tidak sama sekali." Sangkal Rimpam.
"Aku masih berharap kau mau untuk ikut melatihnya bersamaku. Rimpu pasti akan lebih kuat jika kau yang seorang balam raja ini juga ikut melatihnya." Pinta Unyis X kembali.
"Aku tidak tertarik!" Kata Rimpam datar.
Sementara itu Rimpu masih tertidur nyenyak karena kekenyangan. Tahu-tahu waktu telah menunjukan pukul dua kurang lima belas menit.
Sepertinya ini sudah agak siang, ini waktu yang tepat, pikir Unyis X. "Rimpu ... bangunlah nak!" Unyis X coba membangunkan Rimpu dengan memandikan tubuh dan bulunya dengan enzim, Rimpu pun terbangun tak lama kemudian.
"Baik ibu aku sudah siap," gumamnya masih sedikit ngantuk.
Rimpam terlihat masih tiduran. Telinganya bergerak-gerak. Dia tidak sepenuhnya terlelap, hanya tiduran santai saja. Nampaknya benar dugaan Unyis X. Rimpam tidak berjalan-jalan siang keliling kampung hari ini seperti yang biasa ia lakukan—karena ingin melihat bagaimana Rimpu dilatih. Rimpam sepertinya mulai tertarik kepada Rimpu. Dia mulai penasaran dengan anak kucing itu ketika Rimpu akhirnya mampu melawan kuatnya tekanan dalam warpzone walau tanpa meongan. Tidak ada yang bisa bisa mengangkangi pakem dan hukum alam, begitu pikir Rimpam.
Sementara itu, Unyis X dan Rimpu telah bersiap untuk memulai kembali latihan mereka.
"Teknik cakaran merupakan skill dasar dan wajib dikuasai oleh seekor kucing dalam perkelahian." Unyis X mulai memberi pengarahan sebelum latihan. "Teknik mencakar ini sebenarnya teknik mudah dan tidak ada hubungannya dengan meongan, kau bisa menguasainya tanpa itu Rimpu."
"Tapi, tanpa meongan ... itu artinya lawan akan jauh lebih unggul dariku kan, ibu? Terlebih di dalam warpzone." Sahut Rimpu menyela.
"Kau benar nak, namun tadi kau telah mampu sedikit beradaptasi dengan warpzone, iya kan? Setidaknya kau harus menguasai teknik dasar seperti teknik mencakar ini."
Naif sekali, gumam Rimpam dalam pikirannya, masih nampak tiduran santai.
"Ketika kau telah menguasai teknik dasar seperti mencakar, itu sudah cukup untukmu. Jika hanya masalah meongan, kau hanya butuh partner dan rekan yang dapat kau percaya untuk membukakanmu warpzone."
"Aku masih tidak paham ibunda," sahut Rimpu.
"Begini, saat kau memasuki warpzone, maka mustahil bagimu untuk tidak terintimidasi dan menjadi lemah karena meongan lawanmu, mengingat kau tidak memiliki meonganmu sendiri," kata Unyis X. "Akan tetapi ketika ibu atau mungkin Rimpam ada bersamamu, kau bisa mengandalkan meongan kami nak. Siapapun rekanmu, dia akan bisa membantumu dengan meongannya. Terkait dirimu yang tanpa meongan, itu bisa diakali."
"Aku mulai paham ibu,"
"Jadi, yang kau harus kuasai adalah teknik dasar seperti cakaran ini. Kau bisa menggunakan ini di dalam warpzone dengan leluasa, dan akan lebih menguntungkan jika meongan rekanmu jauh lebih unggul dari lawan dan mampu mengintimidasinya, kau akan sangat terbantu."
"Tapi siapa yang mau jadi rekanku ibu?" tanya Rimpu yang sedih dan mengingat-ingat bahwa sepertinya tidak ada kucing yang terlalu akrab dengannya di kampung Batu Kunawa ini—yang bisa Rimpu percayai sepenuhnya.
"Selama kau berada di dekat ibu, kau akan aman, Rimpu! Kau bisa bertarung di dalam warpzone ibu." Kata Unyis X. "Rimpam kan juga ada." Kata Unyis X mulai melirik Rimpam.
"Jangan bawa-bawa aku," sahut Rimpam masih terpejam.
"Lagipula, disini kau juga sudah akrab dengan Milka, kan?" tanya Unyis X.
"Dengan kata lain—tanpa memiliki meongan, aku bisa bertarung dalam warpzone kucing lain dan aku bisa dibantu dengan meongan rekanku itu?! Aku sudah paham ibu." Rimpu sudah mulai mengerti gambaran besarnya. Unyis X pun menjawab dengan mengangguk.
"Masalah tanpa meonganmu sudah teratasi! Sekarang, mari kita mulai latihannya." Kata Unyis X dengan lantang dan optimis. "Aku ingin bertanya Rimpu, yang mana dari kaki depanmu yang menurutmu lebih dominan?"
"Entahlah ibu, sepertinya yang kanan."
"Pusatkan segala insting, intuisi, refleksi dan skillmu dalam lenganmu yang kanan." Pinta Unyis X. "Disitulah bagian tubuh terkuatmu untuk cakaran. Biasanya kucing jantan memang lebih dominan atau condong ke kaki depan bagian kanan sementara kami kucing betina kebanyakan adalah kidal."
"Aku juga merasa seperti itu ibu, yang kanan jauh lebih aktif. Tanpa sadar aku lebih sering menggunakan lengan kananku."
"Sebelum ibu melatih cakarmu, kita akan mencari tahu dulu apa Karisma dasarmu."
"Karisma?" tanya Rimpu juga belum mengetahui terkait hal ini sebelumnya.
"Ya, elemen! Kita semua memiliki elemen dasar, Rim." Jawab Unyis X. "Kita para kucing memiliki corak dan warna bulu yang berbeda bukan? Faktanya, corak ini selain kita dapatkan atau kita warisi dari DNA orangtua kita—juga menggambarkan elemen apa yang bersinergi secara transendensial dengan diri kita. Itulah yang disebut dengan KARISMA!"