Rimpam, Si Balam Raja

2250 Words
Pagi mulai menyingsing di kampung Batu Kunawa. Baik Rimpu, Unyis X maupun Rimpam belum ada yang terbangun, apalagi Rimpam yang nampak tidur ngangkang tidak karuan, nampaknya ia amat kelelahan. Karena bunyi kokokan ayam yang mulai menggema ... terlihat sepertinya Rimpu mulai merenggangkan tubuhnya, namun ia tetap terpejam dan masih tertidur. Unyis X mulai membuka mata dan menguap selebar-lebarnya, ia perlahan merenggangkan tubuhnya lalu berduduk tegak dan mulai m******t seluruh bulu di tubuhnya dengan enzim. Rimpu pun kemudian terlihat mulai membuka matanya. "Pagi Ibunda ...." sapanya agak lirih. "Kau sudah bangun, nak?" sahut Unyis X sementara Rimpam masih terlihat ngejogrok tiduran. Rimpu masih belum menyadari bahwa ada kucing lain yang tidur di ruangan itu. Namun hidung Rimpu seperti mengendus sesuatu, aroma tanah atau mungkin seperti bau lumpur? Aroma yang amat menyengat. Rimpu lantas menoleh mengikuti kemana hidungnya kuat mengendus. Tatapannya sampai pada seekor kucing jantan garang yang wajahnya terlihat bengis sedang tidur disana, seruangan dengannya. Rimpu sontak terperanjat dan sedikit meloncat terkaget-kaget, seluruh bulu tubuhnya ramai berdiri, Rimpu dalam keadaan siaga. "Siapa dia ibu?!" tanya Rimpu sembari berjalan perlahan penuh kehati-hatian mendekati Rimpam yang sedang tidur. Rimpu amat penasaran dengannya. "Dia adalah Rimpam! Salah seekor dari balam raja yang kemarin ibu ceritakan." Jawab Unyis X. "Secara resmi dia tidak tinggal disini Rim, tetapi Rimpam terkadang tidur di rumah ini dan tuan Rida pun tidak masalah dengan itu." Kucing ini salah satu balam raja? Gumam Rimpu dalam benaknya. Pantas saja badannya penuh bekas luka dan terlihat seperti pejantan yang unggul dan tangguh. Rimpu terlihat pelan-pelan mendekati Rimpam dan mengendusnya dengan hidungnya. "Menjauhlah nak...!!!" bentak Rimpam tiba-tiba dengan suaranya yang terdengar garang, matanya masih terpejam. Mendengar itu Rimpu kaget bukan kepalang, meloncat agak tinggi dan bulu tubuhnya berdiri semua. "Sudahlah nak, jangan ganggu dia." Kata Unyis X. "Hari ini kita akan mulai latihan mencakar. Persiapkanlah dirimu." Unyis X menatap Rimpu dan Rimpu menolehkan pandangan dari Rimpam kepada ibunya. "Melatihan cakaran? Apa itu mungkin ibu? Aku kan tidak memiliki meongan." Kata Rimpu sedih dan tertunduk, kembali teringat kegalauannya. "Mempelajari cakaran atau melatih cakar adalah sebuah keharusan bagi seekor kucing baik ia punya meongan atau tidak. Itu tidak ada hubungannya Rim." Unyis X menatap Rimpu. "Teknik mencakar penting kau kuasai, agar kau bisa membela dirimu, Rimpu!" Sementara Rimpam terlihat hanya tiduran di pojok ruangan dekat dengan pintu teras, agak ke jendela loteng. "Apa ibu akan mengajariku teknik itu?!" tanya Rimpu, dia akhirnya melihat suatu harapan untuk bisa kembali menjadi seekor kucing yang berguna. Hal ini membuat Rimpu seperti mendapatkan angin segar selepas kegundahan dan kegalauan yang menimpanya setelah mengetahui fakta bahwa ia kucing yang terlahir tanpa memiliki meongan, tidak seperti kucing lainnya. Dan memang itulah tujuan dari Unyis X. Mengangkat kembali semangat hidup dan juang anak angkatnya tersebut selain juga Unyis X menyadari bahwa penting bagi Rimpu untuk mempelajari satu teknik yang bisa sedikit membantunya dalam kehidupan dan agar dirinya bisa membela diri. "Siang ini setelah makan, kita akan langsung berlatih." Kata Unyis X. "Baiklah ibu." Rimpu nampak senang. Hatinya mulai membaik. "Kau lihatlah cakar di sela-sela jarimu?" tanya Unyis X. "Rasakanlah kekuatan yang mengalir dari sana, dari cakarmu ..." "Apa teknik ini bisa dikuasai oleh kucing yang tidak memiliki meongan sepertiku, ibu?" tanya Rimpu. "Roar atau meongan berguna untuk mengintimidasi lawan dan untuk membuka warpzone. Kau tidak bisa melakukan itu karena tidak memiliki meongan, akan tetapi ... bagaimana ketika kau terpaksa harus memasuki warpzone andai seekor kucing menyerangmu?" tanya Unyis X. "Dengan menguasai cakaran, setidaknya kau akan bisa membela dirimu di dalam warpzone." Mungkin tidak masalah jika kau hanya kucing biasa anakku, tapi kau kucing peliharaan Rida. Ada kemungkinan kelak kau akan sering diserang dan berkonfrontasi, dan bisa saja kau akan sering dalam bahaya, pikir Unyis X dalam benaknya. Sementara itu, Rimpam masih nyaman tertidur namun hanya matanya. Telinganya dari tadi mendengarkan percakapan mereka berdua. Rimpam telah terjaga. "Baiklah ibu, sekarang aku sudah paham." Kata Rimpu dengan lantang. "Ah, perutku sakit, aku mau ke bawah untuk buang air dulu ya, ibu." Izin Rimpu yang kebelet ingin b***k. "Ingat! Cari tanah agar bisa dikubur," suruh Unyis X. Rimpu kemudian berlari menuruni anak tangga menuju ke bawah dan langsung ke luar rumah mencari seonggok tanah atau suatu wilayah berpasir yang memancarkan radiasi hawa panas dan hangat. Sementara itu di loteng rumah, Unyis X dan Rimpam bicara. "Apa kau benar-benar yakin ingin melatihnya?" tanya Rimpam pada Unyis X. "Tentu saja! Akan lebih baik jika kau juga ikut membantuku tapi ... kalau kau tidak mau, biar aku sendiri saja." "Bukannya aku tidak mau, aku paham kenapa kau harus mengajarinya teknik dasar seperti mencakar karena sebagai calon Unyis peliharaan Rida ... anak itu kelak bisa saja akan diincar." Kata Rimpam. "Aku hanya berpikir ini hanyalah kesia-siaan. Mengajari bertarung kucing yang bahkan tidak bisa bertahan di dalam warpzone? Itu terdengar seperti lelucon bagiku." "Sudah kubilang, ini urusanku. Kalau kau tidak mau membantu, biar aku saja juga tidak apa-apa! Lagipula meonganku lebih kuat darimu." Tegas Unyis X. "Cih!" gumam Rimpam sedikit kesal. Mulutnya sedikit menyeringai namun matanya masih terpejam. "Terserah kau saja, aku tidak mau membantu." Rimpam masih nyaman tidur melingkar, belum sedikit pun ingin bergerak atau membuka matanya. Sementara itu dibawah, di sebelah rumah Rida di dekat jalan. Rimpu telah selesai buang air, dia kemudian mengais-ngais tanah berniat untuk mengubur kotorannya. Kucing memang paling sentimentil masalah bau dan aroma. Kucing berprinsip bahwa bau merupakan bagian dari identitas dirinya yang paling substansi dan bersifat pribadi. Maka kucing biasanya akan mengubur kotorannya agar tidak terendus oleh kucing lain. "Ieuuhh...!" kata seekor kucing betina yang tiba-tiba ada disana. Rimpu menoleh dan dilihatnya sudah ada Milka yang memperhatikan. "UWAAA...!!!!" teriak Rimpu kaget juga mendadak malu. "Sejak kapan kau disana?" tanyanya pada Milka. Rimpu terlihat sangat malu. "Sejak tadi, aku melihat semuanya." Goda Milka seraya tertawa lepas. Ia kemudian duduk santai. "Tidak sopan, kau melihat semuanya ...." "Salah siapa kau buang air di ruang publik sembarangan." "Tunggu dulu ... bagi kucing kan, tidak mengenal ruang publik. Semua adalah ruang publik." Rimpu cemberut dan agak tersipu. "Bagaimana keadaanmu? Apa kau sudah baikan? Kulihat kemarin kau sangat tertekan." "Aku sudah tidak apa-apa." "Syukurlah! Aku senang melihatmu sekarang sudah kembali ceria," Milka tersenyum kepada Rimpu. Ia bersyukur Rimpu nampak tidak memikirkan hal itu lagi. "Jangan menatapku seperti itu ...." Rimpu menolehkan pandangannya dan kembali gerogi. "Kau darimana? Apa kau sedang mencari makanan?" "Tidak juga, aku sudah kenyang. Ibuku dan aku sudah diberi makan oleh Mbak Rini." Jawab Milka. "Aku hanya jalan-jalan, biasa kan. Selain tengah malam aku juga suka menjelajah kampung ini di pagi hari." Milka mengendus-endus daerah sekitar situ. "Tapi kau tidak pernah berjalan jauh sampai ke g**g Tujuh, g**g Enam atau g**g Empat kan? Apalagi g**g Lima." Kata Rimpu. "Tentu saja, karena aku masih kecil. Setidaknya g**g Delapan dan g**g Sembilan sudah pernah aku jelajahi, tidak ada tempat yang aku tidak tahu di g**g ini. Sementara kau ... kau sendiri hanya pernah di g**g ini saja, kan? Tidak pernah kemana-mana." Ledek Milka. "Kapan-kapan kau mau menemaniku menjelajahi seluruh kampung ini, Milka?" tanya Rimpu. "Kau bodoh!" sahut Milka, mendadak malu dengan ajakan Rimpu. "Kenapa?" Rimpu agak bingung dan tak mengerti apa-apa. "Hey, apa kau tahu? Hari ini ibuku akan mengajarkan teknik cakaran padaku." Kata Rimpu memberitahu Milka dengan raut wajah bersemangat. "Itu bagus! Berjuanglah, Rim." Sahut Milka mendukung Rimpu. "Aku sudah tidak sabar!" "Unyis X pasti akan melatihmu dengan baik," "Ya, aku juga merasa ibuku itu kucing yang sangat kuat," kata Rimpu. "Apa kau bercanda?! Tentu saja! Dia adalah Unyis Rida. Peliharaan tuan Rida." Sahut Milka. "Heeyyy ... aku kan juga peliharaan tuan Rida." Tegas Rimpu. "Ya sudah Kalau begitu, sampai nanti ya! Aku mau kembali ke loteng menemui ibuku." Kata Rimpu pamit untuk kembali masuk ke dalam rumah Rida. "Baiklah, sampai nanti lagi Rim. Aku senang kau sudah tidak apa-apa." "Daah...!" Rimpu bergegas berlari kembali masuk ke dalam rumah Rida. Semangatlah, Rim! Kata Milka dalam hatinya sembari tersenyum memandang Rimpu dari belakang. Milka adalah anak kucing yang memiliki hati yang baik dan tulus walau sering bersikap ketus dan judes di depan siapapun. Rimpu naik kembali ke loteng namun sebelum ia menaiki anak tangga, Rimpu mengendus pintu kamar Rida yang terkunci. Rida belum bangun rupanya karena dia kelelahan dengan jadwal kuliah dan kerja paruh waktunya. Belum lagi dengan fakta bahwa Rida diangkat menjadi asisten dosen di kampusnya. Rimpu kemudian bergegas naik kembali ke loteng. Ia mendapati Rimpam telah bangun, m******t beberapa bagian tubuhnya dengan enzim di lidahnya. Sedangkan Unyis X juga melakukan hal yang sama dengan posisi duduk tegak. Perlahan Rimpu berjalan dengan hati-hati. Matanya memfokuskan pandangan ke arah Rimpam. Rimpu amat segan dengan kehadiran kucing sekelas Rimpam di sekitarnya, mungkin agak sedikit takut—mengingat perawakan Rimpam yang garang dan tatapan wajahnya yang nampak bengis, terlebih Rimpam merupakan salah satu dari ke 4 balam raja di Batu Kunawa. "Apa kau telah selesai?" tanya Unyis X. "Sudah ibu," jawab Rimpu. "Persiapkan dirimu, siang nanti kita akan melatih cakaranmu. Tapi untuk sekarang, ibu akan mencobamu untuk bisa terbiasa dengan warpzone terlebih dahulu." "Jadi kita akan mulai sekarang, ibu?" "Benar, siagakan dirimu." Unyis X mulai bersiap melatih Rimpu untuk memasuki warpzone dan beradaptasi. Rimpu nampak mulai gugup, "kau sudah siap nak?" tanya Unyis X. Rimpam hanya diam memperhatikan sembari masih tetap melumuri bulu-bulunya dengan enzim. "Bersiaplah! Ibu akan coba mengaktifkan warpzone." Kata Unyis X menyiagakan diri lalu kemudian mengeong. Seketika atmosfir ruangan loteng berubah, sedikit bergetar dan memiliki tekanan yang benar-benar berbeda dari sebelumnya. Rimpu mulai terintimidasi dengan hawa ruangan yang telah memasuki warpzone. "Jadi ... ini rasanya warpzone yang kuat ...." gumamnya memiringkan kepala lalu menunduk kebawah. Rimpu amat tertekan. Seketika papan-papan kayu dinding loteng rumah Rida mulai terlepas beberapa dan terbang entah kemana. Paku-paku di papan tersebut mulai tercerabut satu persatu, begitu pula seng atap rumah Rida terkoyak sebagian, memperlihatkan sedikit warna langit cerah diatas sana. Rimpu hanya terpaku melihat betapa dahsyatnya efek dari meongan Unyis X dalam warpzone tersebut. "Ibu ... tubuhku tidak bisa bergerak...!!!" teriak Rimpu. "Cobalah untuk melawan itu, Rim! Cobalah untuk bangkit berdiri," pinta Unyis X. "Tidak bisa ibu ... aku benar-benar takut dan badanku tidak bisa digerakkan sama sekali." Rimpu dihinggapi rasa takut dan intimidasi yang kuat dari warpzone yang dihasilkan Unyis X. "Ibuuu...! hentikan!!! Ini terlalu kuat." Rimpu semakin terintimidasi, mulutnya menyeringai menahan tekanan yang terlalu kuat. "Apa kau tahu? Padahal ibu hanya memakai sedikit saja kualitas meongan ibu." "Tapi ini sangat kuat ibu. Tolong hentikan!!!" pinta Rimpu. "Itu karena kau tidak memiliki meongan untuk dapat balik menetralisir meongan ibu di dalam warpzone, tapi berusahalah untuk coba dapat bergerak." "Ibu ... tolong!" kata Rimpu, dengan kepala semakin terpelintir dan posisi menunduk seperti sedang ditekan sesuatu yang kuat. Sepertinya memang sulit, pikir Unyis X mulai ragu. Cih! Sudah kubilang, ini sesuatu yang mustahil dan sia-sia saja, pikir Rimpam yang tengah memperhatikan. Unyis X lalu menonaktifkan warpzone-nya. Keadaan sekitar kembali seperti semula, tidak ada yang berubah dari loteng rumah Rida yang masih nampak baik-baik saja. "Latihan kali ini cukup," kata Unyis X. Rimpu terlihat sangat lega karena telah terbebas dari cengkraman intimidasi meongan Unyis X namun sekaligus juga kecewa. Dia tidak bisa melakukan apa-apa ketika di dalam warpzone. Rimpu nampak malu, sedih dan merasa bersalah kepada ibunya. Rimpu berpikir bahwa ia benar-benar tidak bisa dilatih dan memang seekor kucing yang tidak berguna. "Tidak apa-apa Rim! Tadi hanya percobaan pertama, nanti kau juga akan mulai terbiasa." Kata Unyis X coba menghibur Rimpu. "Aku tidak berguna ibu," gumamnya bersedih dan kecewa. "Wajar saja karena kau baru pertama kali memasuki warpzone anakku." "Itu tidak ada hubungannya!" Sahut Rimpam menyela. "Tubuhmu tidak akan bisa tahan di warpzone ... itu faktanya." Kata Rimpam dengan kejam, mulai bangun sambil beranjak dari tempatnya dan berjalan menghampiri Rimpu. Rimpu memandang Rimpam yang mendekatinya sambil terpaku, dia sediki takut dan segan dengan sosok Rimpam. Dari dekat, Rimpu bisa melihat betapa banyaknya bekas luka dari tubuh Rimpam yang kusam bulu tubuhnya. Rimpu menyadari bahwa Rimpam merupakan pejantan tangguh yang telah melakoni banyak pertarungan yang intens. "Dengarlah nak, tanpa meongan dalam dirimu untuk menetralisir dan membalik tekanan serta intimidasi lawanmu, maka didalam warpzone ... kau hanya akan jadi pesakitan." Tegas Rimpam. "Itu tidak benar, Rim. Maka dari itu ibu mau melatihmu. Karena ibu yakin kamu pasti mampu walaupun tanpa meongan." Sahut Unyis X menatap Rimpam dengan kesal. "Aku seorang balam raja. Aku sudah pernah merasakan dan mengalami berbagai macam bentuk pertarungan serta segala macam bentuk kekuatan dan jenis meongan yang berbeda. Sekuat apapun kau berusaha, kau tidak akan bisa bertahan." Kata Rimpam. Unyis X hanya terdiam, karena memang apa yang dikatakan Rimpam ada benarnya namun ia sedikit agak kesal dengan kejujuran Rimpam yang bisa menjatuhkan mental dan kepercayaan diri dari Rimpu. "Tapi, aku akan berusaha ... aku tidak akan menyerah semudah itu." Jawab Rimpu. Mendengar tekad Rimpu tersebut, Unyis X hanya tersenyum. "Cih, dasar kucing kecil keras kepala!" gumam Rimpam merasa sedikit kesal sambil menyeringai. "Dengar nak, kucing yang tanpa meongan sepertimu, itu berarti kau adalah kucing yang ...," tiba-tiba Rimpam tidak melanjutkan kata-katanya. "Ahh ... sudahlah, lupakan!" gumam Rimpam, ia tidak tega melanjutkan kata-kata kejamnya setelah melihat sorot mata dan wajah polos Rimpu yang menatapnya. Apa yang sebenarnya Rimpam ingin katakan barusan adalah bahwa kucing tanpa meongan seperti Rimpu, berarti ia merupakan kucing yang paling lemah, paling rentan dan tak punya kesempatan dalam dunia persaingan antar kucing. Unyis X tersenyum melihat sikap lunak Rimpam tersebut dan bahwa Rimpam—bagaimana pun kerasnya dia—ternyata tidak tega menyakiti perasaan Rimpu. Rimpam beranjak kembali ke tempatnya semula dan berbaring santai disana. Kepalanya menoleh dan membuang muka. Searogan apapun Rimpam, ia tetaplah kucing yang punya hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD