5. Surup

1348 Words
Mungkin memang sudah menjadi kesialan Priska. Kali ini, dia menuju warung siomay. Ternyata banyak yang mengantre di sana. Jadilah dia harus berdiri dan ikut mengantre panjang mengular. Sementara terik matahari begitu menyengat. Dia merasa sangat kesal. Tapi, tidak bisa melakukan banyak hal. Jika dia pulang tanpa membawa siomay. Dia akan mendapatkan jeweran mau dari sang kakak. Itu terlalu sakit. Dia tidak ingin mendapatkan hal yang sama seperti sebelumnya. Jadi, dia menggelengkan kepalanya dengan keras. Dan berkata dalam hatinya. Aku bisa melewati ini semua! *** Sore hari. Priska yang sudah sangat mengantuk mendapatkan sebuah panggilan telepon dari Rara. Dia hanya meliriknya sekilas. Lalu membiarkan sering teleponnya berhenti. Dia terlalu lelah dengan semua yang dia alami hari ini. Ia hanya ingin melanjutkan tidurnya dengan tenang. Tapi, telepon itu ternyata terus berdering lagi dan lagi. Hingga membuat dia semakin kesal dan akhirnya membuka mata. Entah Tuhan sedang menguji dia atau menghukumnya. “Ada apa lagi sih, Ra? Ganggu orang tidur saja sih! Ada apa?” cerocos Priska. Tanpa dia kembali melihat ke arah layar ponselnya. “Apa? Kamu tidur surup-surup begini? Digondol wewe baru tahu rasa kamu!” balas seseorang di seberang telepon. Suara khas wanita dewasa yang melengking. Ada sedikit medok dalam nada bicaranya. Tidak ada suara perempuan yang seperti itu di dunia ini. Selain suara dari sang Mama. Kedua mata Priska terbelalak. Terbuka sempurna. Padahal sebelumnya dia mengangkat telepon itu dengan mata yang masih terpejam. Kali ini, dia baru melihat ke arah layarnya. Melihat nama siapa yang tertera di sana. Dengan perlahan dia melirik ke arah layar ponselnya. Mama? Ya Tuhan! Ujian macan apa ini? Bisa-bisa aku dicekik hidup-hidup sama beliau! “Ah, enggak kok, Ma. Ini buktinya aku mengangkat telepon dari Mama. Soalnya tadi Rara telepon-telepon terus,” ucapnya lirih. Ya, walau dia tahu. Kebohongan semacam itu hanya akan membuat suasana menjadi lebih runyam. Dia menutup mata dan menggigit bibir bawahnya. “Alasan saja kamu! Kamu ini perempuan! Cah wadon kui kudu seng ngati-ati! Iling, turu surup-surup kui marai among seneng. Opo gelem digondol wewe trus disingitke nang gandule?” Mamanya mengomel panjang lebar. Omelan khas orang tua Jawa yang mendawuhi anaknya. Entah kenapa, Priska pun merasa aneh dengan hal itu. Setiap kali Mamanya mengomel. Ia pasti akan mengubah bahasanya menjadi bahasa Jawa. Priska hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Iya, Ma. Ah iya, aku hampir lupa, Ma. Kapan Mama ke sini? Aku sudah kangen sama Mama!” ucapnya. Dia memang lihai mengalihkan arah pembicaraan. Hingga sang Mama saja terkecoh. Dan tidak lagi ingat dengan kemarahannya sebelumnya. “Mungkin minggu depan. Kamu kangen Mama? Apa uang saku dan masakan Mama?” pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Priska menelan ludah. Merasa dirinya telah berada di jebakan batman. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bahkan menoleh ke sana-sini. Padahal, ia tidak sedang mencari apa pun. Kecuali jawaban yang tepat untuk sang Mama. “Ah, Mama bisa saja. Jadi, ada apa Mama telepon? Biasanya telepon ke Abang, bukan ke aku,” ucapnya. Lagi dan lagi, dia mengalihkan pembicaraan. “Oh iya, Mama sampai lupa. Besok ada acara pertunangan anak teman Mama. Kau bisa datang temani Mama? Papa sedang perjalanan dinas. Mama malas kalau berangkat ke sana sendirian. Tapi, Mama mau tidak mau harus hadir. Enggak enak kalau enggak datang di acara teman sendiri.” “Ajak Abang saja, Ma. Aku ada kuliah besok! Lagi pula, hari ini Abang ada di rumah. Libur katanya,” jawabnya. Dengan suara pelan dan memelas. Wajahnya pun juga memelas. Padahal, Mamanya tidak mungkin melihat ekspresinya itu. “Mana mau dia Pris, ayolah!” ucapnya sedikit memaksa. “Jadi Mama minta aku bolos kuliah?” Dia terkekeh pelan dan menjauhkan ponselnya saat mengucapkan itu. Di seberang telepon itu Mama Priska sedang berdiri dan sedikit mengernyit. Apa yang baru saja Priska ucapkan menyentaknya. Bolos? Tidak ada kata membolos di kamusnya! Mencari uang untuk biaya kuliah itu susah. Lalu, membolos hanya untuk alasan itu. Tidak boleh! “Iya deh, Mama telepon Robi saja,” ucapnya setelah menimbang beberapa lama. Priska tertawa tanpa suara. Dia menggerak-gerakkan tangannya kegirangan. Dia bisa lolos dari sergapan maut. Menemani Mamanya ke acara pertunangan? Hal itu hanya akan membuat dia menjadi incaran mulut-mulut tajam teman-teman sangat Mama. Mana pacarnya? Kapan nih lulus kuliahnya? Sudah punya tunangan? Nanti mau kerja di mana? Wah makin besar ya! Tidak! Priska tidak ingin mendengar semua itu. Dia harus tenang dalam masa-masa ini. Kuliah semester akhir selalu memusingkan. Ditambah dengan cecaran pertanyaan? Dia tidak mungkin sanggup menahannya. “Mama tutup, kamu hati-hati. Semangat kuliahnya! Jangan membolos!” “Iya, Ma!” jawabnya sok menurut. Tut. Telepon ditutup. Kali ini, dia bergegas keluar dari kamarnya. Mengendap pelan-pelan di tangga. Mencurigakan dengar obrolan sangat Kakak dengan Mamanya. “Enggak mau, Ma!” Dia diam sejenak. Mendengarkan ucapan sang Mama yang cukup panjang penjelasannya. “Enggak bisa, Ma. Besok sibuk. Banyak pekerjaan, mana sempat, Ma.” Robi yang sedang sibuk mendengarkan omelan Mamanya melirik ke arah atas. Perasaannya mengatakan ada seseorang yang sedang mengamatinya dari sana. Priska segera menyembunyikan dirinya. Beruntung, ia bisa sembunyi sebelum Robi membalikkan diri. Ia terkekeh. Membayangkan wajah Robi yang kesal. Aura di sana tampak semakin menyeramkan. Akan ada perang antara kakak beradik itu dalam waktu kurang dari lima menit. “Libur? Enggak, Ma aku enggak libur sekarang lagi di kantor ini!” Omelan sang Mama semakin kencang. Ia juga menyebutkan bahwa Priska yang mengatakan padanya. Tentang Robi yang ada di rumah dan mengambil libur bekerja. “Priska? Ah, iya Ma. Maaf, maaf, Ma. Enggak Ma, enggak. Robi enggak akan bohong lagi. Janji!” ucapnya memohon ampunan dari sang Mama. “Baik, Ma. Iya, Ma. Robi ke sana besok pagi.” Robi merebahkan dirinya di sofa yang empuk. Sofa itu menerimanya dengan sangat baik. Membuat otot-otot yang sebelumnya menegang kini terasa rileks kembali. Setelah mengatur napas beberapa kali. Dia pun mulai mengeluarkan somasi. “Priska! Turun kamu! Atau aku yang ke sana?” teriaknya dengan sangat kencang. Tak hanya Priska yang bisa mendengarnya. Tetangga rumah mereka pun mungkin juga bisa mendengarnya. Bahkan, mereka pasti sudah hafal dengan hal itu. Jika teriakan seperti itu telah terdengar. Maka, akan ada baku hantam di antara mereka berdua. Priska yang masih sembunyi di dekat tangga, memilih berjalan menuju kamarnya. Mengendap dan sangat pelan. Agar sang Kakak tidak mengetahui keberadaannya. Ia mengunci kamarnya dengan dua kali putar. Agar sang Kakak tidak bisa masuk ke dalam kamarnya. Ia sengaja tidak menjawab ucapan sang Kakak. Berpura-pura tidak mendengar adalah hal yang harus dia lakukan. Karena, jika Robi tahu si adik mendengar dan tidak menjawab. Akan semakin kacau peperangan di antara mereka. Robi sudah semakin jengah. Ia tahu, sang adik tidak mungkin turun. Karenanya, dia yang harus bergerak naik dan memorak-porandakan seisi kamar adiknya. Satu per satu anak tangga dia naiki. Hingga akhirnya dia sampai di depan pintu kamar Priska. Priska yang ada di dalam kamar menarik selimutnya. Menutupi seluruh tubuh dan juga kepalanya. Dia harus berakting sangat bagus agar tidak terkena amukkan dari Kakaknya. “Buka pintunya!” teriak Robi dari luar kamar. Priska masih tidak bergeming. Dia seng memikirkan cara agar sang kakak percaya padanya. Apa yang harus dia lakukan agar sang kakak tidak marah-marah padanya. Akhirnya dia memutuskan untuk mencolok matanya sendiri. Tahan Priska tahan! Dia mulai mempersiapkan telunjuknya. Jarinya masih di tempat yang sama. Tidak bergerak dan sedikit gemetar. Hingga sebuah suara gedoran di pintu kamarnya membuat dia terkejut. Dan akhirnya matanya pun tercolok. Pedih memang, tapi itu bisa membuat kedua matanya memerah. Seperti layaknya orang yang baru saja bangun tidur. “Apa sih, Bang!” tanya dia dengan tidak berdosanya. Berpura-pura mengucek mata dan menggaruk kepalanya. Ia membuka pintu dengan perlahan. “Ada apa?” Robi mengernyit. Mamanya baru saja mematikan telepon dan bercerita bahwa adiknya yang menyarankan untuk meminta dia menemani ke acara pertunangan itu. Tapi, apa yang dia lihat di depannya tampak seorang gadis yang kuat dan acak-acakan. Rambutnya semrawut, matanya merah, dan ada bekas basah di pipi kirinya. “Hiiii, ngiler kamu ya?” ucap Robi. Dia menunjuk ke arah pipi Priska. Kemudian Priska mengelapnya dengan asal. “Aku mengantuk! Pergi sana!” usirnya. Ia langsung menutup pintu kembali dan menguncinya. Sebelum sang Kakak kembali teringat tujuannya datang ke sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD