4. Absensi

1383 Words
Bukannya tak tahu malu. Priska memang selalu mengesampingkan hal itu. Terlebih, ini demi traktiran bakso selama satu minggu. Dia tidak ingin melepaskan hal itu begitu saja. Terlalu sayang jika dia harus gagal. Karena, mengantongi uang jajan selama seminggu bisa membuat dia membeli earphone baru. Karena miliknya sudah tidak berfungsi sebelah. Dia selalu kesal dengan hal itu. Setiap kali dia membeli eraphone. Selalu saja rusak sebelah. Membuat dia terkadang jadi b***k sebelah. Karena satu sisi gendang telinganya harus menerima suara dengan volume tinggi. Sementara satunya tidak. Itu kalau misalnya gendang telinga bisa berbicara. Mungkin dia akan meminta Priska untuk sesekali memindah posisi earphone ke telinganya yang lain. Kali ini, Priska terdiam di sudut kantin. Dia menggigiti bibir bawahnya. Pandangannya lurus ke depan. Tapi, pikirannya sedang tak di sana sekarang. Dia terus memikirkan bagaimana caranya bisa mendapatkan foto Dosen tampan itu dalam waktu tiga hari saja. Sementara percobaannya di hari pertama saja sudah gagal. Dia terus membayangkan rencana yang bisa membuat dia mendapatkan fotonya secepat mungkin. Dalam pikirannya kini tergambar sebuah adegan. Dia sedang menunggu kabar disetujui atau tidaknya judul yang telah dia ajukan. Dia sedang duduk di depan ruang Dosen. Dari sana, dia memandangi wajah tampan yang sedang fokus dengan laptop yang ada di depannya. Sementara dia duduk sambil tersenyum tipis. Pipinya merona, senyum malu-malu terhias sempurna di wajahnya. Dia beranjak berdiri. Melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke dalam ruangan itu. Tanpa ragu, dia langsung mengerling dan tersenyum penuh arti pada sang Dosen tampan. Kemudian, dia memintanya untuk berfoto bersama. Damar mengiyakannya dengan senang hati. Mereka berfoto beberapa kali. Ah, betapa indahnya mendapatkan foto pria tampan dengan cara semudah itu. Lalu, dia akan mendapatkan bakso gratis selama seminggu. Sangat indah! Tapi tiba-tiba .... Sebuah tepukan keras mendarat di pundaknya. Membuyarkan lamunan indahnya yang begitu sempurna untuk bakso gratis selama satu minggu ke depan. Dia memejamkan mata. Menyembuhkan napas panjang. “Sakit tahu! Apaan sih! Ganggu orang lagi melamun saja!” ucapnya saat dia menoleh ke arah kanannya. Di mana seseorang yang menepuknya berada di sana. “Dasar kurang kerjaan! Siapa yang kau lamunkan?” ucap Disti. Dia melihatnya dengan tatapan menyelidik. Menelisik ke mata Priska. Mencari tahu, siapa yang sedang dia lamunkan sedari tadi. Hingga dia tidak menyadari kehadirannya di sana. Bahkan tidak menyahuti panggilannya sedari tadi. “Eh, kenapa kamu ke sini? Sekarang kan tidak ada jadwal kuliah!” ucapnya. Ganti dirinya yang menyelidik ke arah Disti. Dia merasakan ada hawa-hawa tidak enak. Dia menebak, cewek centil yang sedikit cantik itu juga sedang mengincar Damar. Dia adalah penggosip nomor satu di kampus. Tidak mungkin jika Disti tidak mengetahui kabar tentang Damar yang tampan di kampus ini. Disti menyibak rambutnya yang sebahu. Dia mengerling dan tersenyum tipis pada Priska. “Ada deh! Kepo!” jawab Disti. Senyumnya masih terkembang di wajahnya. Priska mengernyit. Satu ujung bibirnya terangkat ke atas. Benar sudah dugaan yang tadi dia pikirkan. “Kau mengincar Dosen baru itu ya?” selidiknya. Alisnya terangkat satu, dan tatapannya cukup tajam pada Disti yang duduk di sebelahnya. “Kau sudah tahu? Dari mana kau tahu? Sekarang kau jadi penguntitku ya?” ucap Disti menggebu. Jelas dari nada bicaranya itu adalah sebuah sindiran yang sangat nyata. “Bodo amat!” ucap Priska. Dia tahu, Disti sedang menyindirnya. Sebab, selama ini dia selalu disebut sebagai biang ratu gosip olehnya. Mungkin bagi Disti, aneh saja jika Priska tahu secepat itu tentang kabar Dosen baru yang tampan. “Eh, mau ke mana kamu Pris? Kamu enggak akan menemui Dosen itu, kan?” tanya Disti padanya. Tapi, dia tidak menggubrisnya. Tak menoleh sedikit pun. Terus saja melangkahkan kakinya menjauh dari keberadaan Disti. Setelah dia membuat lamunannya hancur. Membuat dia diseret dari lamunan yang indah untuk kembali ke kenyataan pahit yang ada. Tapi, sekarang dia malah mempertanyakan ke mana Priska akan pergi? Mana mungkin dia akan mendengarkannya! Menjawabnya? Tidak akan pernah! Disti mengentak kakinya dengan kesal. Awas saja, kalau ternyata kau juga mengincar Dosen tampan itu! Priska terus berjalan menjauh. Dia merasa kesal dengan Disti. Dia terus mengomel sepanjang jalan. Dengan gumaman pelan dan hanya bisa didengar olehnya. Sesekali kakinya menendang kerikil kecil yang ia temui di jalanan. “Sudah capek-capek berangkat ke kampus malah tidak mendapatkan apa pun? Sial sekali!” dia mengasihani dirinya sendiri. Telah melakukan hal bodoh dan tidak menghasilkan apa pun. Kemudian dia berhenti sejenak. Berpikir ke mana dia akan pergi selanjutnya. Terik matahari begitu menyengat. Membuat beberapa peluh menetes di keningnya. Dia mengusapnya dengan tangan secara perlahan. Kaki Priska terus melangkah tak tentu arah. Dia hanya terus berjalan menikmati udara siang yang terik. Hingga sebuah suara mengejutkan dirinya sendiri. ‘kruyuk' suara perutnya membuat dia sadar. Dia harus segera mengisi perut dan membeli beberapa makanan yang diminta oleh kakaknya tadi. Bakso Cak Sugi memang tidak ada duanya. Itu adalah pilihan paling tepat untuk mengisi perutnya yang sedang keroncongan saat ini. “Cak, bakso biasanya ya, satu!” pesannya. Dia menarik kursi dan duduk. Warung Cak Sugi sedikit sepi. Tidak seperti biasanya yang selalu ramai pembeli. Sepertinya, itu karena masih banyak kelas yang berlangsung siang itu. “Siap, Neng!” jawab Cak Sugi semringah. Dia mengelap wajah dengan handuk kecil yang dia sampirkan di lehernya. Kemudian mengambil capit dan mulai membuatkan pesanan Priska. Tangannya cekatan. Mungkin kecepatannya sudah sebanding dengan Valentino rosi-rosian. Bukan yang benaran! Saat tangan Cak Sugi yang gempal itu membuka tutup panci. Wangi aroma kuah kaldu yang segar dan gurih menyeruak. Menyapa setiap penciuman orang yang melintas. Membuat beberapa orang menoleh mencari tempat asal aroma menggiurkan tersebut. Termasuk Priska. Cacing di perutnya tak hanya keroncongan. Tapi, sudah dangdutan dan bahkan rock'n rollan. Priska menghirup aroma itu dalam-dalam. Selalu saja nikmat dan membuatnya semakin tidak sabar untuk mengunyah kenyalnya pentol bakso buatan Cak Sugi. “Jangan lupa kikilnya ya, Cak!” sela Priska. Saat Cak Sugi hendak menuang kuah ke mangkuk yang ada di depannya. “Siap!” jawab Cak Sugi. Dia selalu ramah. Selalu menghidangkan bakso dengan kualitas terbaiknya. Meladeni segala permintaan pelanggannya. Termasuk Priska. Si cerewet dan banyak maunya. “Selamat menikmati!” ucap Cak Sugi. Dia tidak pernah lupa mengucapkan slogan itu. Slogan yang mirip dengan tulisan di kotak-kotak kue hajatan. Tak lupa senyumnya yang khas. Hingga membuat kedua matanya tertarik ke samping berbentuk garis. “Bungkus satu ya, Cak! Jangan banyak-banyak pentolnya. Sambalnya banyakan!” ucapnya. Sebelum dia akhirnya mulai menyeruput kuah dari sendok. Cara makan bakso paling ajib adalah dengan menyeruput kuahnya terlebih dahulu. Baru menuangkan sambal ke mangkuk dan mengaduknya hingga tercipta kepedasan yang diinginkan. Jangan sekali-kali menambahkan saus tomat dan kecap! Itu akan merusak rasa! Itu prinsip Priska. Dia mulai menyendok pentol dan mengunyahnya. Priska sudah kapok mengiris pentol bakso dengan sendok. Bukannya terbelah. Hal yang terjadi malah pentolnya kabur. Meloncat tinggi dan melarikan diri dari sergapan gigi-giginya yang siap menerkam. Jadi, dia makan saja secara utuh. Hingga membuat wajahnya tampak mentol di salah satu sisi pipinya. “Cak, es siropnya satu!” ucapnya dengan mulut penuh dengan makanan. Tidak jelas terdengar oleh telinga. Tapi, Cak Sugi yang memang sudah hafal di luar kepala pesanan Priska biasanya. Mengangguk mantap. Kemudian mulai membuatkan es sirop dan menyajikan padanya. Juga menaruh bungkusan bakso di meja. “Tumben sendirian, neng? Biasanya sama temannya yang manis itu.” Cak Sugi duduk di dekat gerobak baksonya. Menghadap ke arah Priska. Menunggu balasan dari pertanyaan yang dia ajukan padanya. “Ah, Rara? Dia di rumahnya.” Enteng sekali dia menjawabnya. Kemudian menyeruput kuah bakso terakhir yang ada di mangkuknya. “Iya, Neng Rara memangnya enggak kuliah? Kok di rumah?” Pertanyaan kedua Cak Sugi bertepatan dengan sedotan pertama Priska pada minuman favoritnya. Hingga membuat dia tersedak dan terbatuk-batuk. “Pelan-pelan, Neng!” ucap Cak Sugi padanya. Entah, itu adalah sebuah perhatian atau sindiran untuknya. “Kepo!” jawab Priska. “Berapa?” lanjut Priska. Dia masih tidak menjawab pertanyaan itu. Sebab, dia memang tidak ingin menjawabnya. Karena, jika dia menjawab tidak ada kelas hari ini. Maka, pertanyaan Cak Sugi pasti akan beranak pinak nantinya. Dan membuat dia harus lebih lama lagi berada di sana. Padahal, bakso di mangkuknya sudah habis. Juga, bisa membuat bakso untuk Kakaknya akan segera dingin. Mendapatkan jeweran lagi dari sang Kakak bukanlah keinginannya. Jadi, segera pulang dan menyerahkan bakso adalah pilihan yang paling tepat untuk ia lakukan selanjutnya. “Dua puluh lima ribu!” Priska meletakkan uang itu di gerobak bakso. Tak banyak bicara dan langsung cabut begitu saja. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD