Pagi hari yang cerah. Priska telah siap berangkat ke kampus. Dengan dandanan tipis dan pakaian yang nyaman di tubuhnya. Robi, baru saja mengoles mentega di rotinya. Dia melirik sang adik dengan tatapan tidak suka. Bibirnya mencebik, menunjukkan rasa kesalnya yang tertimbun. Kemarin, seharusnya dia mencecarnya dengan banyak omelan. Tapi, ia malah lupa dan turun begitu saja ke lantai satu. Masuk ke kamar. Dan pagi ini, dia baru menyadarinya. Saat sang Mama mengirimkan sebuah pesan padanya.
'Jangan lupa, nanti jemput Mama jam delapan. Jangan telat!’
Priska membalas lirikan Robi dengan lirikan yang sama tajamnya. Ia hanya mengambil sepotong roti dan langsung melahapnya. Terlalu malas mengoles mentega dan selain cokelat. Apa lagi harus mengaduk s**u hangat. Mengambil air dari dispenser adalah hal yang mudah. Kenapa harus dipersulit dengan menyalakan kompor dan melakukan banyak langkah kerja lainnya.
“Ada yang ingin Abang katakan? Kenapa mendelik begitu?” ucap Priska cuek. Dia meneguk sisa air digelasnya.
“Tidak ada!” balas Robi dengan nada yang dibuat-buat.
“Ya sudah, aku pergi kuliah.” Dia berjalan perlahan. Lalu kembali menoleh ke arah sang Kakak.
“Ah, aku ingat. Jangan lupa oleh-oleh bunga pertunangannya! Mitosnya, bisa mendekatkan jodoh! Abang ambil yang banyak. Biar jodohnya makin dekat!” Ia mengatakannya dengan perasaan yang dag-dig-dug. Takut kakaknya marah, tapi tetap saja dia melakukannya. Langkah kakinya ia percepat. Sebelum sebuah serangan akan menyapanya pagi ini.
***
Kampus masih sepi. Ada kabut tipis yang masih tersisa di sana. Daun kering yang berguguran tampak menguning dan berserak di sana-sini. Pak Abdi, sebagai tukang bersih-bersih hendak menyapunya. Tapi, Priska menghentikannya.
“Jangan Pak. Tunggu sebentar!” ucapnya. Seraya menekankan laju motor dan menepikannya di bawah kanopi tempat parkir.
Pak Abdi terdiam dan menatapnya bingung.
“Kenapa Neng? Keburu siang, nanti anak-anak ramai malah tidak enak kalau mengganggu mereka.” Dia bertanya, menjelaskan apa yang dia pikirkan. Lalu diam. Menunggu jawaban dari Priska yang masih melepaskan helm dan menaruhnya di motor.
“Baik-baik di sini!” bisiknya pada motor yang baru saja dia parkir kan di bawah kanopi.
Rara yang kebetulan baru sampai dan memarkirkan motor di sebelah Priska hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan absurd teman dekatnya itu.
“Ra! Fotoin dong!” ucapnya. Tak ada persetujuan dari Rara. Tapi, ia sudah memberikan ponselnya yang sudah membuka aplikasi kamera. Rara memutar kedua bola matanya. Padahal, Rara belum juga melepaskan helmnya.
Priska, kapan kau normal? Ah aku lupa. Itu tidak akan pernah terjadi. Dia harus diganti dulu namanya agar bisa kalem dan anteng. Ah iya, juga tidak absurd seperti ini!
“Kenapa diam? Ayolah, kasihan Pak Abdi menunggu!” ujarnya ringan. Tanpa merasa bersalah sama sekali. Padahal, dia yang sudah mengganggu pekerjaan Pak Abdi.
Mau tidak mau, Rara pun memfoto kan dirinya. Menolaknya? Percuma! Priska akan mengeluarkan segala macam jurus andalan yang bisa dia lakukan agar permintaannya terkabul. Kalau dia punya lampu ajaib seperti Aladin. Mungkin, Om Jin akan memilih untuk tetap tinggal di dalam lampu selama-lamanya. Daripada harus menuruti semua permintaan Priska yang absurd dan nyeleneh.
“Ayo!”
Priska mulai mengeluarkan segala jenis pose andalannya. Berlenggok ke kiri dan ke kanan. Melompat, duduk, bahkan merebahkan diri di atas dedaunan. Tidak akan ada mahasiswi yang kelakuannya macam dia di kampus. Dia adalah satu-satunya penyandang gelar mahasiswi petakilan. Hal itu bahkan sudah tersebar seantero kampus juga ruang Dosen.
“Silakan dilanjutkan Pak. Terima kasih,” ucapnya. Dengan senyum manis yang menghias di wajahnya. Alisnya bergerak naik-turun.
“Tumben?” Rara membuyarkan fokus Priska yang sedang memilah hasil jepretan Rara.
“Apa?” sahutnya. Masih tidak menoleh dan tetap fokus dengan layar ponselnya.
“Datang pagi! Tumben?” lanjut Rara. Memberikan kalimat penjelasan dari sebuah kata tanya yang sebelumnya dia ucapkan.
“Aku kan rajin!” Priska mengibaskan rambut pendeknya. Lalu menarik bagian kerah kemejanya dengan gerakan naik turun.
“Halah! Pret!” balas Rara. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Priska yang sudah menemukan foto profil w******p. Berjalan mundur, setelah mengantongi ponselnya. Dia bergurau dengan Rara. Hingga tiba-tiba....
“Awas!” ucap Rara, yang tentu saja sudah terlambat. Priska telah menabrak seseorang yang ada di belakangnya. Hingga membuat dua terjatuh. Pantatnya terantuk tanah cukup keras dan dia puji mengaduh kesakitan. Ada saja tingkahnya yang mengakibatkan sesuatu terjadi.
Rara bahkan menutup mata dengan kedua tangannya. Sosok pria berbadan tegap dengan potongan rambut rapi itu berjongkok. Mengambil barang-barangnya yang terjatuh akibat ulah Priska yang petakilan. Priska masih memegangi pantatnya yang sakit. Dia beranjak berdiri dan mengulurkan tangan pada Rara. Membuat temannya membuka tangan dari wajahnya dan menarik tangan Priska dengan kuat. Rara mengamati sosok yang masih berjongkok.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Priska tanpa ragu, bahkan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Tapi, tak ada jawaban dari pria tersebut. Dia fokus dengan barangnya yang berjatuhan di tanah. Priska ikut membantu mengambil beberapa kertas. Ia membacanya dalam hati.
Daftar judul skripsi mahasiswa.
Priska sontak menoleh dan memeriksa siapa yang baru saja dia tabrak.
“Maaf, Pak! Saya tidak sengaja!” ucapnya seketika. Membuat Rara ikut berjongkok dan membantu mereka.
“Maafkan teman saya, Pak!” sahutnya.
Damar menghela napas panjang. Lalu menumpuk berkas yang dia bawa dalam satu tumpukan. Kali ini, dia baru melihat pada sosok yang menabraknya. Matanya mendelik, membulat sempurna. Kemudian berubah menjadi sebuah tatapan sinis.
“Kamu lagi? Ini masih pagi, dan saya sudah terkena sial karena kamu. Lebih baik, kamu menghindar sebelum saya semakin sial!” ucapan Damar cukup pedas. Mampu mengiris hati seorang perempuan. Alisnya terangkat satu. Tangannya menunjuk tepat ke arah Priska. Menghardiknya dengan kata-kata yang cukup kasar.
Rara menggigit bibir bawahnya. Dia tidak sanggup berkata apa-apa untuk membantu temannya. Dia hanya melirik ke arah Priska yang terdiam dan menatap tajam ke arah sang Dosen tampan.
“Maaf!” ucap Priska singkat. Matanya memang mulai memerah dan berkaca-kaca sejak tadi. Dia pun pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
“Permisi, Pak. Dan maaf,” ucap Rara. Dia pun pergi setelah menganggukkan kepala pada sang Dosen yang terlihat angkuh dan pemarah itu. Lalu, ia mulai mempercepat langkah kakinya. Mencoba menyusul Priska yang sudah berada di depan sana.
“Kenapa dia? Tidak biasanya dia langsung pergi seperti itu,” gumam Damar. Dia menoleh sekilas ke arah kedua mahasiswi itu. Kemudian menggeleng pelan dan melanjutkan langkahnya menuju ruang Dosen.
Kenapa aku jadi kepikiran sama sikapnya?
“Pris! Tunggu! Ka! Tunggu!” ucap Rara. Langkah Priska cukup cepat dan tidak mampu dia sejajari. Bahkan membuat Rara sedikit berlari kecil untuk bisa berjalan di sampingnya.
“Hey, dipanggil malah diam saja!” protes Rara. Dia mengerucutkan bibirnya, dengan alis yang mengernyit dan hampir menyatu.
“Ah, kamu memanggil aku? Kalau memanggil itu yang lengkap! Noh Prisil sana Riska ikutan menoleh! Aku kira, kau memanggil mereka!” jawabnya enteng. Dia bahkan menunjukkan tepat ke arah dia orang yang namanya dia sebutkan. Suaranya kembali seperti sedia kala. Omelan itu membuat Rara menjadi bingung. Padahal, beberapa menit yang lalu dia terlihat sedih dan sakit hati. Tapi, sekarang...?
“Kamu enggak apa-apa?” tanya Rara sedikit ragu. Dia menarik lengan Priska. Menempelkan punggung tangannya ke kening gadis itu. Merasakan beberapa saat. Tak ada yang salah. Suhu tubuhnya normal. Lalu dia kenapa?
“Apa sih, Ra? Aku waras! Sehat-sehat saja kok!” ucapnya risi. Dia menepis tangan Rara dari keningnya. Ia melihat ke arah Rara yang masih menautkan alisnya.
“Tadi mewek, sekarang sudah kembali cerewet!” balas Rara.
“Tadi? Ah, itu sih akting!” jawabnya. Kemudian dia tertawa terbahak-bahak sampai perutnya terasa kaku. Air mata pun keluar dari sudut matanya.
“Hah? Maksudnya?” Rara melipat tangan di depan dadanya. Baru saja dia merasa simpati dan kasihan terhadap temannya itu. Tapi, jawaban yang dia dengar barusan membuat dia merasa kesal sendiri. Karena sudah merasa iba pada gadis macam Priska.
“Ah aku sampai lupa. Dia si pria tampan yang aku bilang hari itu. Wajahnya sih tampan, tapi bibirnya tajam dan pedas!” ucapnya. Gerakan bibirnya sekarang sudah seperti ibu tiri yang melihat bawang putih rebahan. Persis! Judes!
“Dosen itu, yang kita taruhan foto?” Rara akhirnya teringat dengan taruhan mereka beberapa hari yang lalu. Dengan wajah yang masih tidak percaya. Dia melihat Priska menganggukkan kepalanya dengan mantap.
“Wah gila sih ini! Lalu, akting tadi apa?” cecar Rara. Menunggu penjelasan dari ucapan Priska sebelumnya.
“Oh, itu balasan untuknya. Biar dia sedikit peka! Kau tahu, kemarin aku diusir dari kelasnya!” menggebu dia menceritakan kejadian hari kemarin. Saat dia ketahuan masuk kelas orang lain. Dan diusir di depan banyak mahasiswa. Hal itu membuatnya malu dan dendam. Walau sudah membalas dengan ucapan yang menggemaskan. Dia masih menyimpan dendamnya dan kejadian tadi adalah saat yang tepat untuk mengusik si Dosen.
“Hah? Kamu ada-ada saja! Demi bakso Cak Sugi kau bahkan melakukan itu? Hey! Uang saku dari Mama kamu saja lebih dari cukup untuk kamu mandi bakso!” ucap Rara dengan nada kesal. Dia menoyor kepala Priska tepat di keningnya. Lalu meninggalkan temannya itu sendirian di sana.
“Tapi kan, tapi kan ... Ra ... tunggu!” teriaknya. Ia mempercepat langkah untuk menyusul Rara yang sudah hampir sampai ke dalam kelas.