32. Pelajaran untuk Melinda

1048 Words
Sesampainya di sekolah, memang jam istirahat sudah habis. Namun Diaz dan Shendy tidak langsung kembali ke kelas. Mereka justru masuk ke ruang guru. Shendy memberikan rekaman suara Melinda. Diaz bahkan terkejut melihat itu, ia sama sekali tidak tahu kalau Shendy melakukannya. Pantas saja ia terlihat begitu tenang dan menahan Diaz untuk bertindak di luar batasnya. "Sekarang Melinda di mana?" tanya Bu Hilda, selaku wali kelas mereka. "Saya gak tau, Bu. Setelah dorong saya, dia langsung pergi," jawab Shendy jujur. "Baiklah kalau begitu, makasih banyak kamu udah bantu Melinda sampai sejauh ini. Selanjutnya, Melinda biar jadi urusan kami." "Baik, Bu," jawab Shendy seraya menunduk hormat. "Oh iya, Diaz…." "Iya, Bu?" "Beritahu Tulip untuk menemui saya nanti di jam istirahat ke dua!" "Baik, Bu." Kemudian mereka berdua keluar dari sana. Shendy terlihat begitu lega. "Kamu memang udah berencana buat ngerekam dari awal, ya?" tanya Diaz sebelum mereka sampai di kelas masing-masing. "Enggak." "Terus kenapa? Aku kira kamu bakal terus ngelindungin dia." Shendy menghentikan langkahnya. "Awalnya iya, tapi setelah dia bilang aku bukan peduli dan cuma menjalankan tanggung jawab, rasanya aku kaya ditampar," jawab Shendy dengan suara yang begitu pelan, tersirat seperti orang yang putus asa. "Rasanya kalo cuma karena tanggung jawab, kamu bakal ngelaporin dia sejak awal. Gak nunggu banyak kasus kaya gini baru kamu laporin. Iya, kan?" "Entahlah! Siapa yang peduli?" Shendy kembali melangkah dan segera masuk ke dalam kelasnya. "Shen–" Diaz hendak bicara lagi, namun Shendy sudah lebih dulu masuk ke dalam kelas. Diaz menarik sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman. Ia baru menyadari kalau Shendy tidak seburuk yang ia nilai selama ini. *** Jam istirahat kedua, dengan ditemani Aaron, Diaz dan Naya, Tulip datang ke ruang guru dan menemui Bu Hilda. Yang lain menunggu di luar. "Kamu yang namanya Tulip?" tanya Bu Hilda ketika Tulip baru saja sampai di mejanya. "Iya, Bu. Saya Tulip." "Silakan duduk!" Tulip pun duduk di kursi yang tersedia. Bu Hilda membereskan beberapa berkas yang sebelumnya sedikit berantakan di atas meja. "Sebelumnya saya sebagai wali kelas dari Melinda mau meminta maaf atas kejadian yang sudah menimpamu pagi tadi." "Iya, Bu. Gak apa-apa. Saya sudah memaafkan Kak Meli." "Kalau begitu, apa kamu bisa jelaskan awal mula kedekatan kalian? Dan juga… masalah pribadi Melinda?" "Ah… untuk masalah pribadi Kak Meli–" "Gak apa-apa. Cerita aja! Saya wali kelasnya." "Baik, Bu." Akhirnya Tulip menceritakan semua yang ia ketahui tentang Melinda, termasuk masalah kecurigaannya juga. Dengan sabar Bu Hilda menyimak semua yang Tulip ceritakan. Masalah Melinda bukan hanya kecemburuannya pada Diaz, tetapi karena memang mentalnya yang sudah terserang. Masalah berat yang selama ini ia terima, membuat pola pikirnya menjadi tidak sehat. Bahkan ia tidak tahu bahwa yang ia lakukan adalah salah. "Saya sama sekali gak pernah bocorin masalah Kak Meli, Bu. Baru ini saya cerita, itu pun karena Ibu yang meminta," ujar Tulip mengakhiri ceritanya. "Saya percaya dengan ceritamu, Lip. Tenang aja! Melinda memang salah, maaf dia sampai membawamu dalam masalahnya." Tulip hanya mengangguk, kemudian Bu Hilda kembali bicara, "Tetap jaga rahasia Melinda, ya! Saya percaya kamu bisa memegang rahasia ini dengan baik." "Baik, Bu. Saya akan simpan semuanya rapat-rapat." Bu Hilda kemudian tersenyum. "Sekarang kamu boleh kembali ke kelas." "Baik, Bu. Terima kasih." "Iya, sama-sama." Tulip pun menunduk hormat dan ke luar dari ruang guru. Aaron, Diaz dan Naya menunggu di depan dengan harap-harap cemas. Meski mereka tahu Tulip dipanggil bukan untuk di hukum. "Gimana, Lip?" tanya Naya begitu Tulip menutup pintu ruang guru. "Aman, tenang aja!" jawab Tulip disertai dengan senyuman. "Terus, kamu suruh ngapain?" "Gak ngapa-ngapain. Bu Hilda cuma minta maaf kok. Yah, meskipun bukan salah beliau." "Syukurlah kalo gitu. Terus, kakak itu gimana? Dapet hukuman?" "Pasti dapet," sambung Diaz kemudian. "Ini bukan kasus pertamanya, jadi gak mungkin dia lepas begitu aja." "Ah, syukurlah!" Naya terus-menerus mengucapkan rasa syukurnya. Sebab ia sangat tahu kalau Tulip tidak mungkin bersalah. "Mungkin… setelah ini ada baiknya kamu berterima kasih sama Shendy," ujar Diaz mengingatkan. Sebenarnya ia juga tidak yakin, namun entah mengapa ia merasa Shendy juga butuh dukungan. "Jadi, Kak Shendy juga tau masalah ini?" tanya Naya dan Tulip bersamaan. "Iya, justru dia yang urus semuanya. Aku cuma perantara aja," jawab Diaz seraya tersenyum. "Aku duluan ke kelas, ya!" pamitnya kemudian. "Iya, Kak. Sekali lagi makasih banyak!" ucap Tulip. "Iya, Lip. Sama-sama." Aaron tak bicara sama sekali. Seperti biasa, ekspresinya datar. Tak ada yang tahu apa yang ia pikirkan sebenarnya. Ketika Diaz pamit, ia juga ikut pergi. Namun sebelum itu, ia sempat untuk mengusap kepala Tulip dan Tulip pun tersenyum dibuatnya "Kakakmu memang gitu?" tanya Naya bingung. "Iya. Nanti juga ngomong kalo dia mau. Dia lebih leluasa kalo ngomong berdua." "Ah… gitu, ya? Modelan gini nih yang bikin cewek jadi kesem-sem." "Apa itu kesem-sem?" Kata itu terdengar asing di telinga Tulip. "Semacam jatuh cinta mungkin? Atau tergila-gila? Yah, kurang lebih begitulah artinya," jelas Naya. "Haha! Setuju kok. Kak Diaz sama Kak Aaron itu memang beda kepribadian, tapi dua-duanya memang magnet buat cewek. Iya, gak sih?" "Setuju!" jawab Naya semangat. "Ih! Kok jadi bahas kakakku? Yuk, balik ke kelas! Bentar lagi masuk." Tulip sudah cukup tenang sekarang. Meskipun butuh waktu untuk memperbaiki nama baiknya di sekolah, setidaknya kemungkinan besar Melinda tidak akan berani untuk mengganggunya lagi. Ternyata kejutan untuk Tulip hari ini tidak sampai di situ saja. Ketika baru saja mulai memasuki lorong kelas, mereka bertemu dengan Felix–ia baru turun dari lantai 2. Sesaat keduanya saling diam, namun Tulip tak bisa menahan diri untuk tidak menyapanya. Bukan karena cari perhatian, namun ia merasa tidak sopan jika tidak menyapa orang yang ia kenal. Sayangnya, belum sempat Tulip membuka mulutnya, Felix sudah lebih dulu berlalu dari hadapan mereka. Naya yang begitu peka, langsung mengusap lengan Tulip. "Udah gak apa-apa. Ayo balik ke kelas!" ajaknya pelan. Tulip hanya mengangguk. 'Aku cuma mau nyapa. Kenapa Kak Felix sampe sedingin ini? Apa salahku?' tanya Tulip dalam batinnya. Sementara itu di sisi lain. Sebenarnya Felix juga merasa tidak enak karena langsung menjauhi Tulip seperti ini. Ia justru menyesal, mengapa ia harus seramah itu pada Tulip sebelumnya. Seharusnya ia tetap menjadi Felix yang semua orang kenal–cuek dan dingin. 'Lupain-lupain-lupain! Anak itu juga bakal lupa kok kalo kita pernah akrab. Lagian baru sekali ngobrol deket. Dah, lupain!' Begitulah yang Felix ucapkan dalam batinnya. Ia tak ingin dekat dengan Tulip lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD