33. Wanita Juga Bisa Tegas

1038 Words
Sepulang sekolah, Aaron kembali menghampiri Tulip. Padahal sudah beberapa minggu mereka hanya bertemu di parkiran saja, karena Aaron tidak ingin mencuri banyak perhatian. Wajah Aaron masih datar, tak ada senyum di wajahnya mungkin justru tersirat kesedihan–itupun sangat samar. "Aku duluan, ya!" ujar Naya pada sahabatnya ketika mengetahui Aaron sudah menunggu di depan kelas. "Oh, iya. Ati-ati, ya!" pesan Tulip yang masih di dalam kelas. Ia sedang mengencangkan tali sepatu. "Loh, Kakak nunggu di sini? Kirain bakal nunggu di depan kaya biasa," ujar Tulip ketika mendapati Aaron sudah berdiri di depan pintu kelas. "Gak apa-apa, sesekali," jawab Aaron dengan nada datar. Dengan kode matanya, ia mengajak Tulip untuk pulang. Karena sudah terbiasa, maka ia pun bisa paham tanpa harus banyak bertanya. "Kak, Kakak mau beli kue, gak?" tanya Tulip sembari mereka berjalan ke arah gerbang. "Boleh." "Kakak gak marah, kan?" "Enggak, kenapa marah?" "Hm, soalnya aku gak bisa baca ekspresi Kakak." "Ya gak usah dibaca, mukaku bukan buku." "Ya bener juga sih." Aaron menjawab semua itu tanpa melihat Tulip. Ia terus berjalan seolah tak ada manusia lain di sekelilingnya. Sepertinya sifat cuek sudah mendarah daging dalam dirinya. Tak ada satupun orang yang menyapanya ataupun ia sapa, padahal mungkin saja orang yang lewat di sebelahnya adalah teman kelasnya. Tulip berjalan sembari melihat sekeliling. Ada beberapa orang yang tidak sengaja saling bertatapan, namun langsung membuang muka. Ada juga yang terlihat seperti sedang membicarakannya. 'Pasti gara-gara masalah tadi pagi, jadi banyak yang jadiin aku bahan omongan,' batin Tulip yang mulai merasa tidak nyaman. "Tulip!" seru Diaz dari belakang. Ia baru saja hendak merangkul Tulip, namun tentu tidak semudah itu. "Heh! Tanganmu!" sergah Aaron seraya menarik tubuh Tulip agar sedikit menjauh dari Diaz. "Di sekolah, Kak! Jangan nakal!" ujar Tulip mengingatkan sambil tertawa. "Kompak banget kalian berdua!" gerutu Diaz. "Salahnya gak tau aturan!" tambah Aaron lagi. Seperti biasa, Diaz tak banyak mengindahkan ucapan Aaron. "Nanti malem telpon, ya! Kamu utang cerita sama aku!" ujar Aaron pada Tulip. "Hm? Cerita apa?" tanya Tulip dengan polosnya. "Masalah tadi. Kan, kamu cuma cerita ke Aaron, tapi gak cerita sama aku. Kamu gak lupa, kan, kalo kakakmu ada dua?" "Kenapa Kakak gak ke rumah aja? Kan, lebih enak ceritanya." "Enggak deh! Ada yang ganggu soalnya. Kalo telpon, kan, lebih fokus," jawabnya sambil melirik Aaron dengan sinis. "Apaan lirik-lirik?" celetuk Aaron. "Dih! Pede banget!" balas Diaz. "Gimana, mau, kan?" tanya Diaz lagi. "Iya mau kok, Kak. Tapi aku kerjain PR dulu." "Siap! Aku bakal setia menunggu kok." "Haha! I–" "Ayo pulang, Pak Andra udah di depan!" ajak Aaron sebelum Tulip menyelesaikan ucapannya. "Duluan ya, Kak!" pamit Tulip. "Oke ati-ati! Jangan lupa kabarin kalo udah sampe, ya!" Tak menjawab dengan ucapan, Tulip hanya memberikan kode 'oke' menggunakan jarinya. 'Anak senurut dan sepolos Tulip, memang beneran butuh bodyguard. Awalnya aku kesel sama Aaron, tapi ternyata dia punya alasan kenapa segitunya protektif ke Tulip. Kamu beruntung diadopsi keluarga Arkin, Lip!' batin Diaz. Ia pun pergi ke parkiran tempat di mana motornya setia menunggu. Ketika ia hendak menggunakan helm, manik matanya menangkap sosok Shendy yang terlihat kebingungan di parkiran paling ujung. 'Kenapa dia?' Diletakkan lagi helmnya, lalu menghampiri Shendy. "Kenapa motornya?" tanya Diaz. Mengetahui Diaz tiba-tiba ada di sebelahnya, ia pun terkejut. "Sejak kapan kamu di sini?" "Baru aja. Gak sengaja liat kamu kaya kebingungan gitu. Kenapa motornya?" "Gak apa-apa. Sana pulang aja!" Tak mengindahkan ucapan Shendy, Diaz justru memperhatikan keadaan motor yang kini ada di hadapannya. "Kayanya aman, apa yang salah?" tanya Diaz lagi karena ia tak menemukan apapun. "Udah dibilang gak ada apa-apa. Sana balik!" "Kok ngusir?" tanya Diaz bingung. Shendy yang sekarang sangat berubah, padahal dulu dia selalu mengejar Diaz. "Shen, kalo gak bisa naik o–" Ucapan Sherina terhenti ketika melihat lelaki yang ada di sebelah kembarannya adalah Diaz. "Kamu… kenapa di sini?" tanya Sherina pada Diaz. Dia baru saja datang dari ruang OSIS. "Kalo kembar memang begitu, ya? Bahkan pertanyaan pun hampir sama," ujar Diaz. "Kalo gak ada perasaan apa-apa, jangan pernah kasih harapan!" ucap Sherina tiba-tiba. "Sher, udah ih! Jangan bikin malu!" protes Shendy. "Biarin! Biar dia tau!" Diaz menatap bingung kedua gadis kembar itu. "Kalian kenapa sih?" Sherina balas menatap Diaz dengan tatapan menantang. Meski tampan, namun dia sangat tidak menyukai Diaz karena sudah memberikan harapan palsu kepada saudara kembarnya. "Sher, udah stop!" Shendy kembali mengingatkan. Tanpa mengindahkan pertanyaan Diaz tadi, Sherina kembali bertanya, "Kamu balik sendiri, kan?" "Iya, kenapa?" "Anterin Shendy balik! Aku ada rapat soalnya." "Heh! Apa-apaan! Aku bisa naik ojek!" tolak Shendy. Diaz diam sejenak. Ia ingat akan kebaikan Shendy. 'Kayanya ini kesempatan buat ucapin terima kasih ke dia,' batin Diaz. "Bawa helm, kan? Ayo aku anter!" Diaz menerima perintah itu. "Gak! Aku naik ojek aja!" Shendy masih bersikeras untuk menolak pulang bersama dengan Diaz. "Yah, terserah kamu aja! Aku cuma kasih saran," ucap Sherina dan kemudian pergi dari sana. Namun ia berhenti sebentar dan berbalik. "Cuma anter pulang ya, Diaz! Tapi aku belum maafin kamu!" Lalu ia kembali melanjutkan langkahnya. "Sodaramu kenapa sih?" tanya Diaz setelah Sherina sudah cukup jauh dari mereka. 'Masih tanya kenapa? Kenapa aku bisa suka sama manusia macem dia sih?' batin Shendy kesal. Diaz masih menunggu jawaban Shendy sambil menatap wajahnya. "Gak usah anter aku! Aku bisa pulang sendiri," ujar Shendy seraya melangkahkan kakinya menuju gerbang tanpa menjawab pertanyaan Diaz. "Eh, tunggu!" Diaz mengikuti dari belakang. "Sebagai ucapan terima kasih dari aku. Ayo aku anter pulang!" Shendy menghentikan langkahnya, lalu berbalik. "Aku memang pernah suka sama kamu, tapi sekarang udah enggak lagi. Jadi, jangan ganggu aku! Karena aku gak mau balik suka ke kamu lagi, tanpa aku bisa dapetin balesan atas perasaanku! Aku masih sayang sama diriku sendiri!" Dengan tegas Shendy mengucapkan semua itu, lalu pergi tanpa mengucapkan kalimat apapun lagi. Diaz mematung di tempatnya, sesaat ia merasa bingung. Untuk pertama kalinya ia mendapatkan penolakan. Lebih tepatnya sebuah pernyataan lengkap dengan penolakan. 'Ternyata selama ini aku kelewatan, ya? Dia sampe bisa setegas itu di depanku. Tapi… bukannya aku juga udah pernah bilang kalo aku gak suka sama dia, ya? Terus sekarang salahku dimana?' Diaz diam di tempatnya untuk beberapa saat. Dia masih tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Wajar saja, dia masih awam dalam hal percintaan. Maka masalah seperti ini cukup membuatnya memutar otak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD