19. Ekstrakurikuler

1346 Words
"Jangan terlalu deket sama Felix!" ujar Aaron ketika Tulip baru saja duduk dan menutup pintu mobil. "Hm? Oh, tadi Kakak liat, ya?" tanya Tulip tanpa merasa ada sesuatu yang salah. "Pokoknya jangan deket-deket!" tandas Aaron dengan aura yang begitu dingin. "Ah, oke. Tenang aja, Kak! Tadi kami cuma kenalan kok, jangan terlalu khawatir!" Aaron tak menjawab, ia kembali memakai earphone-nya dan memejamkan mata. Mobil mulai melaju perlahan meninggalkan area toko. Tulip memandang ke luar jendela. Ada perasaan senang ketika membayangkan wajah Felix. Senyumnya begitu manis, suaranya begitu khas di telinga. Ia ingin mendengar Felix bernyanyi lagi. Tapi, kapan? Tulip memperhatikan wajah Aaron yang kini sedang memejamkan mata. Ia terlalu pandai menyembunyikan ekspresi, bersikap dingin setiap saat adalah topengnya. Di satu sisi, ia merasa kehidupannya semakin membaik setiap harinya, namun ia juga tak memungkiri kalau dunia semakin memperkenalkan padanya apa itu kehidupan. Jika dulu dunia yang berputar adalah tentang dirinya; tentang hidupnya, kini tidak lagi. Ada Jia yang tentu jahat bukan tanpa alasan; ada Valent yang dingin namun punya masa lalu pahit; dan alasan Aaron yang begitu protektif bahkan hampir menuju posesif. 'Apa yang Kak Aaron pikirin sekarang? Kenapa semakin hari dia makin banyak kasih larangan? Apa berteman sama lawan jenis semengkhawatirkan itu?' Tulip bertanya sendiri dalam batinnya. Lima belas menit berlalu dalam keadaan hening. Hanya ada suara deru mesin dan klakson kendaraan lain di luar sana. Nampaknya Aaron juga sudah ketiduran. 'Kayanya Kakak kecapekan, jadinya sensitif banget,' batin Tulip sebelum membangunkan Aaron. "Ngapain ngeliatin aku kaya gitu?" tegur Aaron yang baru saja membuka matanya. "Eh! Aku kira Kakak tidur, baru aja mau aku bangunin." "Siapa juga yang tidur?" tanyanya dengan nada yang masih sama sinisnya lalu membuka pintu mobil dan keluar. "Kak Aaron kayanya beneran ngantuk, jadi galak banget," gerutu Tulip. "Sabar, Non. Den Aaron, kan, kadang memang suka gitu," sahut Pak Andra. Beliau sudah bekerja dengan keluarga Arkin lebih dari sepuluh tahun, sehingga ia sudah paham sifat-sifat mereka. "Nyebelin, kan, Pak?" tanya Tulip. Pak Andra hanya tertawa, mungkin ia sungkan untuk menjawab 'iya'. **** Keesokan harinya di sekolah, Tulip baru saja mengembalikan buku di perpustakaan bersama Naya. "Lip, aku beli air minum bentar, ya! Haus banget," ujar Naya ketika mereka baru saja keluar dari perpustakaan. "Oh, ya udah. Aku tunggu di sini." "Ya udah, bentar, ya!" "Oke." Naya pun pergi ke koperasi yang berjarak dua belas meter dari perpustakaan. Tulip berdiri di dekat lorong antara perpus dan kelas, ia melihat seseorang yang sangat ia kenal sedang mengobrol dengan seorang perempuan. Siapa lagi kalau bukan Diaz. Perempuan itu bergelayut manja di lengan kanan Diaz. Mereka tampak sedang membicarakan sesuatu yang lucu, sepertinya menyenangkan. Di lorong itu tidak sepi, ada beberapa siswa yang sedang duduk sambil bermain ponsel. Hanya saja, apakah pantas bermesraan seperti itu bahkan ini masih di lingkungan sekolah? Tulip mengerjap beberapa kali untuk memastikan kalau penglihatannya tidak salah. Dan benar, dia adalah Diaz dengan seorang gadis berambut panjang yang dibuat keriting di bagian ujungnya. 'Akhirnya aku liat sendiri kelakuan Kak Diaz. Siapa cewek itu? Aku gak suka liatnya!' Tulip melihat ke arah koperasi, belum ada tanda-tanda Naya keluar dari sana. 'Apa aku harus samperin Kak Diaz? Dia gak seharusnya kaya gitu, apalagi di sekolah,' batin Tulip lagi. Baru hendak melangkah, Naya keluar dari koperasi dan berlari ke arah Tulip. Ia langsung mengurungkan niatnya. 'Next time aja deh ngomong ke Kak Diaznya.' "Maaf lama, mbaknya bongkar recehan dulu buat kembalian tadi," ujar Naya. "Iya, gak apa-apa kok." "Nih satu buat kamu." Naya memberikan sebotol air mineral dingin kepada Tulip. "Hm? Buat aku?" "Iya, buat nanti aja kalo sekarang belum haus," ujarnya seraya tersenyum. "Makasih, ya." "Iya, sama-sama. Yuk, balik ke kelas!" "Ayo!" Mereka mulai meninggalkan tempat itu. Tulip melirik Diaz sekali lagi, mereka masih belum beranjak dari sana. Tulip menarik napas dalam-dalam untuk meredam rasa kesalnya. Sepanjang pelajaran, konsentrasi Tulip sedikit terbagi. Pikirannya masih belum bisa melupakan apa yang tadi ia saksikan. Diaz begitu dekat dengan perempuan itu, mereka bisa tertawa lepas seolah tak ada beban. 'Kalo memang Kak Diaz gak suka, harusnya dia gak ketawa selepas itu. Apa jangan-jangan, Kak Diaz beneran playboy? Dan gak tega itu cuma alasan doang? Argh! Nyebelin banget sih!' batin Tulip uring-uringan sendiri. "Tulip?" "Hah? Apa?" tanya Tulip kaget ketika Naya memegang bahunya. "Ngelamunin apa sih? Asik banget kayanya." "Anu… enggak kok. Bukan apa-apa. Ada apa?" "Gak mau ke kantin?" "Loh?" Tulip bahkan sampai tak menyadari kalau gurunya sudah keluar dari kelas. "Tulip pasti abis bayangin yang enggak-enggak tuh, makanya sampe keasikan," sahut Juan. "Sembarangan aja kalo ngomong!" hardik Tulip sembari mengangkat bukunya hendak memukul Juan. Kemudian mereka berempat ke kantin. Isabel dan Kiran tak melulu bersama mereka karena sudah memiliki kelompok sendiri. Jadilah mereka seperti pasangan double date lagi. Kantin belum begitu ramai, sehingga mereka bisa memilih tempat duduk yang paling sesuai untuk empat orang. Tidak seperti biasanya, Juan kini rajin membuka ponselnya. Ia sedang berkirim pesan dengan seseorang. "Sibuk banget, chat sama siapa, sih?" tanya Naya. "Kepo aja!" balas Juan. Valent melirik layar ponsel Juan. " Sama Valery," bebernya. "Wowowowow! Ada apa nich?" tanya Naya diikuti bahasa planet di ujung kalimatnya. "Kamu jadi makin deket sama Valery, Ju?" tambah Tulip. "Enggak, heh!" bantah Juan. "Cuma chatting biasa kok. Nostalgia masa SD." "Masaaaa?" tanya Naya yang masih terus meledek. "Kamu percaya sama dia, gak, Lent?" Tulip mencari dukungan. "Enggak. Kayanya dia lagi pendekatan sama Valery," jawab Valent. "Apaan sih kalian ini? Orang dibilang enggak kok," jawab Juan yang masih terus membantah. "Yay! Baksonya dateng!" seru Naya yang langsung mengubah topik. Seketika obrolan mereka terhenti dan digantikan dengan kesibukan meracik kuah masing-masing. Tulip menambahkan sambal dan kecap ke dalam kuah baksonya; Naya hanya menambahkan kecap saja karena tidak suka pedas; sedangkan Juan dan Valent tim yang tidak menggunakan tambahan apapun. 'Rasa alami is the best!' begitulah jawaban mereka ketika ditanya. "Kemaren sore, kan, aku firstmeet ekskul tuh. Ternyata Kak Shendy anak cheerleader juga," ujar Naya sembari mengaduk baksonya. "Oh iya? Cocok sih, keliatannya lincah juga orangnya," puji Juan. Tulip hanya mengangguk-angguk karena masih mengunyah bakso. "Basket gimana basket? Ketemu Kak Felix gak?" tanya Naya kemudian. "Enggak, Kak Felix gak ada. Ternyata kakak yang waktu itu sama kakaknya Tulip… eh, yah pokoknya kakak yang waktu itu, ternyata dia ketua ekskul sekaligus kapten utama tim basket sekolah kita," ungkap Juan. "Kak Diaz maksudmu?" tanya Naya yang begitu excited. "Iya, namanya Diaz. Sorry lupa." "Wow, kakakmu sekeren itu, Lip?" tanya Naya lagi. "Haha, kayanya aku harus mengakui itu," jawab Tulip. Ia tertawa meskipun pikirannya kembali pada kejadian beberapa jam sebelumnya. "Jadi penasaran Kak Felix ikutan ekskul apa," tambah Tulip untuk mengalihkan pikirannya dari Diaz. "Iya juga, ya? Apa mungkin ikut ekskul musik?" tanya Naya. "Mungkin aja. Oh iya, kamu ikut ekskul apa sih, Lent? Kok gak cerita-cerita?" tanya Tulip pada Valent. "Aku? Aku gak ikut apa-apa." "Bohong banget! Rapormu gak bakal keluar kalo kamu gak ikut ekskul!" tukas Naya. "Jangan kepo, entar kalian kaget!" ujar Juan mengingatkan, namun ia terlihat seperti sedang menahan tawa. "Kenapa ketawa? Memang ekskul apaan, sih?" Naya adalah orang yang paling tidak bisa dibuat penasaran. "Oke aku kasih clue. Aku ikut ekskul yang sama kaya Kak Felix," ujar Valent. "Lah! Orang kita aja gak tau apa ekskulnya Kak Felix," gerutu Naya. "Kasih clue yang jelas dong!" "Kok ngegas?" tanya Valent sambil tertawa. "Oke clue kedua, ada hubungannya sama air." "Air?" tanya Naya dan Tulip kompak. "Memang ada ekskul yang berhubungan sama air?" tanya Tulip sembari mengingat-ingat ekskul apa saja yang ada di sekolah. Naya dan Tulip saling pandang, mereka sudah menemukan jawaban. Namun mereka tidak begitu yakin. Naya menatap Valent seolah sedang mengecek sesuatu. "Gak mungkin, kan, Lip?" "Apanya yang gak mungkin?" tanya Tulip bingung. "Tapi Kak Felix mungkin, soalnya dia badannya bagus," ujar Naya lagi. "Apa segitu buruknya bentuk badanku?" gumam Valent, namun masih bisa mereka dengar. "Gak mungkin renang, kan, Lent?" tebak Naya. "Kalo iya, gimana?" "KENAPA GAK BILANG DARI AWAL? AKU MAU LIAT!" seru Naya dengan semangat yang membara. Tak hanya Valent, Juan dan Tulip pun ikut kaget mendengar ucapan Naya. "Oke, aku mulai takut deket sama kamu, Nay," ujar Valent.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD