20. Ada Sedikit Rasa Kecewa

1526 Words
Sepulang sekolah, Aaron dan Tulip berdiri di depan gerbang. Tidak seperti biasanya, Pak Andra terlambat menjemput. Lagi-lagi jalanan macet karena beberapa jam yang lalu ada pohon tumbang karena angin kencang, sehingga beberapa mobil pemadam kebakaran harus dikerahkan untuk mengurusnya. "Pak Andra mungkin sampe sepuluh menit lagi," ujar Aaron setelah menerima pesan dari Pak Andra. "Oh, iya, Kak." Aaron masih sama dinginnya sejak kejadian hari itu. Jika sudah begitu, Tulip juga tidak berani untuk mengganggunya. Meski Aaron bisa saja luluh, namun Tulip tidak memiliki keberanian untuk memulainya. "Loh, kalian kok belum pulang?" tanya Diaz yang baru keluar dari gerbang dengan motor kesayangannya. "Macet katanya, Kak. Mungkin sebentar lagi sampe," jawab Tulip mewakili Aaron. "Ah gitu, mau bareng gak? Biar Aaron yang nunggu sendiri di sini." Ajakan Diaz membuat Aaron melepaskan sebelah earphone dari telinganya. "Gak usah macem-macem deh! Ada helm juga enggak," ujar Aaron. "Kan bisa lewat jalan tikus," dalih Diaz. "Gak! Balik sana! Gak usah bikin kesel," usir Aaron. "Kakakmu kenapa sih? Datang bulan?" tanya Diaz dengan suara yang sedikit dipelankan. Tulip hanya mengangkat kedua bahunya. Diaz menepikan motor dan membuka helmnya, lalu menghampiri Tulip. "Kakak kenapa turun?" "Gak apa-apa. Cuma pengen temenin kamu aja–bukan dia," ujar Diaz sembari menunjuk Aaron dengan lirikan matanya. "Kan aku sama Kak Aaron, jadi gak perlu ditemenin lagi," ujar Tulip. "Kamu gak mau aku temenin, ya?" Pertanyaannya terdengar sedikit sendu. "Eh, bukan gitu, Kak. Aku mau kok, tapi kasian Kakak. Waktu pulangnya jadi tertunda." "Kan aku yang mau, jadi gak–" "Diaz!!" Seorang gadis datang dan langsung menggandeng lengan kanan Diaz. Dia gadis yang berbeda dengan yang Tulip lihat kemarin. 'Apa semua cewek yang deket sama Kak Diaz selalu begini?' batin Tulip yang seketika menjadi kesal. "Ada apa, Mel?" tanya Diaz pada gadis itu. "Boleh balik bareng, gak? Ella tadi pulang duluan soalnya," ujar gadis itu dengan nada yang begitu manja. Bukan hanya suaranya yang menyebalkan, tangannya yang sembarangan memegang lengan Diaz sungguh membuat Tulip geram. Ingin rasanya rambut panjang itu ia tarik sampai menyentuh trotoar. Untung saja Pak Andra segera tiba, sehingga dia bisa segera pergi dari tempat itu. "Ayo, Lip!" ajak Aaron tanpa basa-basi. Ia langsung melangkah ke mobil tanpa pamit pada Diaz, namun tidak dengan Tulip. Meskipun kesal, ia tetap pamit pada Diaz. "Duluan, ya, Kak!" pamit Tulip tanpa basa-basi pula. "Eh, Lip–" Diaz menghentikan ucapannya setelah menyadari kalau suara Tulip terdengar berbeda. "Ati-ati, ya, Lip!" ucapnya lagi, namun Tulip tak menjawab. Ia langsung masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya. "Gimana, Diaz? Boleh, kan?" tanya Melinda lagi. Diaz tak menjawab, ia masih terus memperhatikan laju mobil Tulip. "Diaz? Gimana?" "Sorry, aku mau jemput adikku dulu. Maaf, ya!" tolak Diaz dengan halus. Ia memang tak masalah kalau siapapun menempel padanya, tapi belum ada perempuan yang ia antar pulang dengan motor kesayangannya. "Ah, gitu. Ya udah deh, gak apa-apa." Melinda pun melepaskan pegangannya dari lengan Diaz dan mundur selangkah. "Aku duluan, ya!" pamit Diaz. "Oke, ati-ati!" Suaranya terdengar kecewa, namun mau bagaimana lagi? Diaz sudah kembali melangkah ke motornya. Dalam sekejap ia sudah melaju dan menghilang dari pandangan. Dia cocok jadi pembalap MotoGP. Sementara itu di sisi lain. "Udah liat, kan?" tanya Aaron. "Iya." "Kecewa?" "Enggak, gak suka aja," jawab Tulip jujur. "Udah kubilang, jangan suka sama Diaz! Dia itu–" "Gak usah dibahas, Kak! Aku kecewa bukan karena aku suka sama Kak Diaz, tapi aku gak suka dia ngebiarin banyak cewek nempel sama dia. Memang dia gak khawatir namanya rusak?" omel Tulip. 'Ah, dia cuma peduli sama nama baik Diaz ternyata,' batin Aaron. Ia cukup tenang mendengan ungkapan Tulip. Adik kecilnya ternyata masih sama seperti yang ia kenal. "Kenapa tadi gak tegur dia? Katanya kamu gak suka," tanya Aaron penasaran. "Kasian cewek itu, nanti dia malu," jawab Tulip seraya membuang pandangannya ke luar jendela. Melihat adiknya seperti ini, rasa kesal Aaron memudar. Bukan senang melihat Tulip kesal, ia hanya senang karena Tulip hanya peduli pada Diaz, tidak ada maksud tertentu. Tulip selalu begitu pada semua orang, sehingga tak ada yang perlu dikhawatirkan. "Mau beli es krim, gak? Kalo mau, kita mampir ke M*D dulu." Cara mengembalikan mood terbaik adalah dengan membelikannya es krim. "Take away aja," jawab Tulip. "Oke!" jawab Aaron semangat. "Pak, mampir ke M*D, ya!" pinta Aaron pada Pak Andra. "Siap, Den!" Malam harinya setelah makan malam, Tulip sengaja tak membuka ponselnya sama sekali karena tugasnya cukup banyak. Setelah semuanya selesai, barulah ia membuka ponselnya. Di atas kasur yang empuk, Tulip meluruskan punggungnya setelah bertempur dengan tugas. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. "Pantes udah ngantuk, udah jam segini ternyata," gumam Tulip seraya menggulirkan layar ponselnya dan membuka aplikasi chat. Ada beberapa pesan yang masuk. Mulai dari chat grup kelas yang saling berbagi jawaban PR; chat dari Naya yang tampak seperti orang kurang kerjaan; dan terakhir chat dari Diaz. Pertama, Tulip membuka pesan grup kelas. Ia menggulirkan layar dari bawah ke atas sampai seluruh pesannya terbaca. Ia tak turut dalam obrolan, karena tugasnya sudah selesai. Lanjut ia membalas pesan Naya. Sungguh teman yang baik, dia bahkan mengirimkan jawaban PR-nya. Terakhir, ia membuka pesan dari Diaz. 'Tulip, apa kamu marah? Aku ngerasa ekspresimu tadi sedikit berubah.' 'Lagi belajar, ya? Semangat!' 'Jangan kecapekan, ya! Bangun pagi aja untuk lanjutin belajarnya lagi.' Diaz terlalu peka, benar. Tapi mengapa dia tidak peka atas penilaian orang terhadap dirinya? Atau dia sengaja membangun image yang seperti itu? Sedikitnya itulah yang ada dalam pikiran Tulip kali ini. Ia membaca pesan itu berkali-kali. Bukannya senang, ia justru semakin kesal. 'Apa Kak Diaz kirim chat yang kaya gini juga ke cewek-cewek itu?' batin Tulip lagi. 'Gak tau, ah! Gak suka!' Ia bingung harus menjawab apa. Ia terus memandangi pesan itu dan membacanya berkali-kali tanpa tahu harus membalas apa. Tak menunggu waktu lama, ia pun mulai terlelap dengan posisi ponsel masih menyala di tangan. Bahkan room chat itu masih terbuka selama 5 menit sebelum ponselnya terkunci secara otomatis. *** Keesokan harinya jam istirahat pertama, Diaz yang bingung tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya. Meski ia tidak tahu apa penyebabnya, tapi dia merasa kalau Tulip sedang cemburu. Hal itu pun ia tanyakan pada Aaron. "Tulip cemburu? Kamu salah besar!" jawab Aaron dengan sangat yakin. "Salah tanya ke kamu. Aku mau tanya langsung aja ke dia." "Ke kelasnya?" "Iya, kemana lagi? Paling mentok-mentok ke kantin," jawab Diaz seraya berdiri. "Gak usah! Jangan ngundang banyak pertanyaan orang! Cukup image-mu yang jelek, Tulip jangan!" larang Aaron. "Image-ku jelek? Kata siapa? Semua cewek nempel sama aku, memang mereka mau sama aku kalo image-ku jelek?" "Ternyata kamu benar-benar gak sadar, ya, Yas?" Mereka kembali berdebat. Aaron memang pendiam, tapi kalau memang butuh berdebat, ia tidak akan kalah. Diaz memanglah populer, tapi dia tak sepandai Aaron. Tak hanya kali ini saja, sepasang sahabat itu memang sudah sering berdebat, bahkan teman sekelas mereka pun tidak merasa heran lagi. Yang membuat heran adalah apa alasan mereka bisa berteman begitu dekat padahal sering berdebat. Beberapa saat kemudian mereka saling diam. Aaron sebenarnya sudah muak, masalah ini sudah terlalu sering mereka perdebatkan. Diaznya saja yang bebal. Ia masih merasa semuanya baik-baik saja. Beberapa kali ia bertengkar dengan siswa lain karena dianggap merebut pacar mereka. Namun dengan santainya dia menghadapi mereka karena tidak merasa berpacaran dengan siapapun. Berkat larangan Aaron, akhirnya Diaz pun menurut. Sepulangnya mereka dari sekolah, ia menemui Tulip di rumah. Di ruang keluarga kini mereka bertiga duduk. Aaron tak akan meninggalkan Tulip berduaan dengan Diaz, karena ia harus dengar semua yang diucapkan pada Tulip. "Kamu marah sama aku?" tanya Diaz langsung pada inti pembicaraan. "Enggak, kenapa memangnya?" Sebenarnya Tulip gugup, ia paling takut disidang seperti ini walaupun dia tidak merasa bersalah. "Kamu gak bales chat-ku," ujad Diaz. "Ah, itu aku ketiduran, Kak. Maaf, ya!" "Apa bener kamu gak suka kalo aku deket sama cewek?" Tulip diam sejenak, ia menyusun kata-kata agar Diaz tidak salah paham. "Maaf, Kak. Aku gak ada hak untuk ngatur hidup Kakak. Bahkan Kakak mau pacaran sama siapapun aku gak berhak ngelarang." "Terus, kenapa kamu kaya gini? tanya Diaz lagi. Ada rasa kecewa yang muncul sedikit di dalam hatinya. "Kalo Kakak gak suka sama mereka, tolong jangan seenaknya gandeng, peluk, atau apapun itu! Kakak punya hak untuk nolak." "Aku gak tega. Aku dulu pernah nolak dan mereka marah karena katanya aku mempermalukan mereka." "Coba posisinya dibalik!" "Maksudnya?" "Apa yang Kakak pikirin kalo Kakak liat banyak cowok yang rangkul aku; gandeng aku; peluk aku? Apa di mata Kakak aku ini cewek baik-baik?" "Iya, aku paham," jawab Diaz sembari mengangguk. "Sorry, aku bakal berusaha untuk lebih tegas ke mereka." "Iya, Kak," jawab Tulip disertai dengan senyuman. Ia senang akhirnya Diaz paham, semoga saja dia benar-benar bisa berubah seperti apa yang ia katakan. "Tulip yang ngomong langsung paham, giliran aku yang ngomong kayanya satu abad kemudian baru paham," gerutu Aaron. "Soalnya penyampaiannya bagus, aku jadi langsung ngerti," dalih Diaz. "Padahal yang Tulip omongin tadi, hasil ajaran dari aku," omel Aaron kesal. "Haha, sorry! Jangan capek-capek jadi temen debatku, ya!" ujar Diaz dengan senangnya. Ia bahagia karena Tulip sudah kembali tersenyum. Apapun akan ia lakukan demi menebus kesalahannya selama 11 tahun yang sudah lewat. Baginya, Tulip adalah harta yang paling berharga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD