10. Tidak Jujur untuk Sementara

1465 Words
Musim hujan mulai tiba, hampir setiap hari gerimislah yang memberikan ucapan selamat pagi. Situasi yang kurang mendukung untuk Tulip, karena ia harus menggunakan jaket tebal dan tak lupa membawa sapu tangan serta inhaler untuk berjaga-jaga jikalau hidungnya tersumbat. Namun, hal itu tidak melunturkan semangatnya untuk berangkat ke sekolah. Lingkungan sekolahnya yang sangat mendukung, membuatnya tak ragu lagi untuk berangkat dan belajar lebih banyak lagi. "Aku bawa ini, kamu mau?" tanya Naya pada Tulip. Ia memberikan sebuah botol kecil berwarna orange yang baru saja ia keluarkan dari dalam tas. "Apa ini?" tanya Tulip sembari membuka botol itu. "s**u jahe. Menurutku rasanya aneh sih, tapi enak," jawabnya. Tulip menghirup aroma minuman itu seraya mengira-ngira apa komposisinya. Jelas saja ia tidak tahu, ia hanya tahu di sana banyak rempah-rempah yang dicampurkan, namun tetap aroma s**u lebih kuat daripada bau rempahnya. "Untuk apa kamu bawa ini ke sekolah?" "Biasa, bundaku. Katanya biar aku gak pilek. Aku liat, kamu juga lagi sedikit pilek, mungkin badanmu bisa sedikit lebih anget kalo mau minum ini," ujar Naya. "Ah gitu, jadi boleh aku minum?" tanya Tulip lagi. "Iya, boleh kok. Kalo kamu suka, dihabisin juga boleh. Besok aku minta bawain yang lebih banyak," jawab Naya dengan senang hati. Tulip mencicip sedikit s**u itu. Rasanya lumayan asing, karena ia tidak pernah minum jamu-jamuan semenjak keluar dari panti asuhan. Meski baru pertama kali setelah sekian lama, lidahnya langsung menyukai minuman itu. "Ini enak, aku suka!" seru Tulip kemudian. "Syukurlah kalo kamu suka. Besok aku minta bundaku untuk buatin yang lebih banyak." "Makasih banyak!" seru Tulip lagi dan meminum s**u jahenya lagi sampai tinggal setengah. Naya sama sekali tidak keberatan. Bundanya sering membuat minuman tradisional, hingga ia sendiri hampir bosan. Melihat Tulip yang menyukai minuman itu, Naya juga ikut senang. Pasalnya, minuman tradisional saat ini semakin tidak dikenal karena kurang dilestarikan dan kalah dengan minuman kekinian lainnya. Jarang teman sebaya mereka yang mau mencicipi s**u jahe yang sering Naya bawa. Jangankan meminum, mendengar namanya saja Naya sudah diolok-olok. "Apa itu beneran enak?" tanya Juan sembari mengambil botol minum dari tangan Tulip. "Tentu sa– Hei! Jangan dicucup!" Belum selesai Naya menjawab, Juan sudah meminum s**u jahe itu bahkan bibirnya menempel di bibir botol. "Udah terlanjur," jawab Juan tanpa rasa bersalah. Naya dan Tulip memberikan ekspresi yang sama, alis mereka bertaut dengan tatapan kaget. "Gak enak, aku gak suka," ujar Juan lagi. "Kamu minum dua teguk tapi bilang gak suka? Kamu pikir aku percaya, hah?" sungut Naya sembari memukul-mukul Juan dengan buku tulisnya. Juan menangkis sebisanya sambil tertawa. "Itu… kenapa kamu minum langsung? Kan, itu bekas mulutku," ujar Tulip pelan. Ia merasa sedikit geli ada orang yang mau meminum lewat botol bekas mulutnya. Kalau Aaron sudah biasa, tapi kalau orang lain belum pernah. Lain ceritanya kalau sesama perempuan. "Hm? Gak masalah, toh kamu gak lagi mengidap penyakit menular. Iya, kan?" "Ya… iya, sih," jawab Tulip membenarkan, namun tetap saja ia merasa aneh. 'Apakah hal yang kaya gini dianggap biasa? Apa karena aku cuma temanan sama cewek selama tiga tahun terakhir?' batin Tulip kemudian. "Coba sini aku yang cicip!" Kini giliran Valent yang mengambil botol itu dari tangan Juan dan meminumnya sampai habis. "Hmm, ternyata kalian sama bar-barnya," ujar Naya kesal, namun berbeda dengan batinnya. Ia benar-benar senang temannya mau mencicip minuman yang ia bawa. "Enak kok, dulu pernah dibuatin sama nenek. Papaku dulu juga sering buat kalau musim dingin, tapi yang kemasan gitu," jawab Valent. "Ini juga ditambah rempah lain, ya?" tanya Valent lagi karena ia menemukan ada rasa yang berbeda dari biasanya. "Mungkin, aku juga gak tau. Aku cuma terima minum," jawab Naya. 'Kalo aku cerita dulu aku pernah minum waktu di panti, pasti mereka bakal nge-bully aku juga. Mendingan aku pura-pura belum pernah nyoba aja," batin Tulip. "Ada guru, ada guru!" seru Gino yang baru saja masuk ke dalam kelas, entah dari mana. Juan dan Valent langsung kembali ke bangku mereka, begitu juga siswa lainnya. Mereka baru akan memasuki jam pelajaran ke-3, jam terakhir sebelum istirahat pertama. Tentu mereka semua sangat antusias, karena semakin cepat pelajaran berakhir, semakin cepat juga mereka bisa jajan di kantin. Mata pelajaran matematika, sudah pasti banyak yang tidak menyukainya. Namun berbeda dengan kelas Tulip, mereka sangat fokus dan tertib. Entah karena mereka adalah murid baru, atau memang mereka menyukai pelajarannya. Yang pasti, Tulip beberapa kali menengok ke belakang hanya untuk memastikan kalau semuanya memperhatikan pelajaran dengan baik. "Kamu cari apa?" bisik Naya. "Bukan apa-apa. Aku kira mereka semua tidur karena terlalu hening, tapi ternyata semua fokus ke depan," jawab Tulip yang tak kalah pelan. "Ah gitu, tapi…." Naya tak meneruskan ucapannya. "Hm? Tapi apa?" "Apa kamu paham sama apa yang kamu tulis?" tanya Naya. "Enggak, kalo kamu?" jawab Tulip sembari menggeleng. "Sama, aku juga," jawab Naya. Sontak mereka berdua pun menahan tawa. Sepertinya mereka lupa kalau bangku mereka itu ada di paling depan, paling dekat dengan papan tulis. Mendengar ada yang tertawa, Pak Yoel yang sedang menulis contoh di papan tulis langsung mencari pelakunya. Tulip dan Naya langsung menunduk dan lanjut menulis dengan tawa belum habis dikeluarkan. Ternyata dibalik tenangnya para siswa itu bukan karena mereka paham, tapi mereka bingung dengan materi yang mereka terima. *** Karena matahari masih bersembunyi, maka udara siang ini masih belum juga menghangat. Masih sangat dingin seperti pagi tadi. Bakso dan soto merupakan pilihan terbaik. Masih sama seperti hari sebelumnya, mereka pergi makan siang berempat. Mereka dekat secara alami hanya karena posisi tempat duduk yang berdekatan. "Tulip, kamu keliatan makin kecil kalo pake jaket itu," ujar Juan mengomentari penampilan Tulip. "Iya, sebenernya aku juga kurang nyaman, tapi mamaku maksa suruh pake jaket yang ini. Yah, mau gimana lagi?" jawab Tulip pasrah. Freya adalah orang yang sulit untuk ditolak. "Bagus kok, lucu. Apalagi dominan pink gini. Cocok sama image-mu yang lembut," tambah Naya. "Iya, kalo Tulip yang pakai jadi cocok. Kalau kamu yang pakai, baru deh gak cocok," sahut Juan. "Kenapa? Kan, aku juga cewek," tanya Naya tak mengerti. "Soalnya kamu bar-bar! Kamu cocoknya pakai warna item atau merah darah," jawab Juan dengan nada meledek. "Dasar laki-laki rombeng! Mulutmu itu kalo ngomong kadang gak ada filternya, jadi pengen tak sumpel pake kaus kaki!" Tulip hanya bisa tertawa ketika melihat kedua temannya itu adu debat. Berbeda dengan Valent yang sedikit lebih kalem. Hal seperti ini mungkin menjadi hal biasa bagi orang lain, namun bagi Tulip yang sejak kecil jarang memiliki teman, memiliki ketiga teman dekat seperti ini adalah anugerah baginya. "Tulip!" sapa seseorang yang tiba-tiba datang. Mereka berempat langsung menengok ke sumber suara. "Valery?" tanya Juan. Valery adalah temannya sewaktu SD. "Hai, Juan! Kita akhirnya satu sekolah lagi. Kamu kenal sama Tulip juga, ya? Aku dulu teman satu SMP-nya loh, kami deket banget malah. Iya, kan, Tulip?" ujar Valery disertai dengan senyum yang lebar. Tulip hanya menatap Valery dengan tatapan kosong. Ia bergeming bahkan tak menjawab sama sekali. Hal itu memancing kecurigaan Valent. "Kamu deket sama dia? Kok kamu gak tau kalo dia juga sekolah di sini?" tanya Naya pada Tulip. "Aku… aku tau kok," jawab Tulip berbohong. Sebenarnya ia tidak tahu, hanya saja bukan hal yang baik jika harus berdebat di kantin seperti ini bahkan untuk mereka yang masih murid baru. "Tulip pernah cerita sama aku, kalian aja yang gak dengerin karena berantem terus," bela Valent. Tulip pun langsung menatap wajah Valent, sedangkan tatapan mata Valent terlihat sedang mengintimidasi Valery. Sepertinya ia adalah manusia super peka yang pernah Tulip kenal. "Masa iya?" tanya Naya bingung. "Kamu sih, ngajak aku ribut terus!" ujar Naya menyalahkan Juan. "Kenapa jadi aku yang salah?" jawab Juan tak mau kalah. "Kamu mau gabung sama kami?" tanya Valent pada Valery, tentu itu bukan ajakan yang sebenarnya. "Ah, mungkin lain waktu. Aku masih belum ngabisin makan siangku," jawabnya diakhiri dengan senyuman manis. "Lain waktu kita harus jajan bareng lagi ya, Tulip!" ucapnya kemudian meninggalkan meja Tulip dan teman-temannya. Tulip membeku, ia mulai menunduk dan mengaduk baksonya yang masih tersisa dua butir. Juan mulai bercerita kalau Valery itu seorang anak tunggal dari pengusaha terkenal di ibukota. Bahkan sejak SD dia sudah menggunakan banyak barang bermerk, meskipun pada saat itu masih banyak anak yang tidak paham apa bedanya barang bermerk dengan yang tidak. "Apa sifatnya memang sejelek itu?" tanya Valent tiba-tiba. "Jelek? Apanya yang jelek? Dia baik gitu, masih mau menyapa teman lama. Malah kupikir Tulip yang jahat karena lupa sama temen lamanya, tapi rasanya Tulip juga bukan orang yang kaya gitu, sih," ujar Naya bingung. "Aku juga gak tau, tapi dulu aku sempet suka sama dia," jawab Juan kemudian menggaruk kepalanya sambil tertawa kecil. "Dulu dia nolak aku karena katanya sepatuku jelek. Yah, wajar aja, namanya juga anak-anak," ujarnya malu-malu. "Kenapa kamu bilang kalau sifatnya jelek?" tanya Tulip memberanikan diri. "Entahlah, aku gak suka sama senyumannya," jawab Valent sembari memiringkan kepalanya dan kembali melanjutkan makan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD