11. Aku Sudah Mencintai yang Lain

1091 Words
Jika siswa kelas X sudah sibuk memilih ekstrakurikuler di minggu lalu, kini giliran kelas XI yang sibuk. Tentu bukan hanya memilih ekstrakurikuler apa yang akan mereka ikuti, tetapi juga sibuk untuk pemilihan pengurus baru. Pasalnya, kegiatan ekstrakurikuler akan dimulai setelah kegiatan belajar-mengajar berlangsung selama tiga bulan. Jadi, masih ada waktu untuk pembentukan pengurus baru. "Tulip masuk ekskul apa?" tanya Diaz pada Aaron yang masih sibuk membaca. "Jurnalis," jawab Aaron singkat. "Kenapa bukan cheerleaders? Kalau dia ikut cheerleaders, kan, aku jadi makin semangat pas tandingan," ujar Diaz sedikit kecewa. "Tulip mana mau ikut ekskul semacem itu. Dia bisa bikin kacau semuanya," jawab Aaron lagi. "Apa dia masih tulalit?" "Hmm." Aaron menjawab tanpa membuka mulutnya. "Aahh, dia masih istimewa ternyata," gumam Diaz. Mendengar itu Aaron langsung menutup bukunya dan menengok ke arah Diaz. "Apa katamu?" "Tulip itu istimewa. Memang salah?" "Jangan sekali-kali kamu berniat deketin Tulip!" ujar Aaron mengingatkan. "Hei, kamu padahal kenal banget sama aku! Aku gak mungkin ada niat buruk sama dia," ujar Diaz menyakinkan. Namun belum sempat Aaron menjawab, seorang siswi yang baru datang sudah bergelayut di lengan Diaz. Pemandangan itu amat dibenci Aaron. Ia langsung mengambil bukunya lagi dan membawanya ke bangku paling belakang. "Diaz, kamu tahun ini jadi kapten basket, kan?" tanya Shendy dengan manja. "Iya, kenapa?" jawab Diaz. Diaz tidak menolak banyak wanita yang menempel padanya seperti itu. Namun, belum ada satupun yang bisa merebut hatinya. Jikalau ada siswa lain yang marah padanya karena pacar mereka menggilai Diaz, ia hanya cukup menyunggingkan senyum dan mengangkat satu alisnya. Maka mereka akan mundur dengan sendirinya. "Aku nyalon jadi ketua OSIS, tapi kayanya aku bakal kalah suara dari Sherina. Apa aku boleh minta dukunganmu?" "Sherina kembaranmu itu?" tanya Diaz memastikan. Shendy mengangguk dengan cepat. "Cuma satu suara dari aku memang ada artinya?" tanya Diaz lagi. "Emm… tim basket, kan, anggota barunya ada banyak, jadi–" "No!" tolak Diaz tanpa menunggu Shendy selesai bicara. "Eh?" "Lusa ada kampanye ke kelas-kelas, kan? Lakuin yang terbaik! Minta bantuanku itu bukan opsi, paham?" "T–tapi… kita, kan–" "Shendy, aku memang gak nolak kamu waktu itu, tapi bukan berarti kita pacaran. Meskipun aku punya pacar, aku gak akan melakukan cara licik kaya tadi untuk pacarku. Aku pengen dia berhasil karena kemampuannya sendiri, bukan karena campur tanganku," jawab Diaz dengan tegas. Shendy langsung melepas pelukannya dari tangan Diaz. "Aku… aku gak bermaksud licik. Memangnya minta bantuan dari timmu itu salah?" tanya Shendy yang masih belum sadar akan kesalahannya. "Iya, itu salah. Kecuali kamu yang dateng sendiri dan minta dukungan mereka." Tanpa menjawab lagi, Shendy langsung pergi meninggalkan kelas Diaz dengan kesal. Diaz hanya bisa menggelengkan kepalanya dan kembali duduk di kursinya. Melihat Shendy sudah pergi, Aaron juga kembali lagi ke kursinya yang ada di sebelah Diaz. Ya, mereka duduk satu meja di urutan nomor dua dari depan dan meja ketiga dari pintu keluar. "Lain kali jangan pacaran di kelas!" ujar Aaron tanpa melihat ke arah Diaz. "Aku pacaran sama cewek itu? Ogah kali! Udah keliatan bisanya cuma manfaatin aku doang. Bakalan jadi beban kalo dia jadi pasanganku," jawabnya dengan yakin. "Kalau gak pacaran, kenapa kamu terus ngebiarin mereka menempel di badanmu seenaknya? Apa karena kamu juga suka?" "Aku cuma menghargai perasaan mereka. Kalo aku negur di depan banyak orang, mereka bisa malu." Aaron tidak menjawab lagi. Mereka saling bicara namun tidak ada kontak mata sama sekali. Mata Aaron fokus pada bukunya, sedangkan Diaz pada layar ponselnya. "Aku mau ajak Tulip jalan-jalan." Mendengar nama Tulip disebut, Aaron bertanya secepat kilat. Bahkan kini ia menolehkan kepalanya. "Kapan?" "Weekend. Mungkin Sabtu atau Minggu, tapi kemungkinan besar hari Sabtu," jawab Diaz yang masih belum melihat ke arah Aaron. "Aku gak bakal kasih izin!" tolak Aaron dengan keras. "Tapi ibumu udah ngizinin tuh," balas Aaron dengan senyum kemenangannya sembari menunjukkan isi obrolannya dengan Tulip. Aaron membaca pesan itu dengan seksama, Tulip benar-benar sudah meminta izin dari Freya. 'Kenapa bisa Mama ngasih izin segampang itu? Kenapa banyak hal tentang Tulip yang gak melibatkan aku?' batin Aaron masih tak terima. "Oke, aku ikut," jawab Aaron mantap lalu kembali membaca bukunya. "Hei, jangan seenaknya memonopoli Tulip! Dia adikku juga!" seru Diaz tidak terima. Diaz benar-benar ingin menghabiskan waktu berdua bersama Tulip setelah bertahun-tahun terpisah. Namun Aaron yang tidak peduli, langsung memasang earphone di telinganya dan membiarkan Diaz bicara sendiri. Ia tak akan membiarkan Tulip pergi berdua dengan laki-laki selain dirinya. Malam harinya, Aaron masuk ke kamar Tulip usai mereka makan malam. Seperti biasa, Tulip masih duduk di kursi belajarnya sambil mengerjakan PR. Mengetahui Aaron datang dan langsung membaringkan diri di atas ranjang, Tulip juga tak banyak berkomentar karena hal itu sudah biasa Aaron lakukan. "Kamu mau kencan sama Diaz?" tanya Aaron. "Iya dong! Makanya aku harap Kakak jangan ganggu aku," jawab Tulip dengan santai. Ia sengaja membuat lawan bicaranya makin kebakaran. "Aku gak ngasih kamu izin," ujar Aaron lagi. "Tapi Mama udah ngasih izin kok." Tulip masih bicara dengan sangat santai. "Aku kenal Diaz, dia itu playboy." Tulip berhenti menulis dan memutar kursinya. "Kak, apa Kakak pikir aku bakal pacaran sama Kak Diaz?" "Mungkin aja, apa yang gak mungkin kalau kalian sering pergi bareng?" "Apa Kakak gak tahu kalo cintaku udah jadi milik orang lain?" Tulip beranjak dari kursinya dan duduk di sebelah Aaron yang masih berbaring. "Siapa? Diaz?" jawab Aaron dengan nada kesal. "Meskipun aku udah lama nunggu Kak Diaz, tapi bagiku dia gak lebih dari temen atau kakak. Karena sekarang cintaku udah ada yang punya." Tulip berhenti sejenak dan menelan salivanya. Aaron bangun dari posisinya dan menatap Tulip lekat-lekat. Hatinya sedikit sakit mendengar ada orang lain yang sudah Tulip cintai. Padahal selama ini Tulip paling anti ketika membahas tentang pacar, mengapa tiba-tiba ia mengakui kalau sudah mencintai seseorang? "Apa orang yang kamu maksud itu Felix?" Aaron mengutarakan sebuah nama yang tiba-tiba melintas di pikirannya. "Pffttt!" Tulip menahan tawanya. "Bahkan aku hampir lupa wajah Kak Felix itu kaya gimana," jawab Tulip dengan sisa tawanya. "Terus siapa?" tanya Aaron yang makin penasaran. Semenjak ia tahu Tulip pernah dirundung di sekolah lamanya, Aaron merasa gagal menjadi seorang kakak. Ia bertekad untuk menjaga Tulip lebih ekstra lagi. "Aku cuma anak kecil yang dibuang sama orang tua kandungku. Keluarga Arkin inilah yang ngasih segalanya untuk aku. Aku udah dapet banyak cinta dari kalian, apa aku masih punya hak untuk cinta sama orang lain?" "Jadi, maksudmu?" Aaron masih berusaha menegaskan apa yang baru saja ia dengar. "Cintaku cuma untuk Kakak, Mama dan Papa," jawab Tulip dengan tegas, seketika rasa khawatir Aaron menjadi luluh. "Kamu paling bisa membikin aku khawatir, ya!" Aaron langsung mencubit kedua pipi Tulip dengan gemas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD