Satu malam Nadine menginap di rumah yang katanya milik Abraham itu. pagi harinya, Nadine bangun lebih dulu dan melihat para pelayan yang sedang berbicara di sana. Nadine tidak sengaja mendengarkan percakapan mereka. “Katanya tempat ini akan dijual karena Tuan Abraham tidak tertarik lagi dengan kota London yang tidak memberikan income untuknya.”
“Lalu bagaimana nasib kita?”
“Mungkin kita akan dibawa ke mansionnya yang lain.”
Wah, Nadine ingin sekali membeli tempat ini. tapi sepertinya dia tidak akan mampu. Saat para pelayan itu menyadari keberadaannya, mereka langsung menyapa Nadine dan mempersilahkannya untuk duduk sarapan. Nadine menurut saja, dia sudah memakai pakaian rapi dan siap pergi. Sampai Abraham juga keluar dari kamarnya dan duduk di kursi sebrang Nadine.
Pria itu bahkan seolah tidak melihat keberadaan Nadine, membuat hati Nadine berdecak. Kalau saja Rose yang ada di hadapannya, pasti pria itu akan langsung membuka matanya. Menyebalkan memang. “Bapak pergi denganku ‘kan?”
“Iya, mengantarkanmu pada mereka.”
“Nanti di asrama, apakah aku tidur sendirian, Pak? Atau ada teman yang lain?”
“Sendirian saja, kau harus focus membuat karya terbaikmu ‘kan? hubungi aku jika butuh sesuatu.”
“Baik, Pak.”
Dengan Abraham yang mengantarkannya, seperti biasa pria itu duduk di samping Nadine karena bagian depan diisi oleh supir. Nadine hanya diam diam melirik Abraham yang tampak menakutkan dengan raut wajahnya itu. kenapa jika bersama dengan Rose semua sisi menakutkan itu menghilang ya?
Nadine diantarkan ke prodi, dimana Abraham menyerahkannya pada dosen lain di sana. “Jangan mempermalukanku,” ucap Abraham membiarkan Nadine pergi mengikuti pria yang lebih tua darinya.
Ini menyenangkan untuk Nadine, saat beban pikirannya mulai berkurang karena ibunya sudah membaik, lalu Victoria yang tidak akan mengganggunya ditambah lagi dengan pengalaman yang sangat berharga seperti ini.
Orang orang di sini juga tidak ada yang berbuat jahat, mereka menyambut Nadine dengan baik dan berkenalan. Kantin yang memiliki banyak makanan dimana Nadine bisa mengambilnya sesuka hati. Dia makan bersama dengan teman barunya, sampai seorang pria tiba tiba datang dan duduk di sampingnya. “Hei, kau dari Jakarta?” tiba tiba bertanya seperti itu.
“Ya, kau juga?” tanya Nadine kaget.
“Hum, aku ke sini sedang melakukan penelitian. Boleh aku minta nomor ponselmu?” pria itu terlihat tertarik dengan Nadine.
Dan seumur hidupnya, tidak ada yang pernah menganggap Nadine itu menarik. Jadi, dia memberikan nomor ponselnya pada pria itu.
Kelas sampai sore hari, Nadine pulang ke asrama diantarkan oleh salah satu dosen perempuan di sana. kamar asrama Nadine juga besar, dengan alat lukis yang pastinya sudah disiapkan oleh Abraham. Ah, betapa menyenangkannya berada di sini dalam waktu yang lama. “Kenapa hanya satu minggu?” gumamnya mengerucutkan bibir.
Nadine menatap pantulan dirinya di cermin, wajahnya tampak jelek dengan rambut yang mengembang. Membuka kacamata, menghapus make up yang membuatnya terlihat kusam. Nadine berbaring di atas ranjang sebelum pintunya diketuk.
Dia segera membukanya dan penjaga asrama membawa nampan berisi makanan. “Kiriman dari Tuan Abraham.”
“Terima kasih banyak.” Nadine menerimanya.
Ada banyak sekali makanan enak di sana. “Wahh, dia benar benar kaya. Kalau aku bersama dengannya, pasti sudah aku habiskan uangnya.” Tiba tiba terbesit di pikirannya karena sudah terlanjur terjerumus, kenapa tidak mencoba menghasilkan uang saja? selama ini, Nadine menderita dengan kehidupannya. Uangnya habis untuk pengobatan ibunya. Dia ingin kemewahan.
“Tidak, tidak. Jangan lakukan hal itu, Nadine. Rose tidak akan abadi, dia akan menghilang setelah kau lulus kuliah.”
***
Selama satu minggu ini, Nadine tidak bertemu lagi dengan Abraham. Entah apa kesibukan pria itu. namun, selama mereka tidak bertemu, Nadine selalu mendapatkan apapun yang dia butuhkan termasuk makanan yang dikirim setiap hari.
Tidak terasa, sudah satu minggu Nadine di sini. perkembangan ibunya selalu dia ketahui dari perawat, berkomunikasi juga dengan Meila dan pria yang meminta nomor ponselnya itu beberapa kali komunikasi dengannya. Sepertinya pria itu benar benar tertarik dengannya.
“Hah, lebih baik padanya yang sudah menerima Nadine, bukan Rose,” ucap Nadine pada dirinya sendiri.
Kini dia tengah bersiap menuju acara pameran. Dirinya yang menjadi karakter utama, karena lukisannya yang akan dijadikan center malam ini. Nadine dikirimi gaun oleh Abraham, katanya tidak boleh mempermalukan pria itu.
Jadilah, Nadine sekarang memakainya. Tapi tidak sesuai dengan wajahnya yang tidak dipoles make up dan rambut yang berantakan. “Bisa gawat kalau dia mengenali Rose,” ucapnya mencoba untuk terlihat bungkuk. Lekuk tubuhnya yang indah itu tidak boleh ketahuan.
Sampai Rose mendapatkan telpon. “Hallo?”
“Cepat turun.”
“Pak Abraham?”
“Kau pikir siapa. Aku di bawah, cepat turun.”
“Baik, Pak,” ucap Nadine bergegas turun menemui Abraham yang sudah menunggu di sana.
Pria itu tampak kaget melihat penampilan Nadine. “Kau butuh pergi ke salon kecantikan.”
“Tapi, Pak. Ini sudah yang terbaik, kita akan terlambat kalau pergi berdandan dulu. aku peran utamanya, lagipula yang penting di sini adalah mahakarya, bukan penampilan.”
Alis Abraham naik. “Kenapa kau bicara begitu banyak? Ayok cepat masuk.”
Kali ini, Nadine duduk di bangku depan karena Abraham yang menyetir. Mereka menuju salah satu gedung dimana pameran itu akan diadakan. “Terima kasih atas satu minggu ini, Pak.”
“Hah?”
“Sudah mengantarkanku banyak makanan dan keperluan.”
“Itu dari kampus.”
“Oh.” Nadine kembali diam dan menatap jemarinya. Pria ini benar benar berbeda saat bersama dengan Rose.
Saat Nadine tiba, seorang pengurus acara di sana datang menemuinya. “Kau tau? Mereka sudah mulai menawar lukisan indahmu itu.”
Memberikan kebahagiaan tersendiri untuk Nadine, dia akan sukses dengan dirinya sendiri, bukan Rose. Beberapa kolektor lukisan juga menemuinya untuk menyapa, bahkan Nadine yang ikut membuka acara malam ini. dia benar benar membanggakan universitasnya.
Namun ketika acara berlangsung, Nadine tidak didampingi oleh Abraham. Pria itu pergi entah kemana, Nadine memilih bersam dengan teman teman barunya.
“Nadine, lukisanmu sedang ditawar sekarang. Ayok nikmati pestanya dan minum ini.”
“Uh, aku tidak bisa mabuk.”
“Tidak harus mabuk, Nadine. Kadar alkoholnya rendah. Ini anggur paling enak di sini.”
Karena bujukan mereka, akhirnya Nadine mau meminumnya. Sayangnya, mereka mempermainkan Nadine. “Itu alcohol kadar tinggi. Ayolah Nadine, kau bintang utama dan harus bersenang senang.”
“Kalian ini! aku jadi pusing sekarang,” ucapnya memilih untuk melangkah pergi ke kamar mandi.
Menahan diri untuk tidak jatuh, tatapannya sudah berkunang kunang dan pusing. “Come on, kau sudah terbiasa dengan alcohol. Jenis apa yang aku minum tadi? Pahit dan tidak enak.”
Sampai langkahnya terhenti ketika di koridor dan melihat Abraham sedang berciuman dengan wanita yang Nadine kenal sebagai dosen di universitas ternama di London. Kenapa Nadine sekarang merasa marah? Kesal dengan Abraham. Membayangkan bagaimana Abraham meniduri wanita lain seperti meniduri dirinya.
“Hentikan itu!” teriak Nadine hingga membuat ciuman keduanya terlepas.